Hari Senin, tapi Bebi baru bangun jam 9 lewat. Maklum, dia sudah tidak berkantor jadi jam tidurnya semakin bebas. Namun, ada satu hal yang langsung dia kerjakan begitu melek mata, mengecek saldo rekeningnya.
"Alhamdulillah... Pesangon akhirnya masuk..." Kata Bebi cukup lantang sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
Sejak telepon dengan Adam, mantan bosnya yang sebenarnya berawal dari kolega setingkat, Bebi sudah tidak minat melakukan pekerjaannya. Dia segera melimpahkan semua pekerjaan dia ke Angie, si anak baru, karena buat apa ada junior kalau bukan untuk mengerjakan sisa tugas kita, bukan begitu? Bebi malah langsung mencari tahu dan menghitung dengan seksama jumlah pesangon yang akan dia terima.
"Karena gue udah 5 tahun lebih, hak pesangon gue harusnya 6 kali gaji." Katanya sambil membaca suatu halaman dari Google. "Hm, oke oke not bad." Lanjutnya sambil mengangguk-angguk setelah melihat hasil hitungannya di kalkulator HPnya. Lalu dia beralih melihat-lihat suku bunga deposito. Ternyata otak Bebi lumayan cepat kalau sudah kejepit urusan uang. Rencana yang ada di kepalanya yaitu memasukkan keseluruhan pesangon yang dia dapatkan ke deposito yang bisa memberikan bunga tertinggi, lalu menarik bunganya tiap bulan untuk biaya hidupnya sehari-hari. Tapi ternyata tidak seindah bayangan Bebi. Bunganya terlalu kecil, belum lagi dipotong biaya lainnya, tidak akan cukup untuk biaya hidup. Paling hanya bisa untuk bayar subscription fee bulanannya atas berbagai macam hiburan.
Dengan lesu Bebi harus bisa menerima kenyataan dia menjadi bagian dari orang-orang yang sebelumnya dia kasihani, karena memang benar, tidak banyak perusahaan yang membuka lowongan. Apalagi pekerjaan Bebi sebagai desainer grafis yang saingannya ribuan mungkin, ditambah lagi dengan skill dia yang sangat biasa saja. Dia tidak ada harapan di usia 29 tahun ini. Dia hanya punya puluhan juta hasil pesangon yang bisa dia banggakan.
"Banggakan? Ngapain bangga dengan pesangon karena diPHK..." Pikirnya lagi tenggelam dalam kenestapaannya.
Sehari-hari dia hanya bangun siang, tidur malam, makan, lihat sosial media, buat playlist sedih atau playlist joget, baca komik, nonton Netflux, main game HP yang dalam 3 hari sudah ditinggalkan, main dengan keponakan, dan juga yoga ala-ala. Begitu saja terus menerus setiap hari, dan ini sudah berjalan memasuki bulan ke5. Mamanya bosan melihat Bebi bersantai di rumah.
"Beb, kamu gak mau cari kerja lagi?" Tanya mamanya suatu hari.
"Susah ma, umur segini, pekerjaanku juga saingannya banyak banget." Jawab Bebi singkat saja.
"Yah, jangan putus semangat dong, Beb. Pasti ada yang cocok buat kamu." Mamanya mencoba menghibur.
Perbincangan seperti itu sudah terjadi beberapa kali dalam 5 bulan terakhir, tetapi Bebi malah sudah terlihat tidak minat mencari pekerjaan lagi. Sebagian besar harinya hanya berada di kamar main anak bersama Raka dan Merida, kadang tidur, nonton, main HP, atau juga main dengan anak-anak. Sebenarnya mamanya Bebi lumayan terbantu sehingga tidak perlu menjaga anak-anak bocah itu sepanjang hari, tetapi tetap saja dia gatal melihat anak terakhirnya yang malah bertingkah seperti bocah.
Di suatu siang, cuaca sangat panas, Bebi sedang membacakan cerita ke Raka dan Merida di kamar main mereka. Cara Bebi bercerita sangat menarik, layaknya memainkan drama dengan suara yang diubah-ubah mengikuti karakter dan suasana, yang pastinya sangat menghibur untuk anak kecil. Tiba-tiba mamanya Bebi masuk, ternyata dia kepanasan juga dan mau ngadem sebentar. Dalam diam, sambil memainkan HP, dia memperhatikan Bebi berinteraksi dengan kedua anak kecil itu.