Montmartre

Mizan Publishing
Chapter #1

TAKDIR

Dimas berjalan mengitari Sacré-Cœur Basilica―The Basilica of the Sacred Heart―. Suara jepretan kameranya seolah tanpa jeda. Gereja putih itu berdiri megah dengan latar belakang langit biru musim semi tanpa awan. Hari yang sempurna, pikir Dimas. Tidak rugi majalah yang mengirimnya ke Paris untuk menulis cerita dan mengambil banyak gambar.

Beberapa turis berjalan bergerombol. Suara pemandunya menjelaskan, bahwa mereka berasal dari Jepang. Saat ini wisatawan Jepang sangat banyak tersebar di dunia. Hasrat untuk melihat dunia luar juga makin tinggi di negara Sakura―juga Korea tetangganya. Namanya juga negara-negara kaya, Dimas mendesah. Mau tak mau dia membandingkan dengan Indonesia yang banyak rakyatnya untuk makan saja susah.

Perhatiannya kembali teralih ke bangunan indah di hadapannya. Dia pun melangkah mendekati pintu masuk untuk kemudian naik ke kubah gereja. Dari atas pemandangan Montmartre terbentang. Rumah-rumah, apartemen, dan sebuah pesawat yang terlihat melintas. Musim semi telah membuat pepohonan mulai bertunas, walaupun bukti deraan musim dingin masih tampak dengan jelas.

Puas dengan ratusan foto yang sudah dia ambil, Dimas berjalan menjauhi kerumunan turis. Dia memilih turun dari kompleks Basilika dengan menggunakan funicular train. Kereta ini didesain untuk mampu mendaki dan menuruni bukit.

Kawasan Montmartre terkenal dengan dua hal. Pertama, karena keberadaan Basilica Sacré-Cœur yang artinya adalah hati yang suci. Kedua, wilayah ini juga merupakan pusat imigran di Paris. Terlihat kebanyakan kios yang menjual cendera mata pun dimiliki atau dijaga oleh para imigran.

Dimas mengambil foto kios-kios suvenir yang berjajar, kedai-kedai kopi yang sebagian besar baru buka, ibu-ibu muda yang mendorong kereta bayi di atas jalan berbatu. Bau harum kopi memaksanya memasuki salah satu kedai dengan meja-meja yang ditata di luar.“Un cappucinno et croissant*,” katanya kepada penjaga kedai dengan Bahasa Prancis pas-pasan.

* Segelas cappucino dan croissant.

Dimas mengambil tempat duduk di luar, di sudut dekat pot-pot begonia yang tertata rapi. Bunga-bunga itu mengeluarkan bau harum, bercampur dengan rerumputan musim semi. Dari mejanya Dimas dapat leluasa menikmati indahnya Sacré-Cœur. Saat ini sudah makin banyak turis yang datang. Mulai dari yang membawa ransel lusuh, hingga yang mengenakan sepatu berhak tinggi dan rok mini. Apa enggak kedinginan, cuaca masih di bawah 20 derajat, pikir Dimas. Dia menggelengkan kepala sambil tersenyum simpul.

Pelayan datang membawakan pesanannya. Bolehlah sekali-sekali boros, toh pengeluarannya akan diganti oleh majalah yang mengirimnya ke sini. Dimas menyesap kopi panasnya. Lumayan untuk mengurangi hawa dingin. Croissant-nya masih hangat dan renyah, Dimas mengoleskan mentega tebal-tebal. Kejunya juga jauh lebih lezat daripada keju-keju di Indonesia. Nikmat memang, tapi kalau saja ada warung padang Dimas akan lebih senang lagi.

Usai menikmati sarapan pagi, dia beranjak meninggalkan kedai. Matanya mengamati cendera mata yang dijual di toko-toko pinggir jalan. Mungkin ibu dan mbakyu-mbakyunya di Wonosari akan senang dibelikan tas bertuliskan Paris. Si tole Angga, keponakannya, bisa dibelikan boneka. Mereka pasti senang, pikir Dimas, walaupun dia tahu semua barang itu sebenarnya bikinan Cina.

Dimas melangkah masuk ke salah satu kios yang enggak besar. Mendongak melihat tas-tas yang dipajang di atas. Tiba-tiba terdengar teriakan kecil tepat di belakangnya. Dia memutar badan, namun tubuh gadis di belakangnya ikut memutar. Seolah-olah menempel pada ransel kamera Dimas. Tubuhnya yang ramping menabrak tubuh Dimas, membuat mereka berdua sempoyongan.

Bruuuk!

Keduanya terjatuh menubruk tumpukan kaus-kaus suvenir. Kaus-kaus yang dibungkus plastik tesebut berserakan di lantai. Setumpuk kaus yang diikat tali menabrak miniatur menara-menara Eiffel hingga bergelimpangan. Untung semuanya terbuat dari besi.

Perempuan itu berbicara dalam bahasa Prancis dengan cepat. Dimas tidak dapat menangkap apa yang dikatakan. Badan keduanya seperti lengket. Berdua berguling-guling berusaha membebaskan diri dari yang lain. Gagal.

Terengah-engah perempuan itu berkata, “... mon hijab ... ton sack …”

Dimas masih bingung. Dia berusaha menarik tubuh menjauhi perempuan di belakangnya.

“Please remove your bag!” Perempuan itu akhirnya berkata dalam bahasa Inggris dengan akses Prancis yang cukup kental.

Dimas melepaskan ransel dari punggung dan berbalik. Di depannya terlihat sesosok wajah cantik dibingkai kerudung berwarna merah muda. Bulu matanya lentik tanpa maskara, mata birunya dihiasi eye-liner hitam pekat. Wajahnya seperti perempuan Eropa, namun dengan karakteristik jazirah Arab yang juga menonjol. Dahinya yang mengernyit tidak mengurangi kecantikannya.

Perempuan itu masih sibuk berkutat dengan kerudungnya, yang ternyata tersangkut di ritsleting ransel Dimas. Kain merah muda yang terbuat dari sifon itu sedikit tersibak. Dimas buru-buru membantunya. Namun, entah mengapa sangat sulit melepaskan kain yang tersangkut itu. Dimas akhirnya menyentakkan kain itu hingga terlepas. Ujung kerudung terkoyak masih menyangkut di tas Dimas.

“I’m sorry, I’m so sorry!” kata Dimas sambil membantu perempuan itu menata kembali tumpukan kaus yang berserakan.

“Non, non, c’est bien,” perempuan itu mengangkat mukanya sambil tersenyum, tidak apa-apa katanya. “What can I help you?” Prempuan itu mendadak menggunakan bahasa Inggris. Ternyata perempuan ini adalah penjaga kios cendera mata tersebut.

Dimas berdiri sambil menggaruk-garuk kepalanya, kebiasaannya kalau gugup. Dia bertanya harga tas-tas yang tergantung di atas. Ternyata masing-masing seharga 9 euro, kalau beli 3 bisa dikasih 25 euro. Mahal memang, tapi ini Montmartre bukan Pasar Beringharjo di Jogja. Dimas memilih warna biru, ungu, dan kuning. Dia juga mengambil beberapa gantungan kunci dan magnet kulkas obralan.

Perempuan penjaga toko itu memasukkan semua barang belanjaannya dalam tas. Dimas menyerahkan lembaran 50 euro dan diberi kembalian 13 euro.

“I’m sorry, your hijab is ruined,” ucap Dimas sambil melambai pada kerudung merah muda yang terkoyak.

“No, no, no, that’s okay. I have many pink hijabs,” perempuan itu menjawab. “Don’t worry about it, Monsieur!”

Setelah mengucapkan terima kasih, Dimas berjalan ke luar. Tiba-tiba dia teringat sekarang hari Jumat. Dimas berbalik ke arah penjaga toko.

“Do you know where mosque is?”

“Ah oui, oui, par la!*” katanya sambil menunjuk ke sebuah sebuah jalan. “Attendez**, I’ll draw a map for you.” Dimas nyengir mendengar perkataan perempuan itu, mencampur bahasa sedemikian rupa. Terlihat cukup fasih berbahasa Inggris, namun seperti kebanyakan orang Prancis, lebih suka menggunakan bahasa ibu.

* Ya, tentu saja. Di sana!

** Tunggulah

Perempuan itu mengambil secarik kertas dan menggambarkan peta ke arah masjid terdekat. Kemudian menjelaskan arah kepada Dimas. Sekali lagi, Dimas mengucapkan terima kasih dan berjalan keluar.

Lihat selengkapnya