šSemangat Membacaš
***
Seorang pria dengan kemeja koko putih yang ternoda warna merah bata di hampir semua permukaannya, tergulung asal di kedua lenganya,Ā terlihat duduk termangu seorang diri di samping gundukan tanah yang masih berwarna merah dengan taburan kelopak bunga mawar di sepanjang gundukan tanah tersebut.
Wajahnya terlihat begitu lelah berpeluh keringat. Tangan kanan terulur memegang bagian atas kayu nisan yang tertancap di tanah, sesekali tangan kirinya mengusap wajah, tak peduli lagi jika akan mengotori wajah rupawannya.
Davhina Rahma, nama yang terukir pada kayu nisan tersebut. Wanita itu meninggal dunia tepat enam jam setelah melahirkan bayi kembarnya.
Sayangnya, saat sang istri berpulang, Abyan tengah berada di rumah untuk membersihkan dan mengubur ari-ari dari kedua buah hatinya.
Tidak bisa dibayangkan bagaimana rasa penyesalan itu begitu dalam, Abyan tidak mendampingi sang istri di saat-saat terakhirnya.
Para pelayat yang ikut dalam mengantar jenazah Davhina di tempat peristirahatan yang terakhir sudah meninggalkan lokasi sejak beberapa menit yang lalu.
"Yan, ayo pulang," ajak Bu Marta lembut kepada Abyan yang tampak enggan pergi dari sana, sambil mengusap lembut punggung sang putra bungsu.
Abyan bergeming,Ā pun tidak menjawab ajakan sang ibu. Matanya terpaku pada ukiran nama sang istri pada kayu nisan, sesekali menghela nafas panjang.
"Yan...," ulang Bu Marta namun segera dipotong Abyan. "Ibu duluan saja. Aku masih mau di sini, nemenin Vhina."
Bu Marta menghela nafas pelan, pasrah dengan keputusan si anak bungsu. "Baiklah, Ibu akan pulang terlebih dahulu lalu ke rumah sakit melihat anak-anakmu."
"Hmm," deham Abyan lirih.
Sunyi. Hanya Abyan sendiri yang masih setia di makam sang istri.
Berbagai kenangan selama kehidupan berumah tangga seakan berputar ulang di benak Abyan.
"Kenapa kamu cepet banget ninggalin aku?" monolog Abyan, suaranya parau menahan segala emosi yang menyesakkan dada, pada gundukan tanah penuh dengan taburan bunga mawar.
"Anak-anak kita sangat membutuhkanmu. Aku tidak bisa mengurus mereka seorang diri."
Abyan menunduk dalam, air matanya perlahan menetes, tak mampu lagi ia bendung.
***
Seorang gadis dengan tatanan rambut berbentuk cepol dengan outfit sederhana, setelan celana denim kemeja putih yang dilapisi cardigan warna biru muda, mirip anak sekolah tingkat atas yang baru pulang les sore hari, tengah berjalan cepat seraya memeluk parcel buah, menyusuri koridor sebuah rumah sakit sambil mengomel entah pada siapa.
"Percuma aku bawa parsel buah ini. Tahu nggak sih ini juga nggak murah, mana ini pakai uang sisa bulanan. Gajian masih seminggu lagi," Keluhnya pada udara.
"Siapa juga yang cari muka? Aku bawain juga tulus, kok, nggak ada niat buat ngerayu Zaky, kok." Gadis itu berdecak sebal, entah apa pemicunya dan apa hubungannya dengan nama yang ia sebut di ujung kalimat protesnya.
Ia berhenti sebentar lalu menoleh ke belakang arah ruang rawat inap yang baru saja ditinggalkan dengan kesal. Ia membuang nafas kasar, "nggak boleh mendoakan yang nggak baik, ya? Semoga segera sembuh, deh."
Untung saja dia masih ingat mendoakan orang harus yang baik-baik saja, perkara balasan atas perlakuan orang yang sudah menyakitinya, pasrahkan saja sama Yang Maha Kuasa.
Kemudian gadis itu kembali melangkah dan tidak lagi mengomel sendiri seperti tadi.
Di ujung koridor depan ruang NICU, ia bertemu dengan Ibu Marta yang tengah berbincang dengan perawat. Ia pun segera menghampiri wanita paruh baya tersebut.
"Selamat sore, Ibu Marta," sapanya ramah, wajahnya tak lagi menampilkan aura kesal dan marah seperti beberapa detik sebelumnya. Ia tersenyum cukup manis dengan suara lembut menyapa seseorang yang mungkin cukup dikenalnya.
Bu Marta mengerutkan keningnya, mencoba mengingat gadis ayu dengan wajah ceria itu. "Ysta, ya?" tebak-tebak buah manggis, tak disangka ketemu sama si anak manis.
Ysta mengangguk seraya tersenyum lalu meraih dan mencium punggung tangan Bu Marta. "Iya, Ibu, saya Ysta."
Bu Marta tampaknya sedikit lupa-lupa ingat pada gadis yang menyapanya.
Ysta menatap pintu ruang NICU yang tertutup rapat. Ia ingin sekali bertanya, tapi ragu mengatakannya.
"Si kembar masih dalam perawatan di sana. Kita belum bisa menjenguk mereka." Ibu Marta menjelaskan kondisi kembar saat menyadari Ysta pasti ingin sekali menanyakan keadaan si kembar, namun terlihat sungkan.
"Sekali lagi turut berbelasungkawa, ya, Ibu. Bu Vhina pasti akan sangat menyayangi si kembar."
"Terima kasih, Ysta." Bu Marta melihat parsel buah yang masih ada dalam pelukan Ysta.
"Mau jenguk siapa? Teman, saudara, atau pacar?" selidik Bu Marta seolah tengah menginterogasi anak gadis yang ada di hadapannya.
Ysta mengikuti arah pandang Bu Marta. "Oh, ini, saya tadi nggak tanya dulu sebelum ke sini, ternyata pasien sudah pulang." Ysta berbohong.
"PACAR?" desak Bu Marta seolah meminta kejelasan status hubungan Ysta dengan seseorang lain entah siapa.
Ysta tersenyum dan menggeleng cepat. "Hanya kenalan kok, Bu."
Tak lama Abyan menghampiri Bu Marta dengan ponsel yang masih ditempelkan di telinga kanannya. "Bu, kita pulang sekarang?" tanya Abyan, "Abyan harus kembali ke kantor.
Bu Marta berdecak mendelik tajam ke arah si anak bungsu, hingga pria itu hanya bisa mengerutkan kening berusaha menangkap maksud ibunya.