"Blip, blip, blip," suara samar dari telepon seluler Yusuf cukup untuk membangunkannya pagi hari. Yusuf merogoh meja kecil di sisi kanan kasur tanpa membuka matanya. Setelah ia merasakan handphone di genggamannya, ia melepaskan lengan kiri yang sebelumnya menutupi matanya, dan melihat jam digital yang tertera di layar,
"7:00"
"Duh, ga boleh sampai telat nih hari ini gue," Yusuf bergumam sambil mengangkat kakinya menjauh dari kasur.
Ia melepaskan pakaian tidurnya dan segera masuk ke kamar mandi. Udara panas Jakarta memberikan refleks pada tangan kanan Yusuf untuk memutar keran air dingin terlebih dahulu. Namun setelah merasakan begitu dinginnya air pada hari itu, ia langsung memutar keran air panas di sebelah kirinya. Kucuran air panas di atas kepala Yusuf membuatnya ingin mandi dengan tenang dan pelan. Tetapi hari itu, dia harus lebih terburu-buru dari hari biasanya.
Setelah keluar dari kamar mandi, Yusuf sudah dapat mendengar suara air mendidih dari ketel elektrik yang sudah dinyalakan sebelumnya. Bubuk kopi instan dimasukkan ke sebuah cangkir dan diseduh oleh air panas. Sendok kecil yang ada di dekat deretan piring yang dicuci olehnya pun diambil, dan digunakan untuk mengaduk kopi tersebut. Selain itu, ia juga membuka plastik roti sobek yang dibeli di hari sebelumnya sebagai sarapan. Biasanya, Yusuf selalu minum kopi dan makan roti sambil baca koran di pagi hari untuk memulai harinya. Tapi sepertinya, hari ini ia tidak akan sempat melihat apa isi surat kabar itu.
Pintu kamar apartemen kecil itu pun terbuka. Yusuf memasukkan kedua kakinya ke sepatunya. Ia menuruni tangga dengan langkah yang cepat.
"Eh Mas Yusuf, udah berangkat aja," wanita setengah baya yang ada di belakang meja resepsionis menyapa Yusuf dengan senyum.
"Iya nih Mbak Fitri, aku mesti siap-siap lebih awal hari ini," Yusuf tersenyum balik ke Mbak Fitri tanpa menghentikan langkah kakinya menuju pintu keluar lobby.
Ia segera berjalan menuju stasiun Pesing yang kebetulan tidak jauh dari apartemennya, sepuluh menit jalan kaki. Perjalanan yang tidak jauh namun tetap membuatnya sedikit berkeringat di bawah panas pagi Kota Jakarta. Dan seperti biasa, stasiun selalu penuh. Keramaian itu yang terkadang menurunkan semangat Yusuf di pagi hari. Untuk menanggulanginya, ia memasukkan earphones ke kedua telinganya dan menekan tombol "play" di handphonenya. Lagu pada pagi itu adalah Song 2 by Blur. Ya, Yusuf cukup old school untuk masalah musik.
Desakan orang-orang yang ada di dalam kereta terkadang mengganggunya. Tetapi semakin hari ia semakin biasa, dan memang harus menerima keadaan seperti itu. Ia yang memilih untuk bekerja di pusat kota. Selain itu juga, lagu yang mengalun di telinganya pun membuat Yusuf dapat menghiraukan kondisi sekitarnya. Hingga pada suatu saat, ia juga sempat untuk lupa turun di stasiun tujuannya.
"Sudirman"
Nama stasiun itu berjalan pada sebuah running text yang ada di dalam kereta. Yusuf tahu, apabila tulisan tersebut sudah muncul, berarti, 5 menit dari sekarang, ia harus siap-siap untuk keluar dari kereta itu. Saat ia turun, ia langsung membuka telepon genggamnya untuk membuka aplikasi yang sudah sangat lazim digunakan di Indonesia. Ya, aplikasi ojek online.
Kira-kira 10 menit waktu yang ditempuh dari stasiun ke tempat kerja Yusuf. Ia selalu pergi ke tempat yang sama dalam waktu 5 tahun ini. Tempat yang ditakuti oleh masyarakat, sekaligus tempat yang dapat memberikan harapan kepada masyarakat. Tempat dimana orang-orang yang dipandang jahat oleh masyarakat seharusnya bertemu dengan orang-orang yang dilabeli baik oleh masyarakat. Meskipun terkadang di masa modern ini, kita mulai sulit untuk mendeteksi aksi apa yang bisa dikatakan baik atau jahat. Semua serba abu-abu.
"Kapolsek Jakarta Selatan"
Tulisan yang tertulis di papan depan gerbang pintu masuk.
"Siang Mbak, hari ini Pak Rudi sudah masuk?" tanya Yusuf kepada pegawai di meja depan.
"Ohh, Pak Yusuf, iya, Pak Rudi sudah bikin jadwal kok sama Bapak, tapi tunggu ya, Pak Rudi kayanya baru bisa ngobrol mulai jam 9.00," pertanyaan tersebut kembali dibalas.
”Oke Mbak, kalo begitu saya nunggu di meja kerja saya aja, sambil ketemu sama yang lain juga,” Yusuf menjawab dengan sopan dan berjalan ke arah kantornya.
Lorong kantor polisi tersebut sangatlah luas. Yusuf dapat melihat beberapa teman dan rekan kerja lainnya berlalu lalang melewatinya. Terkadang mereka menyapa Yusuf, tetapi kadang-kadang ada juga yang mengabaikannya. Tetapi Yusuf mengerti bahwa perkerjaan di kepoilisian sangat berat dan terkadang penuh tekanan. Maka dari itu, dia sudah terbiasa. Tak hanya polisi saja yang berjalan disana, terkadang buronan yang baru saja tertangkap juga terlihat oleh Yusuf. Ekspresi mereka yang terkadang pasrah ataupun penuh dengan dendam tidak mempengaruhi Yusuf sama sekali. Ia sudah mengerti bahwa emosi tidak punya tempat disini.
Di lorong yang sama, terdapat dinding yang bertuliskan wall of honor. Banyak sekali foto-foto mantan polisi tertera di dinding tersebut dengan bingkai kayu yang dipoles dengan halus dan kaca yang jernih. Apabila kalian bertanya siapakah orang-orang yang terpampang disini, mungkin hampir tiga perempat isi kepolisian dapat menjawabmu dan menjelaskannya dengan detail.
Di tempat inilah, Yusuf terhenti untuk melihat satu bingkai besar yang menampilkan sebuah foto di dalamnya. Dua orang berjabat tangan, yang satu terlihat seperti menyerahkan penghargaan ke lelaki yang ada di sampingnya. Lelaki di bagian kanan adalah Pak Rudi, seseorang yang merupakan mentor dalam perjalanan karir Yusuf. Namun, Yusuf mengalihkan perhatiannya ke lelaki di sebelah kiri, yang merupakan mentor Yusuf di dalam hidupnya.
*********