Mochi Messages

Fairamadhana
Chapter #15

Car Free Day

“Ciee calon mahasiswa baru mau ke mana? Tumben jam segini udah dandan,” ledek Venezia yang berdiri di pintu kamar adiknya lalu masuk dan duduk di pinggiran tempat tidur.

“Mau main sama temen lah. Kak Ve hari ini keluar nggak? Aku mau pakai motor Kakak, boleh?” tanya Nizwa dengan polosnya. Tangannya masih sibuk menyisir rambut panjangnya.

Kepala Venezia menggeleng. “Pakai aja. Nggak sama Aghni, ya?”

“Nggak, Kak. Ini hari Minggu. Dia jadwalnya main sama pacarnya. Terus, tumben mandi pagi?”

“Perasaan aku kalau mandi pagi deh. Terus kamu mau keluar sama siapa? Sama temen-temen sekolah? Tumben nggak cerita-cerita?”

“Aku udah cerita sama papa sama mama. Siapa suruh kemarin Kak Ve pulang udah gelap?”

“Ya kan ada urusan sama temen-temen. Nanti aku tanya sama mama ah! Sama pacar kamu kah?”

“Selama Kak Ve masih jomblo, aku nggak pacaran dulu. Pilih langsung nikah aja.”

Sampai sejauh ini, Nizwa masih bertahan dengan prinsipnya yang kalau bisa langsung nikah, tanpa pacaran. Hubungannya sama Kazan memang belum bertemu kata jadian, meskipun sudah memiliki panggilan khusus.

“Yee aku nggak punya pacar juga karena pengen langsung nikah aja. Udah kapok pacaran rasanya.”

“Makanya jangan aneh-aneh, segala pacaran pengen dicobain juga. Untung sekarang Kak Ve udah tobat.”

“Iya dong. Kalau nggak tobat, nanti kamu contoh. Sebagai kakak bebannya berat banget. Harus ngasih contoh yang baik.” 

“Betul. Tapi, aku nggak mau pacaran karena kemauanku sendiri. Bukan gara-gara Kak Ve, ya.” Nizwa sengaja memperjelas biar kakaknya tidak terlalu percaya diri.

“Iya iya. Tenangkan hati dan pikiranmu, Nizwa,” ledek Venezia, yang tidak ada kapoknya.

Nizwa mematutkan penampilannya sekali lagi di depan cermin. Hari ini dia mau ke CFD (Car Free Day). Mumpung sudah bebas dari ujian dan sudah dinyatakan diterima di universitas dan jurusan impiannya. Nizwa ingin menikmati hari-harinya sebelum merantau jauh dari orang tua.

“Udah cantik. Mau pakai softlens lagi nggak?” goda Venezia terus-menerus.

“Nggak. Makasih. Mataku perih pakai softlens,” tolak Nizwa dengan tegas.

Nizwa tidak mau sok-sokan pakai softlens lagi. Matanya jadi perih untung hanya semalam. Meskipun, membuat penampilannya jadi lebih cantik, tetapi Nizwa enggan memakainya lagi. Kecuali ada tuntutan yang mengharuskannya memakai benda bulat kecil itu.

Terdengar suara tawa Venezia. Nizwa memilih segera keluar kamar. Rasanya kesal sekali, kakak satu-satunya itu masih saja meledeknya perkara softlens.

“Minggir. Anak cantik mama sama papa mau lewat.”

Nizwa keluar kamar sambil menutup pintu. Ingin mengusir kakaknya secara terang-terangan hatinya yang lembut tidak tega. Venezia ikut keluar dari kamar adiknya.

“Kunci motornya di kamarku. Jangan lupa diambil dulu,” pesan Venezia setelah menghentikan tawanya sejenak.

“Oke. Kak Ve kalau ketawa jelek banget. Jangan lebar-lebar buka mulutnya. Nanti nyamuk atau lalat masuk, kapok. Thank you, udah dipinjami motor.”

Nizwa buru-buru masuk ke kamar kakaknya. Dia sudah ditunggu seseorang.

Setelah pamitan sama mama dan papanya, Nizwa segera menuju tempat janjian.

***

From: Kazan

[Muw, aku otw, ya....]

From: Kazan

[Muw, aku udah sampai, ya. Kamu hati-hati di jalan....]

Nizwa membuka ponselnya saat sampai di parkiran. Dia tidak sempat membuka ponselnya selama di rumah tadi. Bangunnya saja sudah agak kesiangan kalau niat mau ke CFD.

To: Kazan

[Muw, kamu di mana? Maaf aku tadi nggak pegang hape. Ini aku udah di parkiran.]

From: Kazan

[Nggak papa, Muw. Ini aku nunggu di seberang mainan anak-anak yang sebelahnya ada panggung acara bank, Muw. Lebih tepatnya di depan rumah makan gudeg yang terkenal itu, lho.]

To: Kazan

[Oke. Aku ke sana, Muw. Jangan pergi.]

Setelah membalas pesan teks dari Kazan, Nizwa bergegas menuju tempat di mana Kazan menunggunya.

“Hai, maaf ya, aku telat datangnya. Tadi mandiku antri, bangunku juga kesiangan.”

Sesampainya di tempat Kazan menunggunya, Nizwa memberi alasan keterlambatannya. Dia selalu berusaha untuk menjadi orang yang tepat waktu. Jadi, kalau datang terlambat rasanya mengganjal sekali.

Dia tersenyum pada Kazan yang sedang asyik duduk mendengarkan musik lewat earphone sambil main game untuk mengusir rasa bosan.

Kazan melepaskan kedua earphone yang tersumpal di telinganya. Lalu, berdiri sambil membalas senyuman dari lawan bicaranya dan memasukkan earphonenya ke saku celana.

“Hai, Niz,” sapa Kazan. “Aku nungguin kamu baru 20 menitan.”

“Maaf ya, Zan. Soalnya, tadi mandiku antri. Kakakku pengen mandi pagi katanya. Bangunku juga kesiangan."

Nizwa mengulangi alasannya. Sebab, tadi Kazan sedang mendengarkan musik dan main game, wajar kalau tidak mendengar alasan keterlambatannya.

Meskipun, baru bertemu lagi setelah hampir enam bulan tidak bertemu, Nizwa dan Kazan tidak menunjukkan rasa canggung. Mereka tetap bertukar pesan teks, selagi menghadapi soal ujian yang bertubi-tubi.

Untuk panggilan di chat room dan bertemu langsung, Nizwa tidak mempermasalahkan Kazan mau memanggilnya apa karena kalau di tempat umum disuruh memanggil Kazan pakai panggilan di chat room, Nizwa pun masih merasa malu.

“Oalah … nggak papa, Niz. Kamu waktu di alun-alun nungguin aku lama banget, nggak ada marah.”

“Kalau marah menurutku bakal merusak suasana, Zan. Aku capek sebenarnya nungguin kamu waktu itu. Tapi, kamu udah minta maaf dan jelasin alasannya. Jadi, ya udah sih, nggak perlu diperpanjang.”

“Niz, kamu jujur banget. Tapi, makasih ya, udah jadi cewek yang nggak ribet. Mau ke mana dulu kita?”

Nizwa tersenyum manis. Gemas sekali dengan laki-laki yang berdiri di depannya ini. Ini bukan pertama kalinya, Nizwa keluar berdua dengan lawan jenis, karena pernah keluar berdua sama Beni waktu dimintai tolong jadi pasangan pura-pura. Namun, kalau keluarnya sama Kazan tetap saja harus mengontrol hatinya.

“Mau jalan-jalan dulu baru sarapan atau sarapan dulu biar nggak kehabisan baru jalan-jalan juga nggak papa. Aku ngikut aja, soalnya yang laperan di antara kita ya kamu,” ledek Nizwa.

“Yee bisa-bisanya ngeledekin aku. Padahal, aku tahu kamu pasti sekarang juga lagi laper.”

Lihat selengkapnya