Kematian begitu damai dan tenang. Sunyi dan hangat. Berbeda dengan beberapa deskripsi manusia yang menyatakan bahwa kematian begitu menyakitkan bersama terbakarnya bara neraka. Rasanya aku bisa bernafas lebih tenang dan tidak perlu memikirkan bagaimana cara bisa makan sehari-hari lagi.
Tapi.. Aneh..
Dari semuanya yang terasa gelap, lama kelamaan suhunya jauh lebih hangat dan seperti ada yang sentuhan lembut membasuh wajahku. Sayup-sayup mulai terdengar pula suara yang tak asing lagi. Ya, itu suara Bang Nizam!
Perlahan aku berfikir, apa Bang Nizam juga mati? Apa kami akan berkumpul bersama Ibu? Namun lama kelamaan suara samar itu makin terdengar jelas dan semakin jelas dengan lantang,
"Moko! Moko, buka matamu! Mokooo!!!"
Langsung tersontak melek dan kaget, aku terbangun. Aku tertidur? Sepertinya lebi cocok pingsan. Entahlah.
Aku langsung melihat sekeliling. Seingatku, kami terpisah di pasar ditemani hujan dengan kuyup dan dingin yang menusuk tulang. Tapi sekarang, ketika aku menoleh, mata dan tubuhku melihat dengan seksama, kami berada di sebuah ruangan. Beratap tinggi, bercat tembok cerah.
Kami berada di kondisi yang cukup baik. Ada susu hangat, handuk, kami pun berada diatas kasur lipat.
Bang Nizam menatapku dengan bingung dan berkaca-kaca, seolah tak faham bahwa aku sedang melakukan adaptasi dengan lingkungan baru. Lalu dia memelukku dengan erat. Sangat erat. Kami terdiam dan menangis.