Sebuah koran terletak di atas meja makan mewah. Meja tersebut sangat besar dan lebar dimana kira-kira sekitar delapan orang dapat makan bersama di sana. Tetapi hanya ada empat kursi yang ditaruh di sekitar meja itu. Arief yang baru saja keluar dari kamar mandi berjalan menuju meja tersebut dan menemukan koran tersebut tergeletak disana.
"Mbak, Sheila belum bangun jam segini?" tanya Arief kepada asisten rumah tangganya sebelum ia duduk di meja makan. Arief melihat ke arah jam dinding klasik yang dipajang di meja makan, dan jarum jam menunjukkan arah ke arah pukul 7:45. Kira-kira lima detik setela Arief bertanya, jawaban dari asisten rumah tangganya pun terdengar.
"Tadi Mbak Sheila bilang katanya dia harus pergi duluan pagi ini, ada meeting kalau nggak salah tadi katanya. Udah berangkat dari jam 7:15 kok," asisten rumah tangga Arief, Mbak Reni, mencoba menjelaskan sambil membawa roti panggang dan kopi hangat di atas nampan ke arah meja makan Arief.
"Ohh oke, makasih ya Mbak Reni," jawab Arief yang sedikit terdistraksi dengan aroma selai kacang yang terdapat di dalam roti panggang buatan Mbak Reni. Roti tersebut biasanya dapat dipegang oleh tangan dan langsung dimakan secara praktis, namun Arief memakai pisau dan garpu untuk memakan roti itu untuk mencegah minyak melumuri jari-jarinya.
Arief mengambil kopi dengan tangan kanannya sambil menarik koran yang tadi tergeletak dengan tangan kirinya. Sambil meminum kopinya, Arief membaca artikel yang tertera di depan koran. Headline di depan koran itu adalah berita bunuh diri Dani Siregar. Arief memiliki perasaan yang campur aduk ketika mendengar nama itu. Arief sendiri juga kenal dengan Dani Siregar karena mereka dahulu satu SMA. Tetapi ia tidak punya memori yang baik di masa ia kenal dengan Dani Siregar.
********
Sekolah menengah atas adalah merupakan masa di mana orang-orang berumur 17 tahunan merasa mereka adalah makhluk yang paling dewasa di dunia. Mereka tidak salah, karena dunia yang mereka maksud adalah dunia sekolah. Di suatu kelas, dimana hampir seluruh murid sedang menyimak, mencoba menyimak, atau berpura-pura menyimak materi dari kelas yang diajarkan oleh Pak Guru yang galak itu, Arief yang masih muda itu tenggelam oleh imajinasi di pikirannya.
Sehari sebelum kelas tersebut, Arief mendapatkan hadiah dari ayahnya. Sebuah jam tangan digital yang bisa dibawa Arief kemana-mana tanpa mengkhawatirkan bahwa benda tersebut akan rusak. Ia membayangkan hari itu ketika ia mulai mencoba jam tangan yang besar dan terlihat tahan banting itu di tangannya. “Whoahh!!” Arief kagum dan mengeluarkan suaranya dengan penuh semangat.
Semua mata murid di kelas menuju pada Arief yang baru saja membuka mulutnya dengan sangat kencang. Sang guru yang terkenal galak tersebut pun memandang Arief dengan heran. Namun, Pak Guru tersebut berasumsi bahwa Arief kagum terhadap ajarannya mengenai bagaimana menyetarakan persamaan kimia dengan mudah. Oleh karena itu, sang guru pun tidak menegur Arief, melainkan melanjutkan ajarannya.
"Duh, harus banget ya lu nyari perhatian guru kek gitu?" seorang murid yang duduk di depan Arief berbisik ke belakang. Sang guru tidak memperhatikan ini karena ia fokus mengajar. "Kenapa? Biar lu bisa ngejilat dapet nilai gampang gitu ya?" Arief tidak menghiraukan kata-kata orang di depannya. "Ckck, emang ada-ada aja sih lu jadi orang," kepala anak tersebut kembali ke depan, namun Arief masih mengingat matanya yang tajam saat ia menoleh ke belakang. Pada momen inilah ia terus mengingat nama orang di depannya, Dani Siregar.
Dalam hidup Arief , ia jarang berbuat sesuatu dengan niat yang tidak baik. Namun, ia tidak mengerti mengapa orang di sekelilingnya sering mengasumsikan Arief seperti itu. Terlebih lagi, sampai sekarang Arief selalu bertanya-tanya pada dirinya, mengapa orang lain selalu berani mengasumsikan apa yang dilakukannya meskipun mereka tidak pernah benar-benar mengenal Arief. Imajinasi yang liar dan distraksi yang tinggi selalu membuat pikiran Arief tidak ada di tempat. Itulah yang menyebabkan orang lain menganggap Arief sebagai orang yang unik, atau, jika kita tidak menggunakan bahasa halus, orang yang aneh.
Ketika Arief di posisi yang sudah dewasa sekarang, ia mulai menerima dirinya sendiri, meskipun kadang belum sepenuhnya. Namun Arief sadar bahwa terkadang imajinasinya yang liar dapat membantunya mengerjakan banyak hal dan menjadi orang yang lebih kreatif. Karena inilah, ia tidak terlalu membenci dirinya sendiri, dibandingkan dengan dirinya ketika zaman dahulu.
"Teng!! Cuckoo, cuckoo!!", suara jam di ruang makan Arief tepat menunjukkan pukul 08:00. Lagi lagi, kebiasaan buruk Arief pun terulang lagi. Ia mudah tenggelam terhadap kejadian-kejadian di masa lalunya. Roti yang tinggal seperempat di atas piring itu langsung dimasukkan ke mulutnya dalam sekali lahap. Ia meminum kopi hanya untuk membasahi kerongkongannya dan meninggalkan sisanya di atas meja. Arief pun segera beranjak menuju kantornya.
********
"Pagi, Pak Agus," sapa beberapa karyawan Arief ketika mereka bertemu di lantai satu kantor Arief. "Agus" merupakan nama tengah Arief. Keluarga dan teman dekat Arief jarang sekali memanggilnya dengan nama tersebut, namun, untuk keperluan bisnis dan kerja, Arief lebih suka menggunakan nama Agus agar dapat memisahkan hal personal dan hal professional.