Mochi Messages

Fairamadhana
Chapter #13

Sakit Hati

“Hai, Ni. Apa kabar kamu? Akhirnya kamu main ke sini juga,” sapa Venezia saat membuka gerbang rumah untuk Aghni.

“Kabarku baik. Nizwa ngajakin main, Kak. Aku kemarin-kemarin nggak ke sini gara-gara ada sodara main ke rumah. Jadi, harus stay di rumah dulu, kayak calon manten dipingit. Kak Ve nggak ke kampus atau main ke mana gitu?”

“Oalah … pantes sekalinya bisa main langsung dari pagi. Ke kampus. Tapi, nanti siang, Ni. Ada urusan organisasi. Ayo masuk.”

Aghni mengikuti langkah Venezia yang berjalan di depannya. Sesampainya di ruang tamu, Venezia mempersilakan Aghni duduk.

“Mau minum apa, Ni? Nizwa masih siap-siap katanya,” tanya kakaknya Nizwa.

“Nggak usah, Kak. Tadi aku di rumah udah minum banyak.”

“Oke lah.” Venezia kembali masuk ke kamarnya tanpa basa-basi memaksa membuatkan minum Aghni. Ada tugas yang harus dikerjakan.

“Halo, Aghni. Lama nggak ke sini, fresh banget kamu hari ini. Jadi ya hari ini main sama Nizwa?” Mama Nizwa yang baru selesai mencuci piring di dapur menyapa teman baik anaknya itu. Mama Nizwa lalu duduk di samping Aghni.

Kalau Papa Nizwa sedang ada urusan di bengkel. Motor Venezia mogok. Jadi, harus dibawa ke bengkel dekat rumah karena nanti mau dipakai ke kampus.

“Makasih, Tante, untuk pujiannya. Tante apa kabar? Jadi dong, Tante. Aku yakin pasti Nizwa udah cerita mau main ke mana sama Tante, Om, sama Kak Ve,” jawab Aghni ramah setelah bersalaman dengan mamanya Nizwa.

“Kabar Tante baik. Cerita lah. Nizwa mana bisa nggak cerita sama orang rumah, Ni. Katanya mau muter-muter kayak biasanya terus beli mochi, ‘kan?”

“Iya, Tante. Lagi ngidam mochi anak Tante. Dari beberapa hari yang lalu rewel pengen mochi.”

“Nah iya. Setahu Tante, dia mau makan mochi, katanya enak, tapi mochi bukan selera dia gitu. Tapi, tadi malam bilang besok mau keluar beli mochi sama Aghni. Nanti kalau nggak habis Tante harus siap-siap ngabisin ‘kan ya?” cerita Mama Nizwa.

“Ya kan pengen keluar dari zona nyaman, Ma. Biar lidahku nggak pilih-pilih makanan. Terus katanya kalau udah jadi ibu harus doyan apa-apa yang halal kan? Biar anak mau dan gampang makan apa-apa yang halal. Nizwa janji nanti mochinya bakal Nizwa habisin sendiri.”

Gadis yang sedang dibicarakan Aghni dan Mama Nizwa muncul juga dari kamarnya. Penampilan Nizwa hari ini ada perbedaan sedikit. Walaupun sedikit tetapi untuk orang terdekatnya sangat terlihat jelas.

“Can? Kamu pakai softlens?” tanya Aghni yang langsung fokus memperhatikan mata Nizwa.

Hari ini Nizwa memakai kaos rajut warna ungu lengan sampai siku dan celana jeans. Rambutnya dikuncir kuda. Tas buat main favorit berwarna hitam yang selalu dipakai saat keluar dengan Aghni. Tidak lupa, pakai make up tipis dan minyak wangi.

Nizwa tidak pernah memakai softlens sebelumnya. Malah tidak punya barang kecil bulat itu.

“Iya. Aku jelek kah pakai softlens?” tanya Nizwa yang sudah duduk di tengah-tengah Aghni dan mamanya. Matanya terus menatap mata teman baiknya itu agar menjawab bahwa dia cantik.

Nizwa hanya ingin tampil cantik untuk dirinya sendiri. Apa salah jika dia sedikit mengubah penampilannya?

“Nggak. Nizwa selalu cantik. Cuma aku terheran-heran aja, Can.”

“Kamu selain mau muter-muter dan beli mochi, mau ketemu siapa lagi sih, Nak?” tanya Mama Nizwa yang juga terheran-heran dengan sikap anak bungsunya yang akhir-akhir ini selalu mengganggu kakak perempuannya supaya mau mengajari cara pakai softlens.

“Sama Nak Beni kah?” sambung Mama Nizwa yang penasaran.

“Main sama Aghni doang, Ma. Nizwa biar nggak kudet-kudet amat tentang dunia perkulineran yang semakin hari semakin banyak jenis dan warnanya.”

“Gimana kabar Nak Beni? Hubungan kamu sama Nak Beni baik-baik aja ‘kan, Nak?”

Pertanyaan Mama Nizwa cukup mengejutkan Nizwa. Tiba-tiba sekali beliau menanyakan tentang Beni. Entah mengapa pikiran Nizwa jadi ke mana-mana.

“Nak Beni itu Kak Beni kakak kelas Nizwa ya yang Tante maksud?” tanya Aghni yang jadi penasaran dengan obrolan anak dan mama itu.

“Iya, Ni. Anaknya ganteng dan sopan.”

“Kabar Kak Beni baik, Ma. Can, ayo berangkat sekarang keburu siang.”

Nizwa pamit sama mama dan kakaknya. Harus cepat-cepat pergi sebelum Aghni keceplosan. Nizwa ingin hari ini menjadi hari yang indah untuknya.

***

Nizwa dan Aghni memutari kota kelahiran mereka. Hari masih pagi, udara bisa dibilang masih lumayan segar. Tiba-tiba, Nizwa rindu sekolah. Meskipun sedang musim libur anak sekolah, tetapi kota kelahiran Nizwa ini selalu ramai tanpa peduli musim.

“Can, nanti kamu mau main sama Kazan ‘kan? Janjian ketemunya di alun-alun kota, ‘kan?” tanya Aghni membuka obrolan di motor.

“Iya, nanti sebelum jam sebelas, kita usahakan udah sampai sana ya, Can.”

“Siap, Baginda Ratu. Eh, aku kepo, tadi Mama kamu kok bisa bahas nama Beni, sih? Beni yang dimaksud Kak Beni yang kata kamu idola sekolah itu ya?”

“Iya, Can. Mungkin dikira aku pakai softlens gara-gara mau ketemu sama Kak Beni kali.”

“Emang kamu nggak cerita mau keluar sama Kazan? Kenapa, Can?” tanya Aghni yang sedari tadi sudah penasaran.

“Aku belum siap ngenalin nama Kazan ke keluargaku, terutama ke ketua rumah tangga, Can. Nggak tahu kenapa. Mamaku tahu Kak Beni aja nggak sengaja dan bener-bener tidak aku rencanakan.”

“Pas apa, Can? Pas kamu disuruh pura-pura jadi pasangannya itu, ya? Kamu pulangnya dianterin Kak Beni?”

“Iya, Can. Pas pulang kebetulan mamaku di luar. Karena Kak Beni anak baik ya udah memperkenalkan diri, salaman, sama pamitan dulu sama mamaku.”

“Aku menilai Kak Beni dari ceritamu selama ini, dia kayak beneran tulus sama kamu ya, Can. Kamu nggak pengen nyoba deket sama Kak Beni yang deket lebih dari temen gitu, Can?”

“Kayaknya nggak, Can. Aku nggak pengen pacaran deh. Pengen langsung nikah aja kalau bisa."

“Kamu beneran suka dan milih Kazan, Can? Apa artinya ini kamu menolak yang pasti untuk yang nggak pasti? Ketua rumah tangga aja udah setuju kamu sama Kak Beni. Nilai plus buat Kak Beni itu tuh.”

Nizwa memilih diam seribu bahasa. Aghni tidak tahu cerita Kazan yang sempat terbawa perasaan sama Nizwa. Entah mengapa Nizwa ingin menyimpan rapat cerita itu hanya untuk dirinya sendiri. Kisahnya dengan Kazan terlalu eksklusif untuk menjadi konsumsi publik.

“Malah diem. Kamu mau nemenin aku sarapan nggak, Can? Aku belum sarapan nih,” tanya Aghni saat cacing-cacing di perutnya mulai protes.

“Kamu kebiasaan banget kalau sarapan udah di luar jam sarapan, Can. Mau makan apa?” jawab Nizwa agak kesal karena Aghni paling susah disuruh sarapan sesuai jamnya. Ada saja selalu alasannya.

“Hehehe … kamu kan tahu aku kalau sarapan pagi pasti bab. Sekolahku nanti bisa telat kayak dulu waktu SMP. Aku juga kalau mau bab nggak bisa di sembarang kamar mandi."

“Mumpung libur kebiasaannya tolong diubah dong, Can.”

“Udah jadi kebiasaanku, Can. Perutku terlalu elastis kalau pagi.”

Motor yang dikendarai oleh Aghni berhenti di depan warung tahu kupat. Kedua teman baik sejak SMP itu masuk lalu duduk saling berhadapan. Warung tahu kupat lumayan ramai pagi ini.

Nizwa hanya menunggu Aghni sarapan. Sebenarnya, kalau hanya tahu kupat perut Nizwa masih muat. Namun, dia sengaja ingin menyisakan ruang di ususnya untuk mochi yang katanya paling enak di kota ini versi Kazan. Selagi menunggu, dia bermain ponsel sambil menyeruput teh hangat pesanannya.

From: Kazan

[Niz, nanti jadi kan? Aku mau mandi kenapa males sekali ya wkwk….]

From: Kak Beni

[Niz, lagi apa? Maaf baru balas chatmu semalam. Nggak papa, nanti aku beli sendiri aja kalau gitu.]

From: Ilona Lona

[Niz, kamu nggak kangen sama aku kah? Hehehe.]

From: Sal Salmira

[Nizwaaaaaa kamu kapan ngajak aku main? Liburan semester ini aku hampa banget gara-gara Putra balik kampung.]

From: Devan

[Niz, Nizwa.]

Saat membaca nama Devan, Nizwa merasa lega. Teman yang juga mantan tetangganya itu akhirnya menghubunginya, setelah pesan teksnya diabaikan Nizwa.

To: Devan

[Hai, Van. Akhirnya kamu chat aku.]

To: Sal Salmira

[Putra liburan semester ini full di kampung halaman, Sal?]

To: Ilona Lona

[Biasa aja tuh, Na. Salmira ngajakin main tuh. Bisa diagendakan. Ngajak Prisa jangan lupa.]

To: Kazan

[Awas ya kalau ketemu aku nggak mandi. Awas juga kalau nggak jadi. Lidahku udah pengen banget mochi ini. Sesuai perjanjian, nanti jam sebelas, kita ketemu di alun-alun kota.]

To: Kak Beni

[Aku minta maaf ya, Kak.]

Setelah membalas pesan teks dari Beni, Nizwa memasukkan ponselnya ke dalam tas kecil hitam miliknya. Dia tidak mau moodnya berantakan. Sebisa mungkin hari ini harus menjadi hari yang indah untuk Nizwa.

“Kamu udah dandan cantik, kenapa cemberut, Can? Kazan batalin janjinya ya?” Aghni sudah selesai makan. Dia minum es teh pesanannya.

Nizwa menggelengkan kepala. “Nggak mungkin Kazan membatalkan janjinya. Dia tahu aku pengen mochi kayak orang ngidam.”

“Eh kamu habis ngapain kok ngidam? Sama siapa? Awas jangan main-main kamu, Can. Papamu sama ketua rumah tangga galak banget kalau dua anak gadisnya neko-neko.”

“Eh tadi di rumahku kamu yang bilang aku ngidam mochi ya, Can. Jangan playing victim.”

“Galak amat. Kamu lagi kedatangan tamu bulanan kah, Can?” Aghni jadi takut sendiri mengajak bicara Nizwa.

“Kepo. Can, muter-muter lagi yuk. Makanmu udah selesai ‘kan?” Nizwa ingin mengalihkan pembicaraan.

“Ayok lah. Tapi, aku bayar dulu. Aku anak baik-baik.”

Nizwa tertawa kecil melihat wajah kesal Aghni. Kemudian, dia menyusul Aghni menuju meja kasir.

“Can, habis ini kita langsung ke alun-alun aja gimana? Kamu nggak capek muter-muter? Ini juga udah hampir jam sepuluh. Nanti nunggu Kazan sambil ngemil apa gitu di sana,” tanya Aghni saat lampu lalu lintas menyala merah. Tinggal lewat satu lalu lampu lintas lagi terus belok kiri sudah sampai di alun-alun kota.

“Aku nurut kamu aja, Can. Aku tadi bilang ngajak muter-muter biar cepet keluar dari warung tahu kupat. Ramai pol, aku nggak betah.”

Bagi Nizwa terlalu lama di dalam ruangan yang banyak orang bisa menghabiskan energinya. Kalau di tempat terbuka, Nizwa masih bisa menoleransi karena tidak perlu sampai berebut oksigen.

“Tapi, yang jual bahagia, Can, kalau warungnya ramai kayak tadi.”

“Iya bener, Can. Kamu nggak salah.”

“Kamu harusnya ikut seneng dong, Can, kalau orang lain seneng.”

“Bebas, Can. Kamu bebas ngomong apa pun.”

Terdengar suara tawa Aghni ketika mendengar jawabannya. Nizwa memilih menikmati pemandangan kota. Hal itu lebih jauh lebih menyenangkan daripada merespon Aghni lagi.

***

From: Kazan

[Wkwkwk … oke lah, Niz, aku mandi kalau gitu. Tungguin, sabar….]

From: Devan

[Yang ada seharusnya aku yang bilang “Niz, akhirnya kamu balas chatku”. Aku terabaikan setelah kamu kenal Kazan.]

From: Kak Beni

[Nggak papa, Niz. Kamu mau nitip sesuatu nggak? Nanti aku anterin ke rumahmu. Kamu banyak istirahat, ya.]

From: Ilona Lona

[Boleh. Sal ngajakin liat danau dan senja. Kamu mau nggak, Niz?]

From: Sal Salmira

[Iya, Niz. Mumpung bundanya bisa ambil cuti. Keluar sore-sore, makan seblak sambil liat danau seru banget deh, Niz.]

To: Devan

[Wkwkwk maafkan aku, Van. Aku sungguh masih menganggapmu teman.]

To: Kazan

[Oke, aku tungguin dengan sabar. By the way, aku udah di alun-alun sama Aghni, ya.]

To: Ilona Lona

[Mau-mau aja. Asal dijemput, ya wkwk.]

To: Sal Salmira

[Oh begitu. Iya seru, Sal. Kalau kamu mau jemput aku, aku yakin akan lebih seru lagi, Sal, wkwk.]

Lihat selengkapnya