Nizwa sudah resmi menjadi seorang mahasiswa sejak dua bulan lalu. Di tempat yang baru, Nizwa siap membuka lembaran baru.
Namun, ada satu hal yang sampai saat ini belum bisa Nizwa lupakan. Yaitu perasaannya pada Kazan. Sekeras apa pun usahanya ingin melupakan dan membenci Kazan, hati kecilnya selalu memiliki tempat khusus untuk nama itu. Selalu ada rindu yang entah bakal bertemu tuannya atau tidak. Rindu yang Nizwa benci adalah rindunya pada Kazan.
Heran, padahal Kazan sudah sangat mengecewakannya. Tidak ada pesan teks sama sekali sejak kejadian waktu itu. Nizwa pun enggan menghubungi terlebih dahulu. Ingin memblokir nomor Kazan pun rasanya sulit. Menghapus nomor Kazan, mengarsipkan pesan, menyimpan lukisan styrofoam di lemari, dan memindahkan file foto bersama Kazan di flashdisk khusus adalah jalan ninja Nizwa untuk mengobati rasa kecewanya.
Besok tanggal merah yang berarti hari libur, tetapi Nizwa tidak pulang ke kota kelahirannya. Tentu saja rasa rindu pada keluarga dan teman-temannya sudah menyerang sejak pertama menginjakkan kaki di kota perantauannya ini. Namun, Nizwa sudah mantap akan pulang enam bulan sekali atau jika ada urusan mendesak saja. Demi lebih fokus menggapai cita-citanya, cepat beradaptasi di tempat baru, dan berharap bonus bisa cepat melupakan Kazan.
Untuk menghabiskan sisa hari yang agak mendung, Nizwa duduk sendirian di kafe sambil menikmati pemandangan lalu lalang kendaraan. Nizwa belum memiliki teman dekat yang bisa dikatakan dekat. Entah mengapa Nizwa jadi kurang bisa cepat akrab dengan orang baru seperti dulu. Ini salah satu sebab dia semakin ingin menantang diri, pulang ke rumah tidak setiap bulan. Meskipun, jarak kota kelahiran dan kota perantauannya hanya tiga jam.
Di atas meja bundar di hadapannya ada segelas es teh dan satu mochi rasa cokelat. Sejak kejadian itu, salah satu cara Nizwa untuk mengobati rindunya pada Kazan adalah dengan makan satu mochi rasa cokelat. Dulu, Nizwa bisa makan mochi lebih dari satu, sekarang satu saja sudah cukup.
Masih terekam jelas di ingatannya kata-kata dari laki-laki yang membuatnya suka sama mochi. Jika sedih, Nizwa disuruh makan mochi rasa apa pun bebas tetapi dia menyarankan rasa cokelat. Doktrin kata-kata itu membekas di hati dan ingatan Nizwa sampai sekarang.
Tentang mochi, mochi adalah satu-satunya kenangan bersama Kazan yang sampai saat ini sulit Nizwa hindari. Mochi sudah menjadi kudapan favorit lidahnya. Dan, di tempat tinggal barunya, kafe ini mempunyai mochi yang rasanya juara di lidah Nizwa.
Nizwa menikmati mochi rasa cokelat di hadapannya sampai tandas lalu menyeruput es teh. Segera dia mengalihkan pandangan ke arah jendela kaca yang ada di sampingnya. Mengalihkan perhatiannya supaya tidak terlalu fokus pada rindunya pada Kazan.
“Permisi, Kak.”
Seorang pelayan menghampiri meja Nizwa. Segera Nizwa memperbaiki posisi duduk dan tersenyum, tidak ingin raut wajah sedihnya diketahui orang lain supaya terlihat baik-baik saja.
“Iya, Kak. Ada apa, ya?”
“Dengan Kak Nizwa, betul?”
“Betul.” Nizwa mengangguk.
Pelayan itu meletakkan cokelat batangan dan secarik kertas yang ditaruh di atas baki di hadapan Nizwa. “Kak, seseorang yang duduk di meja nomor 7 minta tolong sama saya untuk memberikan ini ke Kakak. Nanti setelah kakaknya selesai dari toilet, dia akan ke sini.”
Mata Nizwa mengelilingi kafe mencari meja nomor 7. Ternyata posisi meja itu tidak terlalu jauh dari meja Nizwa. Meja nomor 12.
“Boleh saya tahu siapa nama orang duduk di meja nomor 7 itu, Kak? Dan, ini apa ya, Kak?” Raut wajah Nizwa terlihat penasaran.
“Nanti kakak yang duduk di meja nomor 7 akan ke sini, Kak. Ini cokelat dan pesan dari kakak yang duduk di meja nomor 7, silakan dibaca selagi menunggu. Jangan lupa cokelatnya dimakan supaya tidak bosan menunggu. Saya permisi dulu, Kak.”
“Silakan, Kak.” Nizwa tidak ingin membuang waktu, ingin segera menuntaskan rasa penasarannya.
Setelah pelayan pergi, Nizwa membuka kertas yang ada di meja bundar di hadapannya.
Untuk: Nizwa Zawra Shanum
Niz, makan cokelat bisa mengurangi rasa sedihmu. Endorfin yang dilepaskan otak saat mengonsumsi cokelat, bisa membuat seseorang nyaman dan bahagia. Di depanku nanti, tolong jangan sembunyikan kesedihanmu, ya.
Nizwa menutup kertas yang dia baca. Pandangannya memutari sekitar. Mencari petunjuk kira-kira siapa yang mengirim semua ini untuknya. Dia benar-benar tidak tahu siapa pengirimnya. Orang itu tidak menuliskan apa pun sebagai petunjuk kecuali tahu nama lengkapnya.
Yang pasti bukan Kazan. Nizwa ingat tulisan tangan Kazan waktu membantunya mengerjakan PR matematika tidak seperti ini. Karena kalau diketik Nizwa kurang paham. Jadi, waktu itu Kazan mengerjakan PR matematikanya dengan cara ditulis di buku lalu difoto. Kemudian, baru dikirim ke Nizwa untuk disalin dibukunya.
Orang ini tahu nama lengkapnya, Nizwa bukan tipe orang yang suka menulis atau memberi tahu nama lengkapnya kecuali untuk data resmi. Kemungkinan orang ini adalah orang yang mengenalnya.
Kalau diingat-ingat lagi, tidak ada teman-teman di kelasnya atau di jurusannya yang menaruh perhatian lebih pada Nizwa. Atau, Nizwa memang cuek sehingga tidak peka? Nizwa tidak mau terlalu percaya diri.
“Niz,” panggil seseorang yang suaranya tidak asing di telinga Nizwa.
“Kak Beni?”
Nizwa sontak berdiri. Mata keduanya saling tatap. Napas Nizwa terasa berat, jantungnya berdebar tak karuan. Rasa bersalah dan takut yang telah hilang kini muncul lagi.
Beni sendiri juga tampak mengatur diri supaya tidak salah tingkah. Mengapa kakak kelasnya ini tiba-tiba sekali ada di hadapannya?
“Kakak yang ngasih cokelat ini buat aku?” tanya Nizwa memberanikan diri untuk mencairkan perasaan canggung keduanya.
“Iya. Ngobrolnya boleh sambil duduk nggak, Niz? Ada yang pengen aku omongin sama kamu.”
Nizwa mengangguk. Entah mengapa tubuhnya patuh. Keduanya duduk saling berhadapan.
“Niz, aku minta maaf ya. Aku pengecut banget. Aku milih pergi dengan alasan biar cepat lupain perasaanku ke kamu. Padahal, buat ngelupain kamu nggak cuma sekedar pergi. Karena sampai sekarang aku nggak bisa lupa sama kamu.”
Nizwa merapatkan bibirnya. Tidak tahu merespon apa karena Beni seperti langsung ke inti pembicaraan. Sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan kakak kelasnya itu dan membahas topik yang Nizwa tidak punya kunci jawabannya.
“Aku sekarang kuliah di sini, Niz,” sambung Beni.
“Ku-kuliah di sini, Kak?”
“Iya, Niz. Sekarang aku sama kamu satu tingkat. Aku harap kamu maafin aku dan nggak usah merasa nggak setara lagi, ya?”
"Kakak nggak salah. Jadi, nggak perlu minta maaf. Urusan sama hati emang resikonya patah hati. Harus siap berteman dengan kecewa."
"Bener. Tapi, aku tetep merasa bersalah udah marah sampai blokir nomor kamu, Niz."
"Nggak papa. Kak. Aku anggap itu sebagai usaha Kakak biar bisa lupa sama aku."
"Terima kasih kamu udah ngertiin aku, Niz."
"Sama-sama, Kak. Kok bisa Kakak kuliah di sini?”
Nizwa merasa tidak perlu minta maaf ke Beni di awal pertemuan mereka ini. Yang menjadi keputusan Nizwa tidak salah. Dan, langkah yang diambil Beni juga bisa dikatakan wajar.
Tentang tidak setara, sebenarnya lebih ke Beni yang populer. Namun, Nizwa tidak ingin membahas terlalu dalam.
“Mamaku ngasih kesempatan aku buat kuliah di jurusan yang aku mau. Aku nggak mungkin menyia-nyiakan kesempatan itu. Dan, aku sengaja milih kampus di kota ini biar bisa satu kampus sama kamu, Niz. Syukurlah, aku bisa diterima di kampus yang menjadi impian kamu dan di jurusan yang aku mau. Meskipun, aku sama kamu beda fakultas.”
"Biar satu kampus sama aku? Kakak tahu aku kuliah di sini dari Lona?” tebak Nizwa karena ingat sekali kedekatan Ilona dan Beni.
Kadang Nizwa heran karena Ilona bisa akrab dengan Putra yang pacarnya Salmira dan dekat dengan Beni yang sedang berusaha melakukan pendekatan dengannya. Hanya dengan 119, Ilona jarang berkomunikasi karena tidak pernah satu kelas dan 119 ini terkenal dengan lebih banyak diamnya jadi Ilona sungkan kalau disuruh mengajak bicara terlebih dahulu jika bukan untuk hal yang penting.
Namun, selama ini Ilona masih ingat batasan. Syukurlah, di pertemanan mereka berempat tidak pernah ada ribut-ribut tentang cowok.
“Iya. Lona sumber informasiku tentang kamu, Niz. Aku nggak pernah bisa lupa dan cuek sama kamu. Selama ini aku tetep sering nanyain tentang kamu ke Lona, Niz.”
“Termasuk kebiasaanku datang ke kafe ini?”
Beni mengangguk. "Kamu lagi keinget Kazan ya, Niz, kalau ke sini?”
“Kakak tahu tentang Kazan?”
Nizwa sangat terkejut. Ilona benar-benar harus diberi teguran. Semua yang diceritakannya tidak perlu Beni tahu.
“Tahu. Aku nggak bakal ngejelekin Kazan karena udah nyia-nyiain kamu, Niz. Mungkin, waktu kamu sama Kazan emang udah selesai.”
Nizwa semakin tidak tahu harus menjawab apa. Beni masih orang yang sama. Nizwa bisa merasakan ketulusan Beni.
“Kak, Kakak nggak obsesi sama aku ‘kan?” tanya Nizwa dengan hati-hati sekali. Tiba-tiba Nizwa teringat mantan Ilona sebelum pacaran sama Bagas.
Beni menggelengkan kepala. “Kalau aku obsesi sama kamu, aku udah ngedeketin kamu sejak aku suka sama kamu, Niz. Aku bakal tetep mau berteman sama kamu setelah kamu nolak aku. Tapi, udah hampir satu tahun kita nggak ada komunikasi sama sekali, Niz. Karena aku pengen lihat kamu bahagia. Entah nanti kedepannya bahagiamu karena aku atau bukan.”
“Selama hampir setahun ini, aku juga nggak deket sama siapa-siapa dengan alasan pengen pamer sama kamu atau supaya cepet lupain kamu. Aku fokus belajar. Karena kamu emang secuek itu sama aku, Niz,” sambung Beni.
“Kak, kasih tahu aku alasan, kenapa Kakak bisa dan masih sepeduli itu sama aku? Sementara aku, aku udah pernah nolak Kakak.”
Pertanyaan yang dari awal ingin Nizwa tanyakan langsung saat Beni melakukan pendekatan. Selama dekat dengan Beni, kakak kelasnya itu hanya memuji kelebihannya. Padahal, Nizwa manusia biasa yang juga memiliki kekurangan.
“Selama kita deket waktu itu, aku semakin merasa kamu bisa melengkapi aku, Niz. Dulu, kalau kamu inget, waktu aku ngasih sambutan pas acara dies natalis sekolah, aku sempet diem. Terus nggak sengaja, aku lihat kamu yang lagi melihat ke arahku, aku langsung lancar lagi ngomongnya. Padahal, kamu nggak ada senyum ke aku.”
“Aku juga suka kepribadian kamu yang ramah dan ceria, Niz. Kamu emang galak, tapi karena memang ada sebabnya. Bukan asal galak,” sambung Beni.
“Kak, maaf, tapi aku beneran nggak inget pas acara dies natalis itu. Aku melihat ke arah Kakak juga mungkin pengen liat siapa yang lagi pidato di depan,” kata Nizwa setelah berusaha mengingat momen yang diceritakan Beni.
“Nggak papa, Niz. Sebagai manusia, emang sebaiknya nggak perlu inget-inget kebaikan yang udah dilakukan. Walaupun kamu emang nggak niat ngasih aku semangat, tapi kenyataannya gara-gara kamu aku jadi percaya diri lagi."
“Kak, maaf.”
Nizwa menyesali kejujuran yang barusan dikatakan. Beni masih menjadi pengingat yang andal tentang diri Nizwa setelah keluarga dan teman-temannya. Kazan belum tentu bisa mengingat momen bersama Nizwa sedetail ingatan Beni.
“Nggak papa, Niz."
"Niz, apa aku boleh gantiin posisi Kazan di hati kamu? Aku tahu pertanyaanku adalah pertanyaan bodoh karena mungkin atau pasti Kazan punya tempat tersendiri hati kamu. Tapi, aku nggak bisa lihat kamu sedih terus. Kamu orang baik, kamu harus bahagia, Niz."
“Kak, Kazan emang punya tempat tersendiri di hatiku. Aku juga heran. Padahal, aku udah dibuat kecewa banget sama dia. Tapi, emang dasarnya aku yang ngeyelan.” Nizwa meluapkan isi hatinya.
“Kakak betul. Aku ke sini lagi inget sama Kazan. Susah Kak, lupa sama dia. Aku nggak bisa jawab pertanyaan Kakak. Aku takut kedepannya aku cuma nyakitin perasaan Kakak. Aku nggak mau nyakitin perasaan Kakak lagi,” sambung Nizwa.
Ada satu cara yang belum atau terasa sulit Nizwa lakukan untuk melupakan Kazan. Yaitu, move on jalur orang baru. Yang ada dia kasihan sama orang baru itu hanya akan menjadi pelampiasannya. Dan, tentu itu akan menciptakan perasaan bersalah lagi dan lagi di hatinya. Sama dengan menyakiti dirinya sendiri bukan?
“Niz, aku mohon izinin aku buat nyoba dulu. Aku bakal bantuin kamu move on dari Kazan,” pinta Beni dengan suara pelan.
“Kalau seandainya Kakak nggak berhasil bikin aku move on? Saingan Kakak adalah Kazan. Orang pertama yang berhasil deket sama aku walaupun nggak pacaran.”
“Aku akan mundur kalau kamu suruh. Dan, aku janji nggak akan ganggu kamu lagi. Aku pengen kamu bahagia. Walaupun caranya aku harus pergi dari kehidupan kamu. Kamu adalah salah satu sumber semangatku meraih cita-citaku, Niz. Jadi, kamu harus bahagia.”
“Kalau aku udah berhasil move on dan aku udah bahagia, apa Kakak bakal ninggalin aku?"
"Aku rasa proses move on-nya bakal lama, aku masih belum percaya hadirnya orang baru bisa bikin cepet move on. Biasanya kalau prosesnya lama, manusia akan bosen dengan sendirinya, Kak," imbuh Nizwa.
Jujur, sebab ketakutan kedua Nizwa move on jalur orang baru adalah Nizwa akan disakiti lagi. Beni yang biasanya selalu baik, bisa marah sampai membentaknya waktu itu. Nizwa bukan mengingat-ingat sisi buruk Beni, hanya saja manusia memang nyata ada sisi baik dan buruknya. Toh, saat itu wajar Beni marah padanya karena Nizwa memang melakukan kesalahan.
“Niz, untuk bisa deket dan mendapatkan kamu aja aku sulit banget. Aku tahu mempertahankan hubungan dengan seseorang jauh lebih sulit lagi. Aku juga nggak akan janji bakal bikin kamu bahagia terus."
"Tapi, yang aku tahu kalau di dalam hati masing-masing ada keinginan kuat untuk terus menciptakan momen indah bersama dan mau saling memaafkan selagi kesalahannya bukan selingkuh dan kesalahan yang berulang, aku yakin kamu sama aku bisa bahagia sampai akhir. Dan, kata bosen itu nggak akan pernah ada," sambung Beni berusaha meyakinkan Nizwa.
Nizwa diam menatap Beni. Selama mengenal dan dekat dengan Kazan, Kazan belum pernah bicara sedalam itu. Namun, Nizwa memaklumi karena hubungan mereka yang hanya teman dan Nizwa yang tidak kunjung menyatakan suka pada Kazan. Entah, selalu ada pemakluman jika itu tentang Kazan.
“Kalau semisal aku izinin Kakak gantiin posisi Kazan di hatiku terus tiba-tiba aku keinget Kazan lagi dan jadi sedih, Kakak bakal gimana?”
“Aku bakal ikuti maumu, Niz. Kalau kamu minta ditemenin, aku bakal temenin kamu, selagi aku nggak ada kelas atau kegiatan lain yang harus didahulukan."
"Berarti kalau Kakak lagi ada kelas atau kegiatan yang harus didahulukan Kakak nggak bisa nemenin aku? Apakah aku tidak penting buat Kakak?" tanya Nizwa.
"Kamu penting buat aku, Niz. Tapi, kalau aku lagi ada kelas atau kegiatan yang harus didahulukan, aku minta maaf, aku bakal ngasih kamu waktu buat sendiri dulu, Niz. Aku tunggu kamu sampai ngabarin aku. Di sini, kamu sendiri, sebisa mungkin dan seharus mungkin aku bisa jadi tempat yang nyaman buat kamu. Tanpa aku melupakan tujuan aku datang ke kota ini, yaitu kuliah dan mencari pengalaman baru.”
Bibir Nizwa tertutup rapat. Ada persamaan Kazan dan Beni. Keduanya sama-sama memprioritaskan pendidikan. Pantas saja mereka sama-sama pintar. Nizwa salut dengan sosok laki-laki yang sekarang duduk di hadapannya.
Apa sudah saatnya dia membuka hati untuk Beni? Hati kecilnya masih belum rela jika harus menghapus setiap kenangan bersama Kazan. Namun, bisa juga hadirnya Beni kali ini di kehidupan Nizwa sebagai jawaban doanya yang selalu minta ingin lekas move on dari Kazan. Tiba-tiba, Nizwa teringat kisah asmara Ilona dan Devan.
“Niz, aku bakal kasih waktu-”
“Aku izinin Kakak. Aku izinin Kakak gantiin posisi Kazan di hatiku. Tapi, aku ada dua permintaan, Kak.”
Sengaja Nizwa memotong yang kalimat Beni. Tidak ingin lagi berubah pikiran atau plin-plan. Meskipun memutuskan dalam waktu singkat, Nizwa yakin ini yang terbaik.