“Niz, kamu pesen apa?” tanya Ilona sesampainya di meja food court yang kosong. Mall cukup ramai hari ini.
Nizwa, Salmira, Prisa, dan Ilona main berempat ke mall. Sebelum nanti akan tidak bertemu lama karena libur semester.
Setelah melewati ujian, remidi, dan class meeting, mereka butuh hiburan walaupun hanya sekadar mencuci mata. Nilai rapor mereka masih terbaik di antara yang terbaik.
“Aku kalau ke mall kayak biasanya aja, Na, steak. Kamu apa? Sal sama Sa apa?”
“Aku masih bingung. Habis dari sini mau diajak Putra main. Pasti diajak makan.”
“Mau main ke mana, Sal? Aku sama kayak kamu aja, Niz. Lona apa?”
“Mau diajakin beli koper buat pulang kampung. Kopernya Putra udah kurang layak pakai. Biasa kan Putra kalau mau main sama aku pasti nggak makan biar makan bareng,” sahut Salmira sambil memperhatikan sekitar, mencari siapa tahu ada menu yang menarik perhatiannya.
“Aku juga jadi bingung mau makan apa?” Ilona menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Jangan pada bingung. Waktuku nggak banyak. Prisa juga masih utang cerita ke kita.” Nizwa jadi mengomel sendiri saking gemasnya sama Salmira dan Ilona.
“Iya, Guys. Gadis galak bentar lagi mau dijemput kakak kelas idola sekolah,” ledek Prisa sambil cengengesan.
Nizwa menjulurkan lidah lalu pergi ke antri steak. Sekarang baru pukul setengah sebelas pagi, tetapi untuk sekadar steak sudah antri.
Langkah kaki Nizwa diikuti Prisa dan Ilona. Salmira memutuskan titip es teh saja. Jadi, dia menunggu meja daripada nanti ditempati orang lain.
Akhirnya tiba juga giliran Nizwa, Prisa, dan Ilona. Mereka segera memesan paket duanya tiga dan es teh satu.
“Niz, Sal, Na, aku mau cerita deh sama kalian.” Prisa membuka obrolan dengan suara yang pelan sekali di kala menunggu steak pesanan mereka.
Keempat teman baik itu duduk saling berhadapan di sisi kanan dan kiri meja kotak. Nizwa duduk di sebelah Prisa. Ilona duduk tepat di depan Nizwa dan Salmira duduk tepat di depan Prisa.
“Kamu udah siap, Sa? Selama tiga tahun temenan, aku nunggu kamu terbuka sama kita-kita. Biasanya harus dipancing dulu atau cuma cerita ke Nizwa dengan alasan malu mau cerita,” ujar Salmira.
“Bener deh. Perasaan kamu yang paling nggak berisik di antara kita berempat. Eh tapi kamu sama Nizwa sama aja ding. Wajar banget jadi temen satu bangku.” Ilona tersenyum lebar hingga barisan gigi rapinya terlihat.
“Yang paling berisik adalah Salmira dan Ilona. Wajar banget jadi temen satu bangku tiga tahun berturut-turut.” Nizwa menjulurkan lidah tidak mau kalah.
“Oke satu sama,” ucap Ilona asal.
“Eh tapi, kalian janji dulu. Tolong jangan marah sama aku ya. Soalnya aku yakin banget, respon kalian pasti bakal gimana gitu.” Prisa mengamati ketiga teman baiknya secara bergantian. Raut wajahnya tegang.
“Mau cerita apa sih, Sa? Aku penasaran jadinya.” Nizwa merapikan rambutnya ke belakang telinga supaya suara Prisa yang kecil bisa ditangkap jelas olehnya. Matanya juga sudah siap menatap bibir gadis yang jago matematika itu.
“Kemarin yang aku alesan ada janji sama orang. Aku janjian sama pacarnya kakakku. Dan, aku sama dia main berdua.” Prisa membuka ceritanya dengan hati-hati sekali.
“Kakak kamu tahu, Sa?” tanya Nizwa begitu saja seperti tidak memedulikan raut wajah Prisa yang tegang.
“Itu yang mau aku ceritain ke kalian.”
“Kamu jadi selingkuhan pacar kakak kamu sendiri, Sa?” tebak Ilona tanpa berpikir panjang. Seolah-olah paham Prisa mau membawa ceritanya ke mana.
“Lona, jangan kebiasaan deh. Dengerin dulu cerita orang sampai tuntas.” Salmira berusaha senetral mungkin. Tidak baik berprasangka buruk pada orang lain apalagi sama teman sendiri.
Nizwa memilih diam, mengunci rapat mulutnya. Meskipun yang ditanyakan Ilona tidak salah karena Ilona benar-benar bertanya bukan menuduh, tetapi yang dikatakan Salmira jauh lebih tepat. Setahu Nizwa, orang yang disukai oleh Prisa adalah 119. Diberi julukan 119, kata Prisa karena cowok yang dia suka menyukai tiga baris angka itu.
“Pacar kakakku kemarin nembak aku. Bilang suka sama aku. Bodohnya aku cuma diam dan terus respon chat pacar kakakku sampai hari ini. Kakakku nggak tahu aku chattingan sama pacarnya tiap hari. Aku sama pacar kakakku udah chattingan sejak awal masuk kelas dua belas. Aku mungkin tanpa sadar udah suka juga.”
Terlihat buliran air mulai membasahi mata sampai pipi Prisa. Refleks Nizwa memeluk teman satu bangkunya itu. Di dalam pelukannya, Prisa menangis, menumpahkan sesak di dada.
“Sa, kamu nangis dulu aja. Sampai hatimu tenang.”
Nizwa terus berusaha menenangkan Prisa yang masih menumpahkan segala emosinya. Salmira dan Ilona hanya diam, tidak tahu harus merespon apa. Dari berbagai masalah asmara mereka berempat, masalah Prisa ini bisa dibilang yang paling complicated.
Pesanan steak mereka akhirnya datang. Meskipun dengan perasaan campur aduk keempat sahabat itu kecuali Salmira menikmati steak yang sudah mereka pesan.
Nizwa senang melihat Prisa tetap berusaha menikmati steak pesanannya padahal dia tahu pasti saat ini Prisa tidak napsu makan.
“Aku bodoh banget ya. Bisa suka sama pacar kakak sendiri,” celetuk Prisa saat dia dan kedua teman baiknya sudah selesai makan.
“Nggak bodoh. Kayaknya kamu kena child grooming deh, Sa.” Salmira berusaha berpikir positif.
“Pacar kakak kamu itu pinter banget mempermainkan emosi kamu. Mumpung kamu sadar kalau yang kamu lakuin salah. Bisa dicoba cara Nizwa kalau nggak suka sama cowok yang nyoba pdkt sama dia, Sa,” sambung Salmira.
“Tapi, aku ketemu sama pacar kakakku bisa seminggu empat kali, Sal. Dia sering banget ngapelin kakakku. Nggak tahu deh, niatnya mau ngapelin kakakku atau aku. Habisnya caper banget sama aku.”
“Sa, kalau kamu cerita ke kakakmu gimana? Kira-kira kakak kamu bakal belain siapa?” tanya Nizwa dengan hati-hati. Dia terpanggil untuk bertanya karena namanya disebut-sebut oleh Salmira.
“Aku nggak tahu, Niz. Kakakku udah sayang banget sama pacarnya. Mereka ada rencana mau nikah juga katanya. Awalnya pacar kakakku kalau chat aku biasa dan masih wajar. Lama-lama kayak orang gila.”
“Tapi, saran dari Nizwa nggak ada salahnya dicoba, Sa. Daripada nanti kakak kamu tahu sendiri, nama kamu bisa jadi jelek. Hubunganmu sama kakak kamu bisa nggak rukun lagi, Sa.” Ilona ikut nimbrung.
“Takutnya nanti pacar kakakmu playing victim, Sa. Atau, bisa juga kamu diskusiin ini sama orang tua kamu. Masak iya, orang tua kamu mau nerima calon mantu yang nggak berkualitas sama sekali kayak pacar kakak kamu itu.” Nizwa sedikit menaikan nada bicaranya saking kesalnya dengan pacar kakak Prisa.
“Betul. Dari cara dia bisa bikin kamu kepikiran suka balik aja, udah bisa dipastikan kalau hubunganmu sama pacar kakak kamu ketahuan, pasti dia akan menyalahkan kamu yang terus ngerespon chat dia.” Salmira menatap lurus mata Prisa.
Terdengar Prisa menarik lalu membuang napas perlahan. Ekspresi wajahnya sudah tidak setegang tadi.
“Aku akan melakukan saran dari kalian. Doakan aku supaya kuat dan legowo ya menerima berbagai respon dari keluargaku. Aku sebenarnya juga pengen cerita ke orang tuaku, tapi masih maju mundur.”
“Yang bikin kamu maju mundur mau cerita ke orang tuamu apa, Sa?”
“Aku butuh dukungan, Na. Aku takut kalau aku cerita, aku salah ambil langkah.”
“Nggak usah takut kalau kamu berpegang teguh pada kebenaran, Sa. Mikirnya yang bagus-bagus. Karena apa yang terjadi bisa berawal dari apa yang kita pikirkan.”
“Niz, kamu bijaksana banget. Makasih ya, kalian merespon ceritaku tanpa menjudge aku buruk. Jujur, aku nggak mau jadi selingkuhan.” Prisa memeluk Nizwa saking bersyukurnya punya teman baik seperti Nizwa, Salmira, dan Ilona.
Salmira dan Ilona pun bangun dari duduknya. Keduanya ikut berpelukan, untuk saling menguatkan satu sama lain.
Pelukan empat teman baik itu berakhir lantaran ponsel Nizwa berbunyi. Nizwa sudah bisa menebak siapa yang meneleponnya.
“Halo, Kak,” sapa Nizwa.
Baru mengucapkan “halo kak” panggilan sudah diakhiri oleh lawan bicaranya. Segera Nizwa mengecek aplikasi bertukar pesan di ponselnya.
From: Kak Beni
[Niz, jam satu aku jemput, ya.]
From: Kak Beni
[Niz, aku lagi makan siang terus mau siap-siap. Maaf cuma bisa missed call.]
To: Kak Beni
[Iya, Kak. Aku nanti ganti baju dulu. Kakak hati-hati, ya.]
“Kak Ben, Niz?” tanya Ilona.
“Iya, Na,” jawab Nizwa lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas lagi.
“Niz, aku mau tanya, apa kamu beneran nggak bisa buka hati buat Kak Beni?”
“Aku nggak tahu, Sa. Aku serba salah. Aku nggak ada perasaan lebih sama Kak Beni. Tapi, buat nolak atau galak sama Kak Beni, aku nggak tega.”
Nizwa akhirnya memilih menumpahkan keluh kesah yang selama ini hanya diceritakan pada Kazan pada ketiga teman baiknya. Sebelum libur panjang, Nizwa ingin menyelesaikan satu masalah yang dihadapinya.
“Niz, kamu nggak pengen nyoba menjalani hubungan dulu sama Kak Beni?” tanya Salmira hati-hati.
“Alasannya apa, Sal? Kasihan? Kak Beni aja yang suka banyak. Aku tolak pun sebenarnya yang antri banyak, Sal. Aku juga pernah bilang sama Kak Beni kalau bisa nggak usah pacaran, langsung nikah aja.”
“Kak Ben suka dan sayangnya sama kamu, Niz. Dia juga pernah cerita nggak pengen pacaran gara-gara kamu pengennya langsung nikah,” cerita Ilona.
“Niz, Kak Beni boleh buat aku aja nggak sih? Kamu udah disayang setulus itu sama orang nyata yang jelas-jelas sudah menyatakan perasaannya tapi tetep milih temen virtual.”
“Kazan udah lulus jadi temen virtual ya, Sa. Besok minggu depan, Kazan ngajak main lagi. Tapi, di sisi lain Kak Beni juga ngajak main. Aku bingung jadinya. Mau nolak dua-duanya, kesempatan diajak main Kazan mungkin nggak datang dua kali.”
“Niz, aku nggak mau ngasih masukan selain ikuti kata hati kamu aja. Aku merasa kamu baik sama Kak Ben selama ini gara-gara tekanan dari aku.”
“Nggak papa, Na. Bukan gara-gara tekanan dari kamu juga. Akunya aja yang nggak tegaan.” Nizwa tersenyum manis. Tidak tega marah sama Ilona walaupun sebenarnya ingin.
“Semangat ya, Niz. Aku juga nggak bisa maksa. Walaupun, yang pasti Kak Beni tapi kalau hatimu nggak bisa, ya jangan dipaksa.”
“Makasih ya, Sal. Tapi, kalau aku salah tolong tetep harus ditegur ya.”
“Iya, Nizwa. Kita berempat harus tetep kompak apa pun yang terjadi. Inget-inget terus cita-cita persahabatan, ya.” Salmira menatap ketiga teman baiknya secara bergantian.
Lalu, keempat teman baik itu berpelukan lagi. Mereka berjanji akan selalu sayang satu sama lain meskipun telah lulus sekolah nanti. Dan, kalau sudah mendapat teman baru di perguruan tinggi, mereka akan selalu meluangkan waktu untuk tetap main bersama.
Tidak terasa sebentar lagi pukul satu siang. Nizwa diantar ketiga teman baiknya ke toilet untuk ganti baju dan memoles wajahnya biar terlihat fresh. Biar kata Beni, Nizwa tidak akan malu-maluin tetap saja Nizwa deg-degan parah.
Harapan Nizwa dengan memakai model baju semi formal, yaitu blazer warna putih dipadukan dengan kaos lengan panjang warna senada, bawahan warna cokelat muda, dan sneaker yang sudah dipakai dari sekolah adalah pilihan yang tepat.
“Aku nggak pede sama sekali,” keluh Nizwa setelah keluar dari toilet. Keempat teman baik itu berjalan menuju tempat janjian dengan Beni. Yaitu di dekat eskalator naik ke lantai dua.
“Niz, kamu cantik, kamu modis. Nggak akan malu-maluin kok.” Salmira memberikan afirmasi positif.
“Niz, kamu udah tahu wajah cewek yang nembak Kak Ben belum?” tanya Ilona tiba-tiba.
Nizwa memberikan respon gelengan kepala. Dia tidak tahu, tetapi keyakinannya bahwa perempuan yang menyatakan cintanya pada Beni adalah perempuan yang setara dari segi fisik dan kepintaran.
“Cantik, Na?” tanya Prisa yang jadi penasaran.
“Cantik. Tapi, nggak bisa dibandingkan kalau sama Nizwa. Cantiknya punya khas masing-masing.”
Nizwa menghentikan langkahnya tiba-tiba. Ingin rasanya mundur saja. Kesalahan terbesarnya sok-sokan mau membantu Beni.
“Niz, kenapa?” tanya Salmira.
“Aku jadi minder. Pengen mundur aja. Aku udah yakin cewek yang nembak Kak Beni pasti cantik dan pinter tapi kenapa aku memaksakan diri mau bantuin Kak Beni?”
“Niz, aku minta maaf kalau yang aku ceritain bikin kamu minder. Percaya sama aku, kalau Kak Ben suka dan sayangnya sama kamu kok.” Ilona berusaha menumbuhkan rasa percaya diri Nizwa.
“Niz, kamu cantik, kamu baik. Kak Beni tulus sama kamu.” Salmira turut menumbuhkan rasa percaya diri Nizwa.
“Niz, aku minta maaf ya.” Rasa bersalah hinggap di hati Ilona.
Nizwa menenangkan hati dan jantungnya. Dia harus mengontrol dirinya sendiri supaya tidak gugup. Sulit meskipun rasanya sulit, harus tetap konsekuen dengan keputusannya sendiri.
Langkah keempat teman baik itu telah sampai di tempat janjian. Bersamaan dengan itu, Beni juga baru saja sampai.
“Niz, kamu cantik banget,” puji Beni tulus setelah menyapa Nizwa dan ketiga teman baiknya.
Nizwa melihat mata Beni yang berbinar ketika bertemu dengannya. Mata yang selalu memandangnya sama ketika bertemu.
“Makasih, Kak. Tapi, aku tetep deg-degan.”
Beni memberanikan diri menyentuh pipi Nizwa dengan lembut. Bibirnya yang tersenyum tidak pernah pudar sejak bertemu Nizwa beberapa detik yang lalu.
“Kamu cantik banget. Kamu istimewa, Niz. Nggak perlu minder. Ayok, senyum biar benang kusutnya jadi cantik lagi.”
Melihat perlakuan Beni pada Nizwa membuat Salmira, Prisa, dan Ilona meleleh. Mereka kadang heran pada Nizwa yang sudah diperlakukan sebaik itu tetapi tidak kunjung memiliki perasaan yang sama dengan Beni.
Nizwa melepaskan tangan Beni. “Pokoknya selama nanti di kampus Kakak, Kakak nggak boleh ninggalin aku sendirian,” pinta Nizwa.
“Siap, Tuan Putri.”
Lalu, Nizwa dan Beni pergi ke kampus Beni setelah say goodbye dengan Salmira, Prisa, dan Ilona.
***