Moko dan Nizam

Vescha Swann
Chapter #2

2. Aku (Mencoba) Tidak Membenci Hujan

Apa kalian pernah mendengar istilah berhutang nyawa? Jika hal itu ada, sepertinya aku sangat berhutang banyak pada Bang Nizam. Berkali-kali aku selamat atau bahkan masih hidup karena penebusan nyawa yang dilakukan oleh Bang Nizam untukku semata.

Banyak kehilangan yang kami rasakan sejak kecil, bahkan sejak bayi. Namun dibalik semua kesedihan itu, kami juga bertemu dengan banyak guru-guru kehidupan lain, seperti kelaparan, gatalnya debu dan asap jalanan, dilupakan, dan keharusan beradaptasi dengan cepat dan lain sebagainya.

Moment terberat bagiku adalah saat kami terpisah di pasar. Aku melewati beberapa saat di pasar dengan rasa takut, kuyup dan dingin yang menusuk tulang sendirian. Dan itu rasanya sangat mengerikan.

Jadi, begini ceritanya..

Karena menjalani hidup yang sangat amat berat, setelah Ibu kami sakit keras, gagal ginjal dan kekurangan gizi, di akhir tahun pada saat musim hujan Ibu meninggal. Itu terjadi saat Kak Nizam berusia lima tahun, dan aku berusia empat tahun. Tak banyak yang ku ingat. Hanya saja, akibatnya aku jadi sangat ingin menangis saat hujan turun.

Aku tidak membenci hujan. Hanya saja.. Hujan selalu memberi cobaan berat pada kami. Selalu ada hujan disaat kejadian mengerikan dan memalukan dalam hidupku terjadi. Saat tak punya rumah, kami kedinginan sampai kulit tangan dan kulit kaki mengkerut. Dan sekarang, Ibupun pergi saat hujan turun. Begitu pula saat kami terpisah di pasar, hujan turun seperti takkan ada henti. Apa mau kau hujan? Meledek kemalanganku?

Kondisi kami saat itu sangat mengenaskan. Usia empat dan lima tahun kehilangan harta terbesar duniawinya, keluarga. Untungnya saat itu kami memiliki tempat tinggal. Disanalah Bang Nizam merawatku. Dari memandikanku, mengajarkan membersihkan badan, mengajarkan cara makan, mengajarkan merawat rumah dari kejahatan dan mengajarkan hal basic kehidupan dengan sabar dan penuh kasih sayang.

Asal kalian tahu, kami tinggal di lingkungan yang sedikit kumuh. Cukup jorok jika diingat. Jadi jangan beranggapan akan ada yang iba 100% dengan kondisi kami saat itu. Mereka paling hanya menanyakan kabar kami, ya syukur-syukur memberi makanan sisa. Tidak ada kasur yang layak, tak ada pula lampu neon dari PLN yang berwarna biru terang keputihan di rumah kami, toilet pribadi didalam rumahpun tidak. Sisanya silahkan dibayangkan. Itulah keadaan kami bersama gubuk peninggalan ibu.

Kisaran sebulan setelah kematian Ibu, makanan persediaan mulai habis. Sekeliling seperti lupa bahwa mereka memiliki tetangga yang berusia empat dan lima tahun belum berpenghasilan harus makan dan bernafas untuk tetap hidup.

Aku masih ingat betul bagaimana rasa perihnya menahan lapar. Rasanya seluruh udara selalu terasa dingin, aku tak sanggup untuk membuka mulut mengatakan sesuatu, atau bahkan berdiri.. kakiku goyah dan gemetar hebat karna sudah dua hari kami hanya meminum air dari pusat mata air di wilayah kami. Kalau diingat-ingat, mungkin harusnya malaikat maut sudah berada disudut ruangan untuk menunggu moment yang pas untuk mengambil jiwa kami. Kala itu, kami bisa merasakan rasanya kematian yang sangat dekat. Terasa diujung rambut.

Akhirnya Bang Nizam mengajakku keluar. Ia menjelaskan bahwa kami mungkin bisa mendapat makanan sisa di pasar. Namun firasatku buruk, aku tidak mau, aku tidak suka. Karena langit sedang mendung, aku tidak suka disentuh oleh air hujan karena akan membuatku mengingat semua dan menyalahkan keadaan. Tapi mau bagaimana.. Aku tak tega membiarkan Bang Nizam ke pasar sendirian disaat mendung, sedangkan aku hanya di rumah menunggu. Akhirnya ku kuatkan niat yang tulus untuk menemaninya dan kami mulai melangkahkan kaki ke pasar.

        

Lihat selengkapnya