Namaku Gail Sheehy, panggil saja Gail. Saat ini aku tinggal dan menetap di New York. Mereka bilang aku adalah seorang aktivis kemanusiaan. Boleh juga tapi aku lebih senang jika dianggap sebagai seorang penulis.
Tidak salah mereka menganggapku demikian karena memang hampir semua buku-buku karanganku merupakan hasil studi tentang manusia seperti menyoal tentang perbedaan kelas atau strata sosial, prostitusi, tingkatan perkembangan dan perang. Pun berbagai krisis dalam kehidupan manusia dewasa dan tentang orang-orang yang sukses mengatasi krisis itu.
Beberapa tahun yang lalu aku memang telah mengadopsi seorang gadis kecil bernama Mohm Path, anak perempuan berkebangsaan Kamboja. Bagaimana ceritanya tiba-tiba aku mengenalnya? Aku sendiri pun juga nggak tahu dan nggak pernah sekalipun terpikirkan olehku. Semua tidak terencana dan mengalir begitu saja.
Benar, pertemuan kami, aku dan Mohm sungguh-sungguh tidak disengaja. Saat itu, bertepatan pada hari Natal tahun 1981, ketika aku barusaja menyelesaikan suatu perjalanan yang cukup melelahkan, aku duduk di teras hotelku yang terletak di Bangkok. Kulihat sebuah surat kabar harian Bangkok Post tergeletak di atas meja, atau memang sengaja diletakkan di situ oleh roomboy hotel. Ya, bisa untuk menemaniku menikmati coffe break.
Pada awalnya aku nggak berpikir untuk meraih koran itu, karena aku sedang nggak ingin membaca. Pikiranku sudah banyak tersita untuk acara tadi siang. Kini saatnya rehat sejenak, pikirku. Namun pikiranku berubah begitu saja saat secara tidak sengaja sepasang mataku menangkap topik pada headline koran itu.
Maka kuraih koran itu, setelah sedikit kubaca, aku baru tahu isi dari tulisan itu. Tulisan tentang ribuan anak-anak tanpa keluarga sebagai akibat dari pemusnahan gila-gilaan atau aku lebih suka menyebutnya holocaust entah orang lain menyebutnya apa.
Tragedi kemanusiaan yang dilakukan oleh rezim Pol Pot dengan Khmer Merahnya yang saat itu berkuasa telah menebarkan terror menakutkan yang tidak berperikemanusiaan dan tidak mempunyai hati nurani. Aku lebih suka menyebutnya orang-orang gila.
Diperkirakan sepertiga dari polulasi bangsa Kamboja telah musnah. Dibunuh secara massal. Sungguh biadab. Dan yang berhasil bertahan adalah sebagain besar mereka yang berusia antara 12 sampai 18 tahun. Meskipun begitu mereka dapat dipastikan juga tidak lagi mempunyai keluarga ataupun tempat tinggal, atau lebih ekstrimnya lagi mereka sudah tidak mempunyai negara.
Coba bayangkan, sungguh ironis, apa mereka sudah nggak punya hak lagi di bumi ini. Saat itu, Kamboja diduduki oleh Vietnam dan bagi setiap pengungsi yang kembali ke Kamboja akan dianggap sebagai mata-mata.
“Berita macam apa ini?” pikirku.
“Kasihan mereka!” kataku menahan emosi.