🍃Semangat Membaca🍃
***
Ysta memasang muka masam seraya menempelkan ponsel pada telinga kanan. Ia kesal dengan si penelepon. Buntut dari kejadian di rumah sakit hampir sebulan lalu. Ysta selalu mengabaikan panggilan tersebut.
Di sudut taman sekolah, yang jarang dilintasi karyawan, gadis itu sengaja memilih tempat itu karena ingin melampiaskan kekesalannya. Bagaimanapun pembicaraan melalui sambang telepon itu cukup privasi untuknya.
Pasalnya, kali ini Ysta harus menghentikan si penelepon agar tidak mengganggu lagi.
Sesekali ia membuang nafas kasar, lalu mengusak rambut yang sudah tertata rapi, juga menghentakkan kaki melampiaskan kekesalannya.
"Zaky, aku mohon ini terakhir kalinya kamu telpon aku."
"Kamu mutusin aku, Ta?"
"Lho bukannya kamu sendiri yang mutusin aku? Kamu udah mau nikah sama Eriza."
"Apa nggak bisa kita tetep lanjut?"
"Zaky, kamu lagi ngelindur atau apa sih? Nggak adil buat Erika jika masih ada aku yang kamu pertahankan. Aku juga nggak mau memvalidasi tuduhan ibumu bahwa aku genit sama kamu!"
"Aku mohon Ysta. Aku tuh cintanya sama kamu."
"Bilang cinta sama aku, tapi ngehamilin perempuan yang dijodohin sama ibumu. Sesat kamu tuh." Ysta mencemooh.
"Aku tuh dijebak sama Eriza." Zaki berkilah.
"Dijebak? Zina sampai 2 kali? Kamu pikir aku bodoh?" Ysta memejamkan kedua mata sambil membuang nafas kasar. "Sejak hari itu aku anggap kita selesai. Maaf aku akan blokir nomor kamu."
Ysta menutup panggilan tersebut tanpa memberi kesempatan Zaki untuk berbicara. Ia menutup mata sejenak seraya menjauhkan ponsel dari telinga. Ysta menarik nafas dalam lalu membuang secara perlahan meminat pelipis perlahan untuk sedikit meredakan emosinya.
Saat membuka mata, tak jauh di hadapannya sosok pria tinggi menjulang melipat kedua tangan di dada sedang menatap dingin tanpa ekspresi. "Makan gaji buta kamu?" cibirnya tentu saja kepada Ysta.
Ysta berdecak pelan. Sedang kesal setelah menghadapi sang mantan malah dihadapkan dengan pria berstatus duda dua anak ini yang tidak ada ramah-ramahnya setiap kali bertemu.
Entah Abyan anggap apa gadis ini, setiap kali bertemu ada saja kata-kata menyebalkan yang keluar dari mulutnya. Berbeda sekali dengan sang ibu pun dengan saudara laki-lakinya, Hilman. Padahal mendiang istrinya sangat ramah, kenapa manusia ini sangat berbeda dari yang lain?
Malas meladeni pria berstatus duda dua anak itu, "Minggir, Pak. Saya lagi kesel!" ucap Ysta ketus sambil berlalu melewati Abyan begitu saja.
"Hei, kamu kerja di sini dibayar ibu saya bukan untuk nyantai di taman situ apalagi sambil telponan sama pacar." Abyan mengikuti langkah cepat Ysta. "Kalau mau telponan sama pacar nanti kalau selesai jam kerja. Kaya nggak tau waktu aja."
Ysta berhenti melangkah cepat berbalik, mendongakkan kepalanya menatap Abyan yang lebih tinggi darinya.
Abyan reflek menghentikan langkahnya agar tidak menabrak Ysta.
Tatapan mata Ysta kepada sang putra pemilik yayasan pun tak kalah sengit dengan lawan bicaranya saat ini.
"Pak Aby juga ngapain di sini? Ini jam kerja, cari duit sana! Biar gaji saya bisa naik." Ysta tidak mau kalah dan tunduk begitu saja dengan anak pemilik yayasan.
Jika seseorang tidak punya sopan santun apalagi menyinggungnya, maka Ysta akan memperlakukan orang itu dengan cara yang sama. Pikirnya.
Menurut Ysta, terkadang Abyan harus diberi kata-kata mutiara pedas level maksimum, biar tidak mudah mencemooh dirinya.
"Kamu berani sama saya?" Abyan menatap tajam.
"Kenapa saya harus takut sama Bapak? Karena Pak Aby pewaris yayasan? Atau Pak Aby itu hantu? Hii... takut..." ujar Ysta dengan mimik pura-pura takut namun sedetik kemudian ekspresinya berubah datar.
"Bisa tidak kamu sedikit lebih sopan ke saya?"
"Bisa tidak Pak Aby menghargai saya sebagai manusia?" balas Ysta.
"Kok kamu malah marah-marah sama saya? Apa salahnya saya negur orang yang kerja sama keluarga saya?"
Ysta menatap tajam Abyan.
"Kalau kamu kerja bener, saya juga nggak bakal negur kamu. Saya aja males ngomong sama kamu."
"Ya udah, nggak usah ngajak saya ngomong. Tinggal ngadu sama Bu Marta, beres 'kan?"
Abyan dan Ysta sama-sama emosian.
Kesabaran mereka setipis tisu dibagi dua.
Tidak ada yang mau mengalah pun meminta maaf.
Hingga suara tepuk tangan Bu Marta sedikit meredam api permusuhan antara mereka berdua. "Kalian terlihat seperti pasangan yang romantis kalau lagi berantem." Bu Marta tertawa kecil.