Moments

Rizki Yuniarsih
Chapter #3

Serendipity 2

Kinna mengemasi beberapa kertas yang berserakan di atas lantai kamar kos Yesrin yang sering dijadikan markas untuk ia dan ketiga temannya berkumpul. Kinna dan Fira menggarap administrasi seminar mereka bersama yang memang cukup pelik. Sebab, sehari setelah proposal Kinna diterima, giliran proposal Fira yang diterima dosen pembimbingnya.

“Abis ini ngapain?” Tanya Kinna yang memang belum terlalu paham dengan alur pendaftaran seminar.

“Sebar draft proposal ke penguji,” jawab Fira yang juga sedang membereskan kertas-kertasnya yang berserakan. “Eh, kemarin lo gimana akhirnya?”

“Apa?” tanya Kinna bingung. “OH!” serunya begitu paham apa yang dimaksud Fira. “Kampret. Gue malu banget, anjir. Makanan gue dibayarin sama orang akhirnya.”

Fira tertawa, tipikal Fira yang memang apa-apa mudah untuk ia tertawakan. Yesrin dan Putri yang mulanya sedang merebahkan tubuhnya di atas kasur seketika duduk. Ingin menyimak cerita Kinna yang mungkin saja seru.

“Kenapa-kenapa?” tanya Yesrin.

“Kemarin Kinna ke kafe. Makanannya udah abis tapi dia lupa bawa duit,” jelas Fira.

Tiga perempuan di sana kecuali Kinna sedang menertawakannya.

“Kok bisa?” tanya Putri yang masih belum berhenti tertawa.

"Ih nggak tau, lho! Gue tuh ngerasa kalau dompet gue udah gue masukkin tas.” Kinna menjelaskan dengan raut wajah sebal.

“Ada-ada aja sih, kelakuan lo Kin,” ucap Yesrin. “Bisa aja sehari nggak berulah?”

“Berulah apa sih? Gue cuma lupa bawa dompet ya, tolong.” Kinna melotot pada Yesrin.

“Ada aja insiden memalukan yang lo alami,” kata Yesrin. Dua yang lainnya mengangguk setuju.

“Eh, gue main sama kalian juga banyak malunya ya. Tolong sadar diri!” Kinna menunjuk satu per satu teman-temannya. “Kalian sering banget ngomongin orang di depannya, sampe yang diomongin nengok ke kita. Apakah gue nggak malu? Malu banget woy, anjrit!”

“Terus gimana, Kin?” tanya Fira mengalihkan percakapan yang berpotensi menaikkan tensi masing-masing temannya.

“Ya nggak gimana-gimana. Dia nggak mau gue ganti uangnya. Baik banget nggak sih?”

“Cewek atau cowok?” tanya Fira?

“Cowok.”

“Cakep, nggak?” sahut Yesrin heboh.

Kinna diam sejenak, mengingat bagaimana bentuk wajah cowok itu. “Hm, lumayan.”

“Anak kampus kita?” tanya Putri.

“Bukan sih, kayaknya. Dia kelihatan kayak orang kantoran.”

“Ya Allah.” Yesrin senyum salah tingkah. Dia memang yang paling genit di antara yang lainnya.

“Kenapa lo yang salting, anjir?” Kinna mengerutkan keningnya. Merasa heran walaupun sudah terbiasa dengan kelakuan temannya itu.

“Lo tukeran WhatsApp sama dia nggak?” tanya Yesrin.

“Enggak lah. Privasi anjir. Tapi gue udah ninggalin username Instagram gue kok. Jadi kalau dia mau minta uangnya balik bisa DM gue,” jelas Kinna.

“Anjir, anjir. Dia udah follow lo belum?” tanya Yesrin lagi, kali ini dia heboh.

“Yesrin nih apaan, deh.” Fira menyela sembari memukul lengan Yesrin pelan dengan gulungan kertas. “Dia udah DM lo?”

Yeu, bangke! Lo juga sama aja.” Giliran Yesrin yang memukul Fira, bukan dengan gulungan kertas melainkan dengan guling yang mudah ia jangkau. Alih-alih marah, Fira justru tertawa.

“Nggak ada notifikasi follower baru apalagi DM sih, sejauh ini,” kata Kinna. “By the way, abis zuhur nanti gue ada rapat lagi. Jadi gue nggak bisa lama-lama.”

“Lo mau seminar loh, Kin. Masih aja ngurusin rapat,” cela Fira.

“Ya mau gimana lagi? Gue koordinator, soalnya. Nggak etis banget kalau gue nggak dateng pas rapat. Ini event terakhir gue di Kreasi, kok,” jelas Kinna.

Perempuan Cancer itu sebetulnya kewalahan juga membagi waktu antara organisasi dan kuliahnya, terlebih sebentar lagi dia seminar proposal. Yang mana seharusnya dia menyisihkan banyak waktunya untuk belajar dan menguasai materi yang harus dipresentasikan.

“Kalian laper nggak sih?” celetuk Putri tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan.

“Laper,” sahut ketiganya.

“Mau makan di mana?” tanya Kinna. Fokusnya sekarang beralih pada ponsel yang ia genggam. Membalas banyaknya pesan masuk dari teman-teman organisasinya dan teman-temannya yang lain.

“Enaknya di mana ya?” Kini giliran Fira yang bertanya. Sejak dulu, satu-satunya problem yang sering empat orang ini jumpai adalah mencari tempat makan. Tidak ada respons dari ketiga temannya, Fira kembali bersuara. “Delivery aja atau cari makan di luar? Kalau kalian bilang ‘terserah’, awas aja, ya!”

“Kita juga nggak tau mau makan di mana, soalnya,” sahut Yesrin.

“Ayam geprek, gimana?” usul Fira.

Lihat selengkapnya