Seorang pria paruh baya mendekati seorang gadis, itulah yang ada di hadapan ku. Aku melirik sana sini–berharap seseorang menangkap lirikan ku dan mengikuti arah mata ku–apa akan terjadi pelecehan di dalam kereta? Aku tidak tahu, lagipula untuk apa peduli dengan hal yang bukan urusan ku–aku sedang tidak berselera untuk ikut campur. Sesekali gadis itu bergeser dan dua kali lipat pria itu mendekat, rasanya ingin ku hajar–itu yang aku pikirkan. Tapi aku harus berpikir ulang. Aku bukan Tatsu yang punya kemampuan bela diri yang handal, mungkin benar jika pria itu tampak lemah di fisik tapi bisa saja dia punya kekuatan dalam yang melebihi seorang superhero. Aku bergidik ngeri, salah-salah bisa saja aku yang dianggap melakukan kekerasan. Dengan kata lain adalah aku ini terlalu pengecut untuk membela gadis itu.
Hampir 12 menit gadis itu melirik ke arah ku bolak-balik, aku mohon jangan melihat ku–aku membatin, apa dia pikir aku bisa membelanya? Kacau, sebaiknya aku langsung turun di stasiun berikutnya–setelah itu, aku tidak tahu–aku tidak ingin ikut campur dalam drama kereta tadi. Sebenarnya ini adalah hal yang sangat biasa terjadi di dalam hidupku, merasa seperti jagoan, tapi sebenarnya aku hanya memiliki jiwa pengecut. Apa harus aku berlari ke petugas lalu bilang bahwa di gerbong sana akan terjadi pelecehan? Pelecehan – Ah, aku selalu menuduh yang bukan-bukan. Mungkin saja itu pamannya, karena sebelumnya aku sempat melihat mereka berbincang sebentar–walau setelah bicara, si gadis terlihat tidak nyaman. Sebaiknya aku harus berpikir ulang, hingga akhirnya tubuh ini bergerak sendiri dan melompat masuk ke dalam gerbong paling belakang. Ternyata masih sempat, aku segera masuk menuju gerbong yang berisi gadis dan orang mesum tadi. Mungkin ini terdengar tidak bermoral, tapi dari sorot mata pria itu–dia seseorang yang sangat mesum.
Aku sedikit menginjit–mendongak–mencari dimana letak gadis itu berdiri dan dia ada di sana. “permisi,” ucap ku dengan sopan sambil sedikit menunduk. Di sini terlihat sangat padat, aku akan terlambat jika berjalan pelan, “Permisi,” ucap ku sekali lagi. Gerbong terasa sangat panjang, sudah berapa banyak ketiak manusia berbadan tinggi yang aku lewati. Aku kembali memanjangkan leher–dan itu dia, berjarak beberapa meter.
“Permisi,” kata ku sedikit keras.
Pria itu menoleh, raut wajahnya sedikit berubah. Aku langsung menarik tangan gadis itu dan mengajaknya sedikit menjauh – sepertinya dia mengerti dan langsung mendekatkan tubuhnya pada ku. “Apa kau kenal dia?” tanya ku seolah akrab dengan si gadis. Dia menggeleng, membuang wajah ke arah lain. Pria itu mendecih kesal lalu mundur, gadis itu berbisik “terima kasih.” Ku lihat matanya sudah sedikit memerah, tinggal menunggu waktu saja hingga air mata yang berkumpul akan segera jatuh. Aku mengangguk pelan lalu berpura-pura sebagai kenalan gadis itu. Sejauh ini baik, tidak ada– Sial, dari ujung mataku terlihat bahwa pria itu masih saja melihat ku, dia menyoroti ku dengan tatapannya yang tajam. Tunggu sebentar–tidak mungkin dia merasa tergoda oleh ku dan juga tidak mungkin juga dia jatuh cinta pada ku–sesaat pikiran ku terbayang sesuatu yang menjijikkan.
Gadis itu menunjukkan layar ponselnya, sebuah teks yang bertuliskan bahwa pria tadi sedang meraba kakinya–aku seketika mengernyit. Sedikit ku dongak kan wajah ku sambil menatap remeh pria itu–pria ini menjijikkan. Aku berpikir sejenak, apa dia akan terpancing dengan tatapan remeh ku ini? Dan ternyata benar, butuh beberapa detik saja sampai pria itu berjalan cepat menabrak semua tangan yang bergelantung di depannya. “Ada masalah apa kau dengan ku?” hardik pria itu. Suara ku tidak keluar, kenapa selalu saja seperti ini. Selalu saja aku mendadak bisu jika dalam keadaan genting.
“Kau–“
“Kau melecehkan ku!” teriak gadis itu, aku menganga–menurut ku itu sesuatu yang keren. Berani bicara lantang tentang pelecehan yang baru saja ia alami. Semua mata akhirnya tertuju kepada kami, dengan cepat gadis itu menunjukkan sebuah gambar yang dia ambil secara diam-diam saat pria tak berotak itu merabanya, pria itu tersentak lalu mengambil langkah mundur. Menutup wajahnya dengan sapu tangan lalu beranjak pergi.
“Kau mau kemana?” seseorang bertubuh lebih besar berhasil menahan dengan mencengkram pundaknya, aku rasa itu cengkraman yang kuat dibandingkan dengan cengkraman Tatsu–raut wajah pria–menunjukkan bahwa dia sedang kesakitan. Dia terus mencoba untuk melepaskan cengkraman itu, para pria dewasa dan dua pria tubuh besar mengerubunginya seperti lalat. Tak lama kemudian, seorang petugas mendekat dan meminta para penumpang lain tenang. Baiklah sampai di sini situasi sedikit aman. Petugas itu lalu menarik pria paruh baya itu mendekati pintu keluar lalu memaksanya turun di stasiun yang sebenarnya bukan tujuannya.
“Apa yang pria itu lakukan kepada mu?” tanya petugas yang mengeluarkan buku catatan kecil. Gadis itu menceritakan secara detail sambil mempertahankan layar ponselnya agar tetap bisa dilihat petugas.
“Dan dia menyelamatkan ku,” pernyataan gadis itu membuat ku tercengang–tidak, aku tidak tercengang karena merasa kaget dengan ucapan yang tidak masuk akal itu. Aku merasa sedang dipermainkan. Bagaimana mungkin dia bisa berpikir bahwa aku tiba-tiba datang hanya untuk menyelamatkan dia? Bagaimana dia bisa mengatakan sebuah kebohongan yang kentara terlihat? Bagaimana mungkin seorang aku bisa bersikap pahlawan dengan menolong dia? Ejekan, aku rasa ini sebuah ejekan–ejekan ini harus segera aku sanggah–Tapi sayang, niat ku untuk menyanggah terhenti, wajah ku sudah dulu memerah karena merasa bangga mendapat sebuah ejekan pedas seperti tadi. Sial, aku tidak bisa mengatur senyum ku. Senyum merasa puas karena di ejek seperti itu.
Petugas itu mangut kecil lalu menyobek catatannya, dia memberikan catatan itu pada rekannya yang sedang menangani sang pria mesum.
“Bisa ikut dengan kami? tanya salah seorang petugas dengan tubuh sedikit menunduk, gadis itu mengangguk sedangkan aku menggeleng. Ditanyanya alasan maka aku menjawab, “aku akan pergi ke sekolah menengah untuk melihat ruangan kelas.”–Iya, itu alasan sebenarnya kenapa aku harus repot turun duluan agar tidak terkena masalah.
Aku sedang diburu waktu.