Mochi Messages

Fairamadhana
Chapter #10

Pertemuan Pertama

“Niz.”

Nizwa yang dari tadi fokus menatap ponsel langsung mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara.

Seseorang tersenyum manis menatapnya. Sorot matanya berbinar seolah-olah menunjukkan isi hatinya yang senang bertemu dengan Nizwa.

“Kak Beni? Udah selesai urusannya sama anak osis?” tanya Nizwa sembari memasukkan ponselnya ke dalam saku rok abu-abunya.

Beni menghampirinya yang sedang duduk di pojokan di depan ruang kelas sendirian. Ketiga teman baiknya sedang sibuk mencari jajanan. Nizwa tidak ikut lantaran sedang tidak lapar, tetapi dia sudah titip dibelikan es cokelat sama mochi rasa cokelat.

Hari ini sekolah Nizwa ada acara bazar tahunan. Siswa kelas X dan XI diwajibkan membuka stand makanan atau minuman, untuk jenisnya bebas, asal halal dan harga ramah di kantong pelajar. Acara ini dibuat untuk mengisi kegiatan class meeting sebelum libur semester.

Makanya, sebagai senior (mantan) anak osis, Beni diundang ke sekolah sama anak-anak osis yang sekarang.

“Udah. Aku ke sini sebagai tamu undangan waktu pembukaan bazar tadi, Niz. Jadi, urusan aku udah selesai dan sekarang bebas mau ngapain aja. Boleh aku duduk?”

Nizwa bergeser memberikan tempat duduk untuk Beni. Dia benar-benar mempertimbangkan saran dari Kazan supaya tidak menyesal di akhir.

“Makasih, ya. Kirain kamu nggak bakal ngasih aku izin duduk di sini, Niz.”

“Sama-sama, Kak. Nggak seharusnya aku galakin Kakak terus. Walaupun, jujur saat ini aku risi banget diliatin.” Nizwa mengalihkan pandangannya.

Hampir semua mata yang posisinya bisa melihat Nizwa dan Beni duduk berdua memperhatikan mereka. Tatapan para siswa bervariasi membuat Nizwa pusing sendiri kalau disuruh mengartikannya. Lagi pula, yang diartikan Nizwa belum tentu tepat daripada berasumsi sendiri lebih baik tidak menatap ke arah mereka.

“Niz, aku minta maaf ya, kedatanganku bikin kamu risi. Aku pergi ya kalau gitu,” pamit Beni yang merasa kasihan sama Nizwa.

Gadis mungil berambut panjang itu memberanikan diri menoleh ke arah Beni yang sudah siap berdiri.

“Nggak usah, Kak, kalau masih pengen di sini. Kakak sama aku nggak ada hubungan lebih dari kakak kelas dan adik kelas. Jadi, aku nggak seharusnya takut atau kepikiran kalau ada yang berkomentar jelek tentang aku karena bikin mereka iri bisa deket sama Kakak kayak gini.”

Nizwa tersenyum manis untuk menutupi rasa tidak nyamannya dan meyakinkan Beni bahwa dia baik-baik saja.

“Kalau aku boleh milih, aku bakal ngomong ke mereka kalau aku suka sama kamu. Jadi, pasti mereka nggak akan ada yang mikir jelek tentang kamu, Niz. Karena emang aku yang suka duluan sama kamu.”

Kepala Nizwa menggeleng. Beni tidak perlu melakukan tindakan seperti itu. Dia tidak yakin kalau para siswi yang ngefans atau suka sama Beni akan bersikap baik kepadanya. Yang ada Nizwa akan semakin tidak disukai karena menghambat mimpi mereka untuk bisa dekat dengan Beni.

“Aku bakal marah sama Kakak kalau Kakak sampai kayak gitu.”

“Kalau aku boleh jujur, aku sakit hati, Niz. Waktu kamu bilang hubungan kita hanya sebatas kakak kelas dan adik kelas. Apa kamu beneran nggak bisa kasih aku kesempatan buat menjalin hubungan deket sama kamu, Niz?” tanya Beni dengan nada bicara yang terdengar serius sekali.

“Kak, aku nggak bermaksud kayak gitu. Maaf.” Nizwa tiba-tiba menjadi tidak enak pada Beni. “Tapi, Kakak jangan berharap lebih sama aku, ya."

Beni hanya diam membuat Nizwa semakin tidak enak. Beni yang biasanya perhatian ketika di chat room mendadak diam ketika bertemu langsung membuat Nizwa tidak tahu harus berbuat apa.

Kalau tahu kejadiannya akan seperti ini, dari awal saja Nizwa menolak Beni. Memblokir nomor kakak kelasnya itu tanpa memberi kesempatan dekat.

“Kak, jangan diem aja dong. Kakak sama aku chattingan baru beberapa minggu. Apa salahnya kalau berteman dulu?”

“Nggak ada yang salah kok, Niz. Kadang aku butuh kepastian, kamu bersikap baik sama aku gara-gara apa. Ternyata gara-gara kamu menghargai aku sebagai kakak kelas bukan seseorang yang suka sama kamu.”

“Aku menghargai perasaan Kakak ke aku kok. Tapi, emang saat ini aku nggak bisa bales perasaan itu.” Nizwa berkata jujur dengan harapan Beni bisa menyesuaikan perannya yang hanya dianggap Nizwa sebagai kakak kelas.

“Nggak papa, Niz. Aku bakal nungguin kamu sampai kamu siap buka hati buat aku. Makasih udah baik mau menerima aku sebagai temen kamu.”

Nizwa mengangguk sambil tersenyum. Beni sebenarnya anak yang baik. Hanya saja, mereka masih butuh penyesuaian. Ini kali kedua mereka bicara empat mata. Bertemu langsung dan via chat pasti akan ada perbedaan.

“Hai, Kak Ben! Halo, Nizwa!” sapa Ilona dengan wajah ceria sekali.

Salmira dan Prisa hanya diam, tetapi mereka terus melihat ke arah Nizwa, Ilona, dan Beni secara bergantian.

Salmira dan Prisa sama seperti Nizwa yang hanya ikut ekstrakurikuler wajib di sekolah yaitu pramuka. Mereka tahu cerita tentang kedekatan Nizwa dan Beni, tetapi baru kali ini mereka melihat Nizwa dan Beni duduk berdua. Melihatnya merasa lucu, dari Nizwa yang kalau didekati cowok memilih memblokir nomor, sekarang duduk berduaan sama laki-laki yang sedang pendekatan sama dia.

“Hai, Na. Gimana kabar kamu?” Beni menyapa balik.

“Kabarku baik, Kak. Seru banget kalian ngobrolnya sampai nggak sadar udah aku perhatiin dari tadi?” ledek Ilona.

“Titipan aku mana?” tanya Nizwa pada ketiga teman baiknya, memilih tidak menggubris ledekan Ilona.

“Niz, nanti pulang sekolah jadi?” Prisa bertanya sambil menyodorkan es cokelat dan mochi rasa cokelat pesanan Nizwa.

“Terima kasih, Prisa!” Nizwa menerima pesanannya. “Jadi, Sa. Kamu bisa ‘kan?”

“Bisa. Aku udah izin pulang telat hari ini, Niz.”

“Thank you, Prisaaaa!” ucap Nizwa girang.

“Sa, ke kelas yuk,” ajak Salmira supaya topik pembicaraan Nizwa dan Prisa tidak semakin panjang. Kasihan Beni kalau tahu Nizwa ada janji mau bertemu teman virtualnya.

“Ayok,” jawab Prisa.

“Eh aku ikut,” sahut Ilona.

“Kenapa nggak di sini aja, sih?” tanya Nizwa dengan tatapan kesal.

“Di sini sempit, Niz.” Prisa memberi alasan.

“Bener,” jawab Salmira dan Ilona hampir bersamaan.

“Ya udah aku ikut masuk kelas. Kak, aku boleh masuk kelas, ‘kan?” tanya Nizwa polos sekali pada Beni.

“Niz, nggak papa kalau masih mau ngobrol sama Kak Beni. Kita bertiga cuma di kelas doang,” jawab Salmira cepat.

“Nggak papa kok kalau Nizwa mau ikut kalian ke kelas. Aku juga mau pulang habis ini.” Beni menengahi. Dia ingin membuat Nizwa nyaman. Dia menyesali sikapnya yang tadi terkesan memaksa Nizwa.

“Tuh kan, Kak Beni mau pulang,” ucap Nizwa lalu berdiri.

Mata Salmira melotot ke arah Nizwa. Membuat Nizwa diam seribu bahasa. Rasanya kesal sekali dengan sikap teman-temannya yang kurang peka dengan rasa tidak nyamannya.

“Kak, aku temenin sampai Kakak mau beneran pulang. Kalian buruan sana masuk kelas.” Nizwa kembali duduk di tempatnya. Bibirnya selalu tersenyum supaya tidak terbaca jika hatinya sedang kesal.

“Sini es cokelat sama mochi kamu aku bawain ke kelas,” ucap Ilona.

Nizwa memberikan kantong plastik pesanannya pada Ilona. “Terima kasih, Lona.”

“Sama-sama, Niz.”

“Niz, kalau kamu mau ke kelas nggak papa. Ngobrol sebentar sama kamu, udah bikin aku seneng,” ucap Beni saat Salmira, Prisa, dan Ilona sudah masuk ke kelas.

“Nggak usah nggak enak sama aku,” sambung Beni lagi.

“Nggak papa, Kak. Anggap aja simulasi kalau suatu hari nanti aku punya suami,” jawab Nizwa.

“Punya suami?”

Nizwa mengangguk, membenarkan jika kalimat yang dia katakan sudah tepat. “Kalau bisa aku nggak mau pacaran, Kak. Dan, kalau boleh milih aku juga pengen punya jodoh yang nggak pernah pacaran.”

“Kenapa, Niz?”

“Biar di obrolan rumah tanggaku kelak nggak ada ngobrolin tentang mantan, Kak. Yang aku dan suami aku obrolin bener-bener tentang masa depan kami.”

“Niz, kamu unik banget, ya. Nggak salah aku suka sama kamu. Definisi anak baik, nggak neko-neko, plus cantik ternyata ada beneran.”

“Jangan terlalu memuji manusia, Kak. Manusia itu dinamis. Detik ini baik, detik berikutnya bisa nyebelin banget.”

Nizwa dan Beni saling diam. Menatap satu sama lain. Hingga seseorang menumpahkan minuman ke baju seragam Nizwa. Nizwa refleks berdiri. Mengibaskan tangan kirinya di bagian baju seragamnya yang basah.

“Kak, maaf ya, Kak,” ucap seorang siswi yang sering Nizwa lihat aktif di sekolah. Namun, Nizwa tidak tahu namanya karena mereka tidak satu angkatan.

Siswi itu hendak membantu Nizwa membersihkan baju seragamnya dengan tisu yang dia ambil dari dalam tasnya.

“Nggak usah. Makasih.” Nizwa memilih menuju ke kelas. Mencari ketiga teman baiknya untuk menahan diri supaya tidak marah. Untung saja ruang kelasnya sudah selesai direnovasi. Jadi, tidak perlu naik turun tangga lagi.

Kejadian yang baru saja menimpanya menarik perhatian para siswa. Nizwa sangat tidak nyaman.

Entah mengapa feeling Nizwa mengatakan bahwa siswi tadi salah satu fans Beni, yang tidak suka melihat kedekatannya dengan kakak kelasnya itu.

Nizwa merutuki kebodohannya yang tadi malah diam sambil saling pandang sama Beni.

“Niz, baju kamu kok basah?” tanya Prisa saat melihat Nizwa berjalan ke arahnya.

“Na, siswi yang rambutnya panjang, cantik, anak osis, sering banget sibuk kalau ada kegiatan pokoknya. Siapa sih namanya?” tanya Nizwa sambil mencari tisu di dalam tasnya.

“Angel bukan? Yang anaknya punya lesung pipi itu kan? Anak kelas XI?” Ilona bertanya balik untuk memastikan.

“Iya, yang punya lesung pipi. Sering banget jadi seksi sibuk pokoknya. Barusan, dia numpahin minumannya ke bajuku. Untung cuma air putih. Kalau minuman berwarna dan rasanya manis udah aku jadiin rujak cingur dia.” Nizwa kesal sekali. Dia segera mengelap bagian kiri baju seragamnya yang basah.

“Sengaja atau gimana?” tanya Prisa dengan nada bicara ikutan kesal.

“Nggak tahu. Tapi, aku tadi nggak sengaja lihat Kak Beni melotot ke arah dia. Kayak marah gitu, Sa.”

“Kamu nggak bawa baju ganti, ya, Niz?” Salmira bertanya.

Lihat selengkapnya