🍃Semangat Membaca 🍃
Aidan dan Ariella sudah selesai mendapatkan imunisasi.
"Bu, mohon izin saya bawa Ai keluar, ya." ujar Ysta pada Alya setelah selesai menyuntikkan vaksin ke paha bayi laki-laki itu. Aidan menangis karena terkejut, Ysta membawa keluar dengan maksud menenangkannya.
Bu Marta menenangkan Ariella dan masih tetap tinggal di dalam ruangan bersama Abyan.
"Anak-anakmu sehat, Yan. Perkembangannya bagus, normal sesuai usianya," ujar dokter Alya, dokter anak sekaligus kakak ipar Abyan, sudah tentu istri dari dokter Hilman.
"Makasih, Mbak," jawab Abyan.
"Aku dengar dari Ibu, kamu ngurus Aidan dan Ariella sendirian, ya?"
Abyan hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Kamu tau nggak Al, tadi pas Ibu jemput, muka Abyan ngenes banget," Bu Marta dengan kejulidannya menceritakan keadaan Abyan pagi tadi. "Sayangnya nggak Ibu foto aja, sih."
Alya terkekeh kecil, "masih sanggup ngurus sendiri? Dua anak, loh. Kamu terlalu sibuk ngurus anak-anak, hingga lupa dirimu sendiri dan pekerjaanmu."
Abyan menghela lirih.
"Nggak ada salahnya, lho, kamu mempekerjakan satu asisten rumah tangga. Atau mungkin kamu perlu menikah lagi." Alya memberikan pilihan kepada Abyan.
Bukan berarti sang kakak ipar tidak percaya akan kemampuan Abyan mengurus keluarganya. Tapi bukankah lebih baik jika ada yang membantu menjaga dan merawat anak-anak saat dia bekerja?
Opsi kedua diamini oleh Bu Marta. Toh menurut Bu Marta calon kandidat terkuat sudah ada di depan mata. Tentu saja bukan berarti wanita paruh baya itu lantas melupakan mendiang menantunya.
Bu Marta hanya ingin keluarga anak-anaknya utuh. Terutama si kembar Ai-Riel, mereka bahkan belum pernah merasakan pelukan seorang ibu. Beliau ingin tumbuh kembang cucu-cucunya tersebut ada dalam pengawasan seorang ibu meskipun tidak ada hubungan darah.
Abyan menatap dingin ibu dan kakak iparnya. "Nggak ada yang bisa gantiin Davhina di sisiku bahkan di hatiku. Meskipun dia sudah nggak ada di dunia ini."
Alya mendesah pelan. "Aku hanya ngasih saran. Setidaknya kamu ada yang bantu ngurus si kembar. Benar, saat ini mereka masih bayi. Tapi apa kamu nggak mikirin ke depannya nanti? Saat mereka sudah mulai belajar mengeksplor dunia mereka, itu akan lebih menyita perhatian, waktu, juga duniamu."
"Aku akan milih opsi pertama," putus Abyan.
"Good choice, Yan," puji dokter Alya. "Kamu sudah dapat orangnya?"
"Sudah, tapi-,"
"Gadis itu?" Alya memotong cepat menunjuk pintu. Maksudnya menunjuk Ysta yang tengah berada di luar ruang praktik.
"Siapa? Ysta?"
"Oh, jadi sudah kenal, toh? Yakin cuma jadi asisten aja? Dia pinter lho, cantik, masih muda, sayang sama anak-anak kamu."
"Ya makanya karena semua itu makanya aku jadiin asistenku buat ngurus Ai-Riel. Kalau nyari yang udah senior belum apa-apa udah kecapekan."
Ya, cuma satu aja sih, jangan galak-galak, nanti jatuh cinta, loh."
"Mbak Alya nggak usah mulai, deh. Davhina baru saja meninggal dua bulan lalu."
"Apa aku salah ngomong? Kamu itu jangan galak-galak sama Ysta. Bilang ke dia baik-baik supaya mau bantuin kamu ngurus si kembar. Kasih kebebasan dia buat dapetin jodoh. Minimal bantu dia juga kenalin ke temen kamu."
"Semua cewek di dunia ini sama aja," Abyan mencibir.
"Bener! Semua cowok di dunia ini sama aja. Nggak peka," tuduh Alya tidak mau kalah.
"Loh kok malah curhat? Ngomel sana ke Mas Hilman. Kok aku yang kena lagi,"
Sesi konsultasi itu pun malah berakhir dengan sebuah perdebatan antara saudara ipar.
Lagi-lagi Bu Marta dibuat tidak habis pikir dengan anak dan menantunya. Setiap bertemu ada saja yang diributkan. Apakah mereka tidak sadar bahwa mereka bukan anak kecil lagi? Hobi sekali bertengkar dan meributkan hal-hal sepele.
***
Di tengah perjalanan pulang, si kembar telah lelap tertidur, di gendongan masing-masing. Begitu juga Bu Marta yang tidak lagi kuat menahan kantuk akibat terlalu hening di dalam kabin mobil, namun tetap memastikan sang cucu tetap aman dalam dekapannya.
"Hei, ada yang mau saya bicarakan?" tegur Abyan setelah memastikan sang ibu tidak ikut campur dalam misinya kali ini.
Abyan melirik Ysta karena tidak ia dengar jawaban darinya. "Hei," seru Abyan lagi sambil menepuk lembut bahu gadis itu.
Ysta yang hampir sama memejamkan mata kembali terjaga. "Eh, Pak Aby ngomong sama saya?" sahutnya polos menatap Abyan penuh tanda tanya.
"Bantuin saya ngurus Ai-Riel!" titah Abyan tanpa embel-embel permintaan tolong.
Abyan tidak pernah suka meminta tolong, apalagi terhadap orang yang ia anggap tidak mau tunduk. "Berapa bayaran yang kamu minta, bilang aja. Aku cuma kasih satu syarat."
"Syarat apa tuh, Pak?"