Mochi Messages

Fairamadhana
Chapter #11

Kazan, Beni, dan Vino

Ditemani Prisa, Nizwa sedang asyik memilih mochi di hari kedua sekaligus hari terakhir bazar di sekolah mereka. Nizwa merutuki harinya kemarin yang tidak jadi makan mochi dan minum es cokelatnya. Moodnya sudah berantakan karena rasa malu menjadi pusat perhatian satu sekolah.

Sejujurnya Nizwa malas sekali hari ini masuk sekolah, tetapi kalau bolos tentu akan membuat Angel bahagia. Anggap saja, Angel berhasil membuatnya takut. Meskipun, untuk keluar kelas kali ini rasanya sedikit berbeda, Nizwa harus benar-benar cuek dengan tatapan para siswa yang masih ingat kejadian kemarin.

Pilihan Nizwa jatuh pada mochi rasa cokelat dan mochi strawberry cokelat. Setelah membayar dua mochi tersebut, Nizwa memasukkan dua mochinya ke dalam tas plastik yang ditenteng Prisa. Lalu, Nizwa dan Prisa segera kembali ke kelas.

Baru beberapa langkah, seseorang menarik tangan Nizwa hingga keduanya terjatuh.

Bruk!!!

“Aduh!”

Nizwa meringis, menahan sakit di bagian lututnya. Sepertinya ada luka akibat tangannya ditarik tanpa ada aba-aba.

“Kamu nggak papa, Niz? Ada yang sakit?” Seseorang yang menolong Nizwa segera bangun lalu membantu Nizwa duduk.

Nizwa menerima bantuan Vino, tetapi hanya diam, tidak menjawab pertanyaan Vino. Raut wajahnya menahan sakit sembari tangannya membersihkan seragamnya dari pasir.

Ternyata ada dua tukang bangunan berjalan membawa tangga hendak menuju lantai dua sedikit terburu-buru. Sekolah Nizwa sedang ada renovasi di beberapa kelas. Nizwa tidak sadar karena fokusnya hanya ingin segera sampai di kelas.

Prisa mengecek apa ada yang luka di bagian tubuh Nizwa. Kasihan kalau teman baiknya itu sampai kesakitan tetapi tidak ketahuan.

“Niz, lutut kamu berdarah,” kata Prisa.

“Eh iya, Niz. Aku minta maaf yaa asal narik kamu aja,” ujar Vino merasa bersalah menjadi penyebab luka di lutut Nizwa.

“Udah nggak papa, Sa. Tolong, bantuin aku berdiri boleh?” tanya Nizwa menahan malu lagi-lagi menjadi pusat perhatian dan menahan sakit di bagian lutut kanannya.

Prisa membantu Nizwa berdiri. Setelah berhasil berdiri Nizwa tersenyum ke arah Vino.

“Vin, makasih udah narik tanganku. Kalau tanganku nggak kamu tarik, aku udah ditabrak sama bapak-bapak tukang bangunan tadi. Aku ke kelas, ya. Malu diliatin orang-orang,” ucap Nizwa. Ekspresi wajah bersalah ditunjukkan oleh Vino membuat dia merasa tidak enak. Dia hanya diam karena menahan sakit bukan karena tidak suka atau tidak mau bicara dengan Vino.

“Aku anterin ke UKS, ya. Luka kamu harus segera diobati itu.”

Nizwa memberi respon gelengan kepala. Setelah mengucapkan terima kasih, Nizwa menarik paksa tangan Prisa agar segera masuk kelas, sambil sedikit memaksa kakinya berlari supaya cepat sampai kelas.

Sesampainya di kelas, Nizwa langsung duduk di bangkunya. Kaki kanannya, dia luruskan. Prisa menaruh tas plastik yang berisi camilan di atas meja lalu mengambil tisu lalu membasahi dengan air minumnya sebagai pertolongan pertama untuk membersihkan luka Nizwa.

“Niz, kamu kenapa? Trending lagi di grup kelas?” tanya Salmira dengan raut wajah panik saat sampai di bangkunya. Dia tadi harus menemani Putra ke kantor guru.

“Niz, kamu baik-baik aja, ‘kan?” tanya Ilona dengan suara kecil karena sedang menahan sakit hari pertama. Makanya, tidak ikut keliling mencari jajanan.

“Kamu habis jatuh, Niz?” tanya Putra saat melihat Prisa mengoleskan tisu di lutut Nizwa.

“Niz, tahan ya,” ujar Prisa yang paham kalau toleransi menahan rasa sakit Nizwa di level menengah ke bawah.

“Iya. Tadi, aku nggak tahu kalau ada bapak-bapak tukang bawa tangga. Kalau tanganku nggak ditarik sama Vino, mungkin aku ditabrak sama bapak-bapak tukang itu soalnya kayak buru-buru gitu,” jelas Nizwa sambil menahan sakit lukanya di lutut kanannya dibersihkan Prisa.

“Aku ambilin obat merah di UKS, ya,” ucap Salmira menawarkan diri. Kasihan melihat Nizwa kesakitan begitu.

Belum sempat Nizwa menjawab, Vino berlari menuju bangkunya untuk memberikan kotak P3K yang berisi obat merah, cairan alkohol, kapas, perban, dan hansaplast.

“Ini, Sa. Segera obati luka Nizwa, ya. Jangan sampai infeksi,” ucap Vino pada Prisa.

“Niz, cepet sembuh ya. Aku balik ke kelasku dulu,” pamit Vino pada Nizwa.

“Makasih ya,” balas Nizwa cepat.

“Sama-sama,” ucap Vino lalu segera keluar dari kelas Nizwa.

“Vino dari dulu kagak berubah ya baiknya. Nizwa dicintai secara ugal-ugalan,” celetuk Ilona setelah sibuk dengan ponselnya.

Nizwa menoleh ke arah Ilona. Gadis berambut pendek yang entah mengapa suka sekali meledek tentang kisah asmaranya.

“Kamu mau aku pinjemin kaca nggak, Na? Kalau mau, aku ambilin dari tasnya Prisa.” Nizwa merasa tidak terima lantaran Ilona pun juga dicintai secara ugal-ugalan oleh pacarnya yang sekarang.

“Tapi, yang dibilang Lona bener, Niz. Aku kalau jadi Vino udah balik kanan dan nggak bakal nengok kamu lagi. Gila harga diri laki-laki,” sahut Putra.

“Nomor udah diblokir. Langkahnya udah dimatikan sebelum berjuang. Masih aja baik,” sambung Putra lagi.

“Terus Vino harus jadi jahat gitu sama aku, Put? Emang aku kalau ketemu Vino langsung nggak ada baik-baiknya ya?” Nizwa tidak mau kalah. Dia hanya tegas, tidak mau memberi harapan lebih, bukan bermaksud jahat pada Vino.

“Ya nggak harus jadi jahat juga, Niz. Kamu juga kalau ketemu langsung baik sih sama Vino. Cuma buat aku agak nyebelin aja, kamu blokir nomor orang selama ini. Tahu nggak kalau Vino itu beneran suka sama kamu.”

“Tahu. Makanya, aku nggak mau ngasih harapan anak orang, Put. Kalau boleh milih, aku milih Vino nggak usah suka sama aku, biar bisa temenan kayak sama kamu.”

“Definisi dicintai secara ugal-ugalan, Niz.” Salmira sependapat dengan Putra.

“Masak?” Nizwa sedikit menaikkan nada bicaranya. Entah mengapa, dia tidak suka jika ada yang bilang bahwa dia dicintai secara ugal-ugalan oleh Vino. Vino anak baik, tapi Vino bukan tipe Nizwa.

“Kalian berdua ngajak Nizwa ribut mulu sampai Nizwa sampai nggak sadar kalau kakinya lagi diobatin sama Prisa. Keren ih cara kalian berdua mengalihkan rasa sakit Nizwa,” puji Ilona tulus.

“Eh bener emang yang dibilang Lona?”

“Nizwa, Nizwa, kita berdua tahu banget kalau kamu itu nggak bisa nahan sakit. Daripada nanti teriak lebay, mending aku ajakin ngobrol eh berantem.” Putra cengengesan.

“Put sama Sal aku doain jodoh ya. Biar beneran jadi ayah sama bunda. Amin,” balas Nizwa tulus. Meskipun, sudah tidak terlalu mendukung hubungan Salmira dan Putra sejak kejadian itu, tetapi tetap ingin mendoakan yang terbaik untuk hubungan yang sudah berjalan hampir dua tahun itu.

“Niz, jangan dipakai banyak gerak dulu. Aku bukan tenaga kesehatan, daripada copot di tengah jalan jadi malu-maluin nanti.” Prisa berdiri setelah selesai membantu memberikan pertolongan pertama pada luka Nizwa. Dia memasukkan obat merah, perban, dan hansaplast ke dalam kotak P3K.

“Terima kasih, Sa. Aku balikin ke UKS sini kotak P3Knya.”

“Biar aku sama Lona aja. Kamu lanjutin debat kamu sama Putra. Lona biar sekalian minum obat pereda nyeri. Yuk, Na.” 

“Ayok.”

“Yang mau debat sama Putra juga siapa?” tanya Nizwa dengan suara pelan saat Prisa dan Ilona berjalan keluar kelas.

“Nggak tahu tuh. Padahal kita akur-akur aja ya, Niz,” sahut Putra.

“Dah lah, makan mochi aja. Kalian berdua monggo kalau mau pacaran.”

Nizwa berdiri. Berjalan tertatih menuju wastafel yang ada di depan kelas. Merutuki diri lagi dan lagi karena tidak membawa hand sanitizer. Perhatian anak-anak di sekolahnya masih tertuju padanya.

Nizwa segera masuk lagi ke dalam kelas setelah mencuci tangan. Dia duduk di bangkunya lalu membuka kantong plastik yang berisi kue favorit Kazan. Sebelum makan, dia mengambil air putih yang dibawa dari rumah lalu meminumnya. Ternyata bikin haus juga namanya trending lagi di sekolah.

Pilihan pertama jatuh pada mochi rasa cokelat untuk dimakan. Nizwa suka sekali cokelat, berharap rasa cokelat bisa menolong bila ternyata tidak terlalu menyukai rasa mochi.

Gigitan pertama, mata Nizwa langsung membulat sempurna. Rasanya enak, kenyal, dan tidak lengket di gigi. Seolah-olah memberikan semangat baru untuk Nizwa. Tanpa sadar mochi pertamanya sudah habis dalam dua kali hap. Mochi seenak dan selembut ini ternyata. Nizwa mulai mengerti mengapa Kazan begitu menyukai makanan imut lucu ini.

Nizwa segera mengambil mochi kedua. Di kemasannya tertulis mochi daifuku, yang Nizwa tahu rasanya cokelat sama strawberry. Di gigitan pertama, Nizwa agak kaget ternyata ada buah strawberry di dalamnya. Dia pikir rasa strawberrynya hanya selesai, ternyata buah sungguhan.

Mochi yang kedua rasanya ada asem-asemnya. Benar kata Kazan, kalau rasa mochi memang tidak selalu manis. Namun, kenapa yang jadi contoh Kazan waktu itu mochi rasa kacang? Kenapa tidak yang mochi daifuku ini sehingga Nizwa tidak katrok-katrok amat?

Lagi dan lagi tidak ada lima gigitan mochi kedua Nizwa sudah habis. Entah ukuran mochinya yang terlalu kecil atau Nizwa yang terlalu bersemangat makan camilan favorit Kazan itu.

To: Kazan

[Zan, ternyata mochi emang enak, ya. Mochi kesukaan kamu approved by me.]

Nizwa mengirim pesan teks pada Kazan. Kali ini, dia tidak berharap Kazan segera membalas pesan teksnya. Dia ingat kemarin Kazan bilang kalau sedang tidak punya paket data.

***

Bel pulang sekolah telah berbunyi. Saatnya kelas XII pulang sementara kelas X dan kelas XII beres-beres makanan atau minuman yang mereka jual di bazar hari terakhir.

Setelah selesai berdoa, anak-anak kelas XII segera keluar kelas. Dan, sekarang di kelas Nizwa hanya tersisa Nizwa, Salmira, Prisa, dan Ilona.

Salmira sudah bilang sama Putra agar Putra menunggu dulu di luar. Dia kasihan sama Nizwa yang tadi habis jatuh kalau disuruh jalan buru-buru.

“Niz, kaki kamu udah mendingan?” tanya Ilona saat sudah selesai memakai jaket.

“Udah lumayan lah, Na. Mau ngajak aku main dulu?” jawab Nizwa percaya diri sekali.

“Nizwa nyetok percaya diri di mana sih? Penasaran aku,” sahut Salmira.

“Di penjual mochi kali. Habis makan mochi kayak lupa dari kemarin trending. Kemarin aja wajahnya nggak ada senyum-senyumnya kayak pas ketemu Kazan,” ujar Prisa.

“Hehehe kenapa kamu perhatian sekali padaku, Sa? Udah lah, nggak papa trending. Bentar lagi udah libur panjang. Pas masuk paling udah pada lupa.”

“Emang Kazan gimana, Sa, kalau menurut kamu?” tanya Ilona yang masih penasaran dengan Kazan.

“Kazan ganteng nggak, Sa? Tadi malam tiba-tiba Nizwa berubah jadi kamu. Ilang gitu aja, chat nggak dibales,” sahut Salmira.

“Kalau ganteng, masih ganteng 119 di mata aku, Sal. Tapi, anaknya beneran seru sih. Wajar kalau Nizwa suka, Na.”

“Aku nggak ngarang ‘kan, Sal, Na. Kazan emang seseru itu anaknya. Ya maaf, Sal, soalnya tadi malam aku chattingan sama Kazan.” Nizwa tersenyum manis. Dia suka topik pembicaraan tentang Kazan. Seharusnya sejak tadi saja yang dibahas Kazan.

“Niz, tapi kamu tolong inget pesenku yaa. Jangan bilang dulu sama Kak Ben,” mohon Ilona sudah mulai pasrah jika memang pada akhirnya Nizwa menolak Beni.

“Aku penasaran, kenapa kamu sampai sebegininya sih, Na, ingin menjaga perasaan Kak Beni?” tanya Nizwa.

“Iya, aku juga nggak ada sangkut pautnya jadi kepo. Lona kayak maksa banget Nizwa harus menjaga perasaan Kak Beni.” Prisa ikut nimbrung.

“Lona, Nizwa juga punya perasaan. Tolong jangan terlalu ditekan, ya.” Salmira mengingatkan Ilona supaya tahu batas.

“Kamu bakal tahu sendiri, Niz. Kalau untuk sekarang aku nggak bisa cerita.”

Nizwa memilih diam tidak merespon lagi. Dia berusaha berdiri supaya moodnya tidak amburadul. Jawaban Ilona tidak membuatnya puas.

“Niz, aku minta maaf ya,” ucap Ilona lagi karena Nizwa hanya diam. Raut wajahnya terlihat sedih.

“Nggak papa, Na. Pulang yuk. Nanti di gerbang aku pesen ojek online,” ajak Nizwa pada ketiga teman baiknya.

“Makasih, Niz.” Ilona berusaha tersenyum lagi.

“Sama-sama, Na.”

Keempat teman baik itu lalu berjalan keluar kelas bersama-bersama. Mereka jalan dengan hati-hati sekali.

Saat sampai di depan ruang guru, dari arah yang berlawanan, seseorang yang Nizwa kenal sekali wajahnya berjalan ke arahnya dengan raut wajah khawatir. Refleks dia berhenti. Menoleh ke arah kiri di mana Ilona berdiri. Ketiga teman baik Nizwa juga jadi ikutan berhenti.

Lihat selengkapnya