Monolog dalam Kenangan

Lskritokun
Chapter #1

PROLOG

Aku mencoba untuk bersyukur. Setidaknya sampai hari ini pun aku masih bisa bernafas–walau satu tarikan nafas bisa menimbulkan sesak yang begitu sangat.

Sejauh ini pun, pencapaian ku terasa biasa saja, diri ini selalu dibayangi oleh peliknya masa lalu–ah aku ingat itu, aku ingat jelas bahwa aku telah gagal mengartikan apa itu kehidupan, aku sudah gagal menjadi sesuatu yang dinamakan manusia. Ini sungguh di luar dugaan, aku bisa bertahan untuk waktu yang lama–saat itu aku selalu mendengar Tatsu menyemangati ku untuk tetap hidup, begitu juga dengan senyuman aneh dari Kanbara yang berhasil menggagalkan momen bunuh diri ku.

Apa yang membuat ku rapuh?

Jawabannya sangat panjang, butuh puluhan gelas kopi dan lusinan cemilan jika ingin bercerita. Ini adalah sebuah cerita yang semrawut, aku bahkan lupa bagaimana harus memulainya. Alur apa yang ingin aku pakai? Aku lupa, kejadian seperti itu sudah masuk dalam daftar kenangan yang harus dibuang. Aku ingat betul sepenggal kalimat–kalimat perintah yang menyuruhku untuk tetap bertahan hidup–bahkan sekembalinya aku dari Distrik Yosa, tidak ada yang berubah–hidup pun–sepertinya sudah tidak memiliki arti.

Perubahan yang terbilang drastis mengajakku untuk berubah secara acak–penampilan, sudut pandang, kelakukan hingga cara bicara pun berubah dalam hitungan beberapa saat saja. Aku akan bilang dengan lantang bahwa aku saat itu tengah dimantrai oleh orang jahat yang sering aku temui. Mereka diam-diam sudah menaruh sihir kuat sehingga aku mengabaikan mereka.

Apa yang sedang aku ceritakan?” aku menelengkan kepala ku, lalu menatap tajam orang-orang yang asik berbahagia,

Sial! Selalu saja aku merasa sedang dimusuhi oleh dunia, tidak ada hal baik yang terjadi setelahnya. Dunia secara nyata menyatakan bahwa sebenarnya orang seperti aku tidak pantas untuk bertahan hidup.

Aku terkekeh kecil–tidak ku sangka kebencian ku yang sudah menyeruak sejak saat itu kini membuat ku gila. Bahkan pelukan Ibu yang berulang sudah tidak mampu menutup luka yang sudah lebar.

Aku bersedekap, setidaknya aku yakin pada satu hal–Hanya perasaan ini yang masih tersisa bahkan setelah tujuh tahun aku lulus sekolah–hanya ini saja yang tersisa. Sudah tak terhitung lagi kunjungan penuh air mata ke makam Minami. Aku mulai membatin. Pertanyaan kosong mulai mengisi kepala ku, tentang kapan terakhir kali aku memakai jas lengkap dengan dasi tertata? Kapan terakhir kali aku memakai seragam musim panas yang menyenangkan? Dan kapan terakhir kali aku memakai seragam musim dingin yang mempunyai corak indah pada kerahnya?

Lihat selengkapnya