Suara mesin photocopy dan printer saling bersahutan. Empat dari total enam komputer di tempat itu menyala dan masing-masing di hadapannya digunakan oleh kebanyakan mahasiswa yang sedang mengurus tugas kuliahnya. Termasuk Kinna.
Pagi tadi Kinna sudah menghubungi para penguji serta dosen pembimbingnya untuk mengonfirmasikan bahwa ia akan menyerahkan draft proposal kepada mereka. Dan kebetulan semua dosen yang ia hubungi meminta Kinna meyerahkan draft proposalnya hari ini juga.
Maka jadilah kini ia sekarang sedang mencetak file proposalnya untuk ia serahkan.
Kinna pergi dari tempat photocopy tersebut begitu proposalnya selesai dicetak. Tak ingin berlama-lama, maka Kinna langsung mengendarai motornya untuk menuju ke kampus, dan segera menyerahkan proposalnya kepada para penguji dan dosen pembimbingnya.
Kinna ditemani tiga temannya, Fira, Yesrin dan Putri ketika hendak menyerahkan draft proposal. Padahal sebenarnya, tanpa ditemani oleh mereka pun, Kinna berani ke ruangan dosen sendirian. Tapi pertemanan mereka menjunjung tinggi solidaritas.
“Mam Lila ada di ruangan?” tanya Fira.
Empat perempuan itu berjalan beriringan menuju gedung fakultas setelah mereka bertemu di tempat parkir dekat fakultas mereka.
"Kurang tau sih, tadi gue chat katanya suruh taruh di mejanya aja,” jawab Kinna. “Lo mau ngasih proposal lo juga sekalian?” Mam Lila adalah dosen pembimbing skripsi Fira yang mana menjadi penguji pada seminar Kinna nanti.
“Besok, deh. Gue belum nge-print soalnya,” kata Fira.
“Lo deg-degan nggak sih, Kin?” tanya Yesrin begitu keempatnya tiba di depan gedung fakultas.
Kinna mengedarkan pandangan, melihat suasana di fakultas yang pagi itu tampak cukup ramai. “Deg-degan lah, gila.”
“Sumpah ya, gue deg-degan banget Kinna mau seminar,” celetuk Putri tiba-tiba.
Fira tertawa, “Aneh banget, kenapa malah lo yang deg-degan deh?”
“Nggak tau.”
Sepatu-sepatu mereka berbunyi pada setiap anak tangga yang mereka pijak. Tidak gaduh, tapi cukup menjadi pusat perhatian beberapa orang yang memang ingin melihat mereka.
“Kita tunggu sini ya, Kin,” kata Fira begitu keempatnya tiba di depan ruangan Mam Lila.
Pintu kayu berwarna putih gading itu diketuk lembut oleh Kinna. Pegangan pintunya ia gerakkan ke bawah untuk memudahkan Kinna membuka pintunya. Bersamaan dengan ucapan salam yang ia lontarkan melalui mulutnya, Kinna masuk ke ruangan itu dengan yakin.
Tidak sampai dua menit, teman-teman Kinna mendapati Kinna keluar dari ruangan yang tadi ia masuki. Fira menjadi yang pertama beranjak dari duduknya dan menanyakan apa yang terjadi. “Gimana?”
“Mam Lila nggak ada di ruangan, ternyata. Jadi gue taruh di atas mejanya aja. Tadi ada Mam Revi juga di dalem. Kata beliau, gue disuruh naruh file-nya aja, abis itu gue disuruh konfirmasi kalau gue udah naruh file di meja Mam Lila.”
…
“Ini anak acara beneran nggak butuh anggaran sama sekali ‘kan?” tanya Sabila, bendahara acara Musti. Kinna mengangguk pasti ketika diberi pertanyaan tersebut.
Hari ini Kinna sedang menghadiri rapat panitia Musti untuk yang ke sekian kalinya. Rapat sempat tertunda selama dua jam karena ketua pelaksana dan beberapa anggota lainnya yang tidak kunjung datang.
Acara tahunan itu akan digelar kurang dari tiga hari lagi. Semua persiapan sudah mencapai delapan puluh persen. Kinna merasa senang sekaligus gugup, karena kesuksesan acara ada pada kendalinya.
“Gue minta tolong buat petugas MC formal, non formal dan petugas lainnya buat latihan, ya,”pinta Kinna. “Presidium sidang ditentuin pas hari-h nanti ‘kan, ya?”
“Iya. Tahun-tahun sebelumnya kan gitu,” jawab Zaki. “Nanti gue sama dua Kadiv lainnya, entah itu Salma atau Raini atau Mela atau Alika yang jadi presidium sidang sementara di sidang pleno I. Setelah itu voting buat nentuin presidium sidang tetap.” Semua anggota yang ada di sana tampak serius mendengarkan sang ketua umum bicara. “Oh iya, for your information aja nih ya, guys. Buat yang belum tau, khususnya buat yang masih magang, jadi nanti presidium sidangnya khusus dari anak magang aja. Soalnya anak magang kan nggak ada hak suara buat nentuin siapa Ketua Umum selanjutnya.”
Semuanya mengangguk paham atas apa yang sudah disampaikan oleh Zaki. Rapat dilanjutkan hingga sore menjelang. Satu per satu anggota kembali pulang, termasuk Kinna. Lima sisanya memilih tetap berada di sekretariat hingga malam datang.
Kinna berjalan menuruni anak tangga. Bahu kanannya membawa beban tas punggung hitam yang berisi satu buku, charger, dan beberapa alat make-up. Layaknya anak muda pada umumnya, Kinna juga salah satu yang tidak bisa lepas dari ponselnya, bahkan ketika sedang berjalan pun Kinna bisa memainkannya.
Satu notifikasi pesan masuk dari aplikasi Instagram menarik perhatiannya, terlebih pada nama yang yang tertera di sana.
Hendistr
halo, Kinna
Kinna berhenti sejenak untuk membalas pesan tersebut, sebab dia juga sadar bahaya jika terus fokus pada ponsel tanpa memperhatikan langkahnya dengan hati-hati.
andreakinna
Halo, Kak!
Hendistr
told ya. just call me Hendi, drop that ‘Kak’
andreakinna
Okay, then, hehe.
Hendistr
lg di kampus, Kin?
andreakinna
Iya, ini baru banget selesai rapat
Hendistr
udah mau balik ya?
andreakinna
Iya. Kenapa Di? Mau ngajak nongkrong? Wkwk
Hendistr
kamu mau?
andreakinna
boleh wkwk
Hendistr
tempat kemarin?
andreakinna
Okay