Mochi Messages

Fairamadhana
Chapter #14

Lovey-Dovey

To: Kazan

[Zan, kamu lagi apa? Sibuk nggak kira-kira?]

Hubungan Nizwa dan Kazan sejak makan berdua di wedangan sore itu menjadi semakin dekat. Nizwa sebisa mungkin selalu meluangkan waktu untuk chattingan dengan Kazan.

Dan, Kazan pun melakukan hal yang sama. Dia selalu meluangkan waktu untuk memberi kabar dan menceritakan kegiatannya pada Nizwa. Kedua anak manusia itu sudah tidak canggung menunjukkan rasa peduli satu sama lain.

From: Kazan

[Hai, Niz. Aku baru aja selesai bantuin ibuku. Ini udah nggak terlalu sibuk. Pengen cerita apa?]

Membaca pesan teks dari Kazan membuat Nizwa salah tingkah. Hubungan mereka hanya teman tetapi perhatian Kazan baginya melebihi seorang teman.

To: Kazan

[Anak nomor satu rajin banget bantuin ibunya. Tetep jadi Kazan yang sayang sama ibu, anak nomor dua, satu, dua, sama tiga ya, Zan.]

From: Kazan

[Siap. Kamu mau cerita apa, Niz? Aku satu jam lagi mau nganterin anak nomor dua ke rumah temannya. Soalnya, nanti motornya mau aku pakai main sama Arkan dan Idris, Niz….]

To: Kazan

[Jadi berangkat ngecamp, Zan, nanti? Kamu hati-hati ya nanti di perjalanan dan sampai di sananya. Aku mau cerita tentang temen sama kakak kelasku, Zan. Bisa nggak?]

Nizwa merasa harus hati-hati jika ingin membahas tentang kakak kelasnya. Ada rasa tidak mau membuat Kazan berpikir kalau Nizwa menaruh perasaan pada kakak kelasnya.

Kadang perasaan menyesal tiba-tiba muncul karena tidak memberi jawaban pasti ketika ditanya Kazan tentang perasaannya.

From: Kazan

[Jadi, Niz. Siap, nanti kalau nggak ada sinyal aku minta maaf nggak bisa fast respon atau sekadar ngasih kabar, ya. Silakan, Niz, aku bisa-bisa aja ini….]

Hati Nizwa semakin meleleh membaca pesan balasan dari Kazan. Sebegitu perhatiannya Kazan padanya.

To: Kazan

[Nggak papa, Zan. Nanti pas mau berangkat kabari, ya. Gini, Zan, hubunganku sama temenku yang kemarin nyalahin aku udah mulai membaik. Aku bisa kok maafin dia. Dia dimintain tolong sama kakak kelasku buat nyampein pesan kalau kakak kelasku pengen ngobrol berdua sama aku. Menurutmu aku harus gimana? Kakak kelasku nggak ada chat aku apa pun.]

From: Kazan

[Siap, aku sampai di sana pun juga pasti ngabarin kamu kalau ada sinyal, Niz. Kamunya gimana? Kamu mau nggak? Kapan kakak kelasmu ngajak ketemunya, Niz?]

To: Kazan

[Aku tungguin kabarnya ya, Zan. Nanti siang, sebelum aku main sama temen-temenku, Zan. Nanti temenku jemput aku buat nganterin ketemu kakak kelasku dulu di kafe. Tapi, dia nggak duduk satu meja sama aku dan kakak kelasku.]

From: Kazan

[Siap. Perasaanmu udah beneran baik-baik aja, Niz?]

To: Kazan

[Iya, Zan. Nggak baik nyimpen luka lama-lama. Aku juga udah maafin kakak kelasku.]

From: Kazan

[Kalau kamunya mau silakan, Niz. Aku nggak ada hak buat ngelarang kamu. Tapi, aku minta kabarin aku terus bisa nggak?]

To: Kazan

[Aku kalau bisa ngabarin, pasti aku kabarin kamu, Zan. Cuma kakak kelasku ini cemburu parah sama kamu. Nanti kalau dia tahu aku pegang hape terus apa dia nggak marah lagi, Zan?]

From: Kazan

[Dia emang punya hak buat marah ya, Niz? Kamu ada hubungan apa sama kakak kelasmu, Niz?]

Mata Nizwa melotot membaca pesan teks dari Kazan. Meskipun hanya ketikan, Nizwa membaca pesan itu dengan penuh emosi. Apa Kazan cemburu?

To: Kazan

[Hubunganku sama dia sebatas kakak kelas dan adik kelas, Zan. Maksudku, aku nggak mau mengulang kesalahan, Zan. Dia ngajak ngobrol berdua itu pasti buat ngajak baikan kan? Masak aku bikin marah lagi?]

Nizwa ingin hati-hati sekali membalas pesan teks dari Kazan, tetapi tidak bisa. Ada saatnya, Nizwa juga harus menyampaikan maksudnya sesuai apa yang dia mau.

From: Kazan

[Kabarin aku sebisamu, Niz. Walaupun jujur, aku pengennya kamu bisa pegang hape terus. Aku nggak mau kakak kelasmu bikin kamu sedih lagi sampai hampir musuhan sama temenmu sendiri….]

To: Kazan

[Oke, Zan. Terima kasih udah peduli sama aku.]

From: Kazan

[Sama-sama, Niz. Aku mau tanya sama kamu, Niz….]

To: Kazan

[Mau tanya apa, Zan?]

From: Kazan

[Apa bedanya mochi sama kamu?]

To: Kazan

[Kalau mochi untuk dimakan, kalau kamu untuk aku. Bener, ‘kan?]

From: Kazan

[Sip! Aku kirim mochi cokelat ke rumah kamu sekarang.]

To: Kazan

[Eh maksudnya gimana, Zan? Emang jawabanku bener?]

Nizwa mengetik dengan cepat lalu buru-buru dia kirim. Jawaban Nizwa di atas sejujurnya hanya bercanda karena memang kebiasaannya dan Kazan suka bercanda.

From: Kazan

[Aku mau beliin kamu mochi cokelat, Niz, lewat ojek online. Biar kamu inget sama aku dan buat jaga-jaga kalau kamu dibikin sedih lagi sama kakak kelasmu. Jadi, udah ada penawarnya. Soalnya aku nggak bisa ada buat kamu hari ini. Nanti tolong dibawa, ya.]

Mulut Nizwa sampai terbuka saat membaca pesan teks dari Kazan. Seorang Kazan, manusia random, bisa seperhatian ini padanya. Ingin sekali rasanya dia bercerita pada dunia kalau saat ini dia sangat bahagia.

To: Kazan

[Ya ampun, Zan. Aku nggak bakal lupa sama kamu. Ini nanti mochinya aku beli sendiri nggak papa, lho. Makasih sekali lagi udah perhatian dan peduli sama aku.]

Walaupun hatinya sangat bahagia sekarang, tetapi Nizwa juga masih punya rasa sungkan.

From: Kazan

[Niz, tolong jangan ditolak ya. Aku sedih dan bakal kepikiran kamu terus pas ngecamp kalau kamu tolak. Udah aku pesenin. Tinggal kamu tungguin, ya.]

To: Kazan

[Baik, Zan. Kalau ada waktu, bisa nggak kita main lagi, Zan?]

From: Kazan

[Bisa, tapi setelah pengumuman masuk universitas ya, Niz. Sebentar lagi kita udah dihadapkan dengan berbagai ujian. Ayok, kita sama-sama berusaha dan saling mendukung satu sama lain, bisa masuk universitas impian kita….]

Nizwa sudah tidak mampu lagi mendeskripsikan perasaannya yang terus-terusan dihujani perhatian sama Kazan. Kalau ada satu kata yang levelnya di atas bahagia, Nizwa akan menggunakan kata itu.

To: Kazan

[Oke, Zan. Tapi, tolong tetep saling bertukar kabar ya, selama masa-masa itu. Biar hariku nggak terasa berat banget.]

From: Kazan

[Oke, Niz. Kamu siap-siap gih. Drivernya udah mau nyampe rumahmu. Kasihan nanti kalau kelamaan nunggu….]

From: Ilona Lona

[Niz, aku otw, ya.]

To: Kazan

[Oke, Zan. Makasih ya. Aku sekalian siap-siap pergi ya. Temenku udah otw ini. Biasanya kalau dia chat otw itu kode aku disuruh siap-siap. Bye-bye, Zan. Tolong kabarin aku, pas mau berangkat ngecamp.]

Nizwa tidak menunggu pesan balasan dari Kazan dan sengaja tidak membalas pesan teks dari Ilona. Kalau dibalas, biasanya Ilona akan marah karena katanya membuang waktu berharganya.

***

Nizwa dan Ilona sudah sampai di kafe tempat janjian dengan Beni. Ternyata Beni sudah sampai lebih dulu. Motornya sudah terparkir di parkiran.

“Na, bentar aku mau ada perlu bentar.”

Nizwa segera mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Mainnya kali ini memakai tas yang berbeda, warnanya abu-abu dan ukurannya lebih besar dari tasnya yang warna hitam.

“Oke, Niz,” jawab Ilona.

From: Kazan

[Iya, Nizwa. Hati-hati, ya. Bye-bye.]

To: Kazan

[Zan, aku udah di parkiran kafe. Maaf tadi nggak ngabarin pas mau otw. Ini mochinya udah aku bawa. Makasih ya.]

From: Kazan

[Iya, Niz, nggak papa. Ini aku mau otw ke rumah Arkan dulu.]

To: Kazan

[Oke. Hati-hati ya, Zan. Aku masuk ya.]

Nizwa memasukkan ponselnya ke dalam tas lagi. Ponselnya sudah mode silent, supaya nanti tidak berisik. Dia mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Beni, setelah satu minggu tidak chattingan.

“Udah, Niz? Chat siapa sih kalau aku boleh tahu?”

“Udah, Na. Chat Kazan,” jawab Nizwa jujur. Ilona tahu kalau Nizwa dan Kazan masih bertukar pesan sampai sekarang. Jadi, jujur adalah pilihan terbaik.

“Oh … Niz, makasih ya udah mau ketemu Kak Ben. Sekali lagi aku minta maaf, udah marah-marah sama kamu.”

“Sama-sama, Na. Nggak papa, aku udah maafin kamu, kok.”

“Udah siap ketemu Kak Ben, Niz? Kata Kak Ben kalau kamu nggak mau ketemu nggak papa. Dia barusan chat aku.”

“Udah sampai sini, Na. Kak Beni udah sampai sini juga kan? Tuh motornya.” Nizwa menunjuk motor Beni, motor yang pernah dipakai mengantarkannya pulang.

“Iya, Kak Ben sempet ngintip waktu aku ngasih tahu kalau udah sampai di parkiran.”

“Aku nggak papa, Na. Masalahku sama Kak Beni biar cepet selesai juga.”

“Pokoknya kamu jujur aja sama Kak Ben ya, Niz. Kita udah bahas kemarin-kemarin.”

Nizwa hanya merespon anggukan kepala. Lalu, melangkahkan kakinya menuju pintu masuk kafe. Supaya tidak buang-buang waktu percuma. Kasihan Beni juga kalau menunggu terlalu lama.

Ilona segera menyusul Nizwa, menyamakan langkah kakinya. Setakut-takutnya Nizwa bertemu Beni, lebih takut kalau masalahnya dengan Beni tidak kunjung bertemu dengan kata saling memaafkan dan selesai.

“Hai, Kak,” sapa Ilona menyapa Beni yang sedang sibuk dengan ponselnya.

Beni mengangkat kepalanya, menyapa balik Ilona. Keduanya ngobrol basa-basi sebelum Beni menyapa Nizwa terlebih dahulu.

Nizwa tidak memiliki energi untuk menyapa Beni terlebih dahulu. Tiba-tiba saja mulutnya terkunci rapat dan badannya diam di tempat.

“Hai, Niz.” Beni menyapa sembari bibirnya tersenyum dan mengulurkan tangan mengajak Nizwa berjabat tangan.

Nizwa membalas uluran tangan Beni. “Hai, Kak,” sapanya.

Nizwa segera melepaskan tangannya. Jantungnya berdetak tidak karuan. Dia menarik napas lalu membuangnya perlahan supaya tidak terlalu canggung.

“Ya udah. Aku ke meja sana ya, Niz, Kak. Nanti es cokelatmu tadi biar di antar ke sini, Niz,” ucap Ilona sambil matanya memberi kode meja yang akan ditempati.

“Oke, Na,” sahut Nizwa dengan suara pelan sekali.

“Makasih ya, Na,” jawab Beni.

“Masama, Kak.”

Setelah Ilona pergi, Beni mempersilakan Nizwa duduk. Nizwa pun mengangguk lalu duduk di kursi yang posisinya berhadapan dengan Beni. Supaya tidak canggung terus-terusan, dia memberanikan diri membalas menatap Beni yang sejak Ilona pergi tidak mengalihkan pandangannya darinya. Walaupun jantungnya rasanya ingin melompat dari tempatnya.

Lihat selengkapnya