Montmartre

Mizan Publishing
Chapter #2

RENCANA

Tit, tit, telepon seluler Sophia berbunyi. Ada pesan singkat dari Dimas dan sebuah gambar candi. Aku pulang untuk bertemu ibuku, dan aku sempatkan berkunjung ke Candi Prambanan. Aku yakin kamu akan senang datang ke sini.

Sophia tersenyum. Pikirannya melayang pada saat mereka pertama kali bertemu. Bagaimana mungkin orang yang hanya dia temui selama beberapa hari meninggalkan bayang-bayang yang begitu lekat di hati.

Ibunya ―Sophia biasa memanggil dengan Maman (ibu dalam Bahasa Prancis)― membuka pintu kamar. “Ayo, kita makan dulu, Ibu memasak jamur kesukaanmu.”

“Oui, Maman,” Sophia berusaha mengenyahkan bayangan Dimas dari pikirannya. Dia pun mengikuti ibunya ke dapur.

“Tadi pagi Ibu mendapat pegawai baru, jadi kamu tidak perlu menjaga toko lagi,” ibunya mengoleskan mentega tebal ke baguette untuk Sophia. “Dia bisa bergantian dengan Fadeela. Sepertinya pemuda jujur.”

“Tapi, Maman, aku tidak keberatan menjaga toko,” Sophia berujar sambil mengendus-endus bau sauteed mushroom buatan ibunya.

“Non, non, non, Ibu tidak suka itu. Kamu harus konsentrasi dengan kuliahmu. Sebentar lagi kamu harus melakukan penelitian untuk tesis, bukan?”

Rintik gerimis musim semi terlihat dari balik jendela. Musim dingin mulai pergi bersamaan dengan bulir-bulir salju yang beberapa bulan lalu menghiasi kota Paris.

Rumah Sophia kecil, seperti layaknya rumah-rumah di pinggiran Paris. Masih untung mereka bisa memiliki rumah, tidak harus tinggal di flat atau apartemen sempit. Rumah ini sudah tua karena merupakan peninggalan Kakek-Nenek Martine, Ibu Sophia. Lantai dasar dihuni Sophia dan ibunya, lantai dua dan tiga disewakan.

Penyewa di lantai dua adalah sebuah keluarga kecil keturunan Turki. Mereka memiliki seorang anak kecil bernama Ozgur, anak yang sering dibawa-bawa Sophia ke kamarnya. Ozgur sangat lucu dan periang, orangtuanya pun ramah dan tidak pernah membuat masalah. Walaupun hidup pas-pasan, keluarga tersebut selalu membayar uang sewa tepat waktu.

Penyewa di lantai tiga beda lagi. Lantai ini hanya memiliki satu kamar tidur dan dihuni oleh seorang bujangan bernama Jean-Pierre, seorang ahli IT di sebuah perusahaan kecil di Montmartre. Jean-Pierre tidak pernah membuat masalah besar, sebenarnya, tapi dia sering sekali membawa perempuan muda yang berbeda-beda ke atas. Di Prancis, pemilik rumah tidak berhak mengurusi apa yang dilakukan penyewanya selama tidak mengganggu orang lain. Bukan hanya itu, dia pun sering berusaha menggoda Sophia tatkala mereka tak sengaja berpapasan. Ramah memang. “Cakep juga, sih. Tapi, playboy-nya enggak ketulungan,” gerutu Sophia.

Saat udara masih dingin seperti ini, ditambah dengan gerimis yang menerpa, sebagian besar orang Paris memilih untuk berada di dalam rumah. Penghangat ruangan masih dinyalakan untuk menghalau udara dingin.

Sophia membantu ibunya membereskan piring-piring makan mereka. Dia mencucinya dengan air hangat. Di rumah ini, pekerjaan rumah tangga mereka bagi berdua, tergantung siapa yang sedang tidak sibuk. Sophia biasanya membersihkan rumah, sementara ibunya memasak dan menyetrika.

Sebagian besar orang Prancis, ketika masuk kuliah, mereka akan keluar dari rumah orangtua untuk tinggal di asrama atau berbagi apartemen dengan teman-teman mereka. Banyak yang harus bekerja paruh waktu untuk menambah uang saku, walau mungkin uang kuliah sudah ditanggung oleh orangtua mereka.

Ketika memasuki kuliah, Martine pun menyarankan demikian. Dengan rumah yang disewa orang dan toko cendera mata, dia mampu menyewakan kamar asrama untuk anak perempuan satu-satunya. Namun, justru Sophia yang tidak sampai hati. Baginya, sangat tidak rasional dan tidak praktis jika tinggal di asrama, sementara di rumah ibunya yang cukup dekat dengan kampus pun ada kamar kosong ―kamarnya sendiri sejak berusia 10 tahun.

Sebenarnya alasannya bukan itu. Dia tidak tega melihat Ibunya hidup sendiri di rumah ini, tanpa suami dan anak. Walaupun sudah ditinggalkan oleh ayah Sophia belasan tahun, Martine tampaknya tidak tertarik untuk menikah lagi. Padahal masih cantik, pikir Sophia.

Mereka berdebat selama berhari-hari tentang masalah ini. Bagi Martine, seorang anak harus belajar mandiri dan lepas dari pelukan orangtuanya. Bagi Sophia, kemandirian tidak harus ditunjukkan dengan berpisah dari orangtua ―terutama ketika dia tahu, bahwa sebenarnya ibunya akan sangat kesepian sepeninggalan dirinya.

Martine adalah pribadi yang sangat mandiri. Dia meninggalkan orangtuanya di Paris untuk bekerja di Marseille, tempat bertemu dengan Ayah Sophia. Mereka pun akhirnya kawin lari karena orangtua Martine tidak setuju dengan pernikahan mereka. “Bukan masalah agama, tetapi Ayah tidak melihat calon suamimu itu sebagai pria yang baik,” kata ayah Martine.

Awal pernikahan, mereka bahagia selama beberapa tahun pertama, sebelum akhirnya Ayah Sophia berselingkuh dengan wanita yang lebih muda. Setelah ketahuan, Ayah Sophia mengatakan akan menikahi selingkuhannya sebagai istri ke-2. Martine tidak setuju.

“Aku tahu bahwa Islam menghalalkan poligami, namun walaupun seorang mualaf, aku juga tahu bahwa Islam sangat menghormati perempuan. Aku menolak untuk dimadu,” kata Martine tegas dalam sebuah pertengkaran mereka. Sophia masih terlalu kecil untuk memahami apa yang dipertengkarkan orangtuanya kala itu.

Saat itu pun drama sering terjadi. Ayah Sophia menjadi ringan tangan dan sering memukuli Martine. Tubuh memar, mata lebam menjadi pemandangan sehari-hari sebelum akhirnya dengan berani Martine menggugat cerai. Lalu mereka pun pindah ke Paris untuk memulai hidup baru.

Sophia masih ingat sebagian masa kecilnya. Masa bahagia pada awal kehidupannya, masa-masa pahit ketika kekerasan seringkali terjadi. Dia melihat Ibunya adalah wanita yang sangat tegar dan berpendirian. Ibunya berani memutuskan tanpa harus menunggu kekerasan yang terjadi di rumah tangganya berlarut-larut.

Sophia belajar keberanian dan ketegaran dari Ibunya. Pagi ini matahari bersinar cerah. Suara Ozgur di lantai atas terdengar sayup-sayup. Usianya sudah menginjak 3 tahun dan dia sedang senang-senangnya bernyanyi. Kadang dalam bahasa Turki, kadang Prancis.

Martine telah berangkat ke toko sejak pagi. Hari itu Sophia harus ke kampus untuk bertemu dengan dosen pembimbingnya. Map-map dan dan dokumen perkuliahan telah rapi dia siapkan semalam sebelumnya. Yang belum siap malah hatinya.

Sebagai mahasiswa pascasarjana yang telah menyelesaikan kuliahnya dengan gemilang, Sophia bagai mahasiswa favorit para dosen. Ketertarikannya terhadap struktur punden berundak, serta kecerdasannya membuat Profesor Mathieu Bernarde ―salah seorang dosen senior di kampusnya― mengajak Sophia ikut penelitian di Mesir. “Kamu bisa sekalian menulis tesismu,” kata Sang Profesor saat itu.

Bagi Sophia sendiri, ajakan semacam itu memang memiliki banyak keuntungan. Dia dapat langsung belajar bersama gurunya, sekaligus menyelesaikan tesis untuk gelar masternya. Ibunya sendiri sangat mendukung usulan tersebut. Sekali pun mungkin Martine masih merasa sakit bila mengingat-ingat mantan suaminya, dia sadar betul, bahwa Sophia memiliki darah dari jazirah Arab. “Kamu bisa sekaligus mempelajari budaya leluhurmu. Anakku, Ibu ingin kamu bepergian jauh, tidak seperti Ibu. Aku dulu sangat ingin berkeliling dunia tapi apa daya. Sekarang, kamu punya kesempatan untuk melakukannya.”

Hanya ada satu yang mengganjal. Sophia merasa masa depannya terlalu sesuai dengan rencananya. Sejak kecil, dia memang tertarik dengan benda-benda kuno. Dari dulu, dia memang anak pintar. Lulus sarjana, dan langsung melanjutkan pascasarjana dengan beasiswa. Sophia merupakan anak baik-baik idaman semua orangtua.

Hidupnya terlalu lurus, tidak seperti teman-temannya yang hampir semuanya mengalami episode pemberontakan. Sebastien hampir selalu memberontak sepanjang hidupnya, mulai dari orientasi seksual, serta pilihan kariernya sebagai seniman, sementara kedua orangtuanya adalah pengacara terkenal di kota ini. Yvette tidak menyelesaikan sekolah bisnisnya dan nekat membuka butik dengan uang pinjaman dari bank. Olivier ―seorang dokter bedah brilian― mentato seluruh lengan kirinya. Bahkan Martine, ibunya sendiri pun pernah memberontak ketika dia menikahi pria yang tidak disetujui orangtuanya dan kemudian berani memberontak lagi dengan menggugat cerai Ayah Sophia.

Tentu saja Sophia tidak mau kawin lari atau menato tubuhnya. Dia hanya menginginkan sesuatu yang berbeda dalam hidupnya. Bukan sesuatu yang semua orang sudah duga sebelumnya.

“Cherie*, mau pergi ke kampus hari ini?” Jean-Pierre menyapa dari lantai atas. Walaupun playboy kelas kakap, tapi pria itu tidak pernah benar-benar mengganggu Sophia. Mungkin dia segan karena Sophia menggunakan kerudung.

* Sayang.

“Oui, oui. C’est que vous faites a la maison? Ne travaillez pas? Apa yang kamu lakukan di rumah, tidak bekerja?” tanya Sophia.

“Hangover,” kata Jean Pierre cekikikan sendiri sambil memegang kepalanya. “Terlalu banyak minum semalam. Ah, kamu cantik sekali hari ini, lebih cantik dari biasanya.”

“Itu karena pandangan matamu kabur, jadi aku terlihat lebih cantik. Dasar playboy! Kamu butuh kopi yang keras. Eh, aku punya kopi dari Indonesia, enak sekali. Lebih enak dan kuat daripada espresso. Kamu mau?”

“Certainement* ma cherie. Kepalaku sakit sekali.”

“Attendez!” Sophia masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan secangkir kopi Flores yang tadi pagi dia buat untuk Ibu dan dirinya. Sejenak, dia kembali teringat pada Dimas yang memberikan sebungkus kopi ini. Waktu itu dia bilang pada Dimas, aneh … travelling kok, bawa-bawa kopi segala. Dimas menjawab, “No offense, Sophia, kopi dari Indonesia itu yang terbaik di dunia.” Saat itu Sophia hanya mencibir, tapi sekarang dia mulai percaya.

Sophia mengantarkan secangkir kopi itu pada Jean-Pierre di lantai tiga. Lelaki itu menyesapnya sambil duduk di teras.

“Ahhhh, tres bien**. Enak sekali. Kau bilang ini kopi dari mana?”

“Dari Indonesia, Asia,” Sophia menegaskan.

* Tentu saja.

** Enak sekali.

“Ah, aku tahu Indonesia di mana. Di sana banyak pantai-pantai bagus. Bali. Kamu dapat dari mana?”

“Dari seorang teman. Orang Indonesia.”

“Teman atau pacar?” Jean-Pierre nyengir di balik cangkir kopinya yang masih mengepul.

“Aku tidak punya pacar! Tidak seperti kamu, setiap minggu cewekmu berbeda,” pipi Sophia merona.

“Mereka hanya teman. Aku punya banyak teman. Aku disukai banyak orang,” kata Jean Pierre tidak mau kalah.

“Teman apa yang meninggalkan pakaian di sofamu?” kata Sophia sambil menunjuk pakaian dalam warna hitam yang tergeletak di punggung sofa.

“Hahaha, teman yang terlalu ramah,” kata Jean-Pierre tergelak-gelak.

Sophia pun ikut tergelak. Dia selalu suka dengan gaya pria ini yang santai dan menyenangkan.

“Sudah, ya, aku mau berangkat dulu,” katanya sambil turun tangga. “Jangan nakal!”

“Kuliah yang baik, ma cherie!”

******

Entah kenapa Metro hari itu lebih sesak dari biasanya, padahal waktu sudah melewati jam berangkat kerja. Metro merupakan jaringan kereta bawah tanah kota Paris yang sangat efisien. Sophia turun di Stasiun Sorbonne kemudian berjalan ke kampus, tidak jauh dari situ.

Sepanjang jalan, dia mengatur napas, merapikan pikiran, melatih apa yang hendak dia katakan. Dia akan bertemu dengan Profesor Bernarde dan Profesor Lacrois pada pukul 11 untuk membicarakan penelitannya. Masa depannya.

Sebelum mengetuk pintu, dia mengucap basmalah untuk makin memantapkan hati.

“Bonjour*, Sophia. Ca va bien?** Sebentar, aku teleponkan Antoine dulu,” sapa Profesor Bernarde.

Mathieu Bernarde, seorang laki-laki berusia pertengahan enam puluhan. Wajahnya bulat menyenangkan, kepalanya sudah botak. Kacamata yang dia kenakan pasti akan mengingatkan orang pada Profesor Calculus di komik Tintin. Beliau adalah pakar arkeologi terkemuka di Prancis.

Pintu terbuka dan Profesor Antoine Lacrois muncul. Berkebalikan dengan Prof. Bernarde, Antoine Lacrois masih berusia akhir tiga puluhan. Wajahnya tampan, namun berkesan dingin. Sejak kuliah sarjana, Sophia sudah beberapa kali diajar oleh Prof. Lacrois dan merasa walaupun terlihat kaku, beliau adalah guru dan teman diskusi yang menyenangkan.

* Selamat siang.

** Apa kabar?

“Katakan padaku, apa kamu sudah memutuskan untuk melakukan penelitian di Mesir dan ikut ekspedisiku?” Prof. Bernarde bertanya tanpa basa-basi.

Antoine menyandarkan pantatnya di meja Si Profesor.

Sophia menghela napas. Butuh keberanian yang luar biasa untuk melakukan apa yang akan dia lakukan ini. Mungkin ini saat paling menegangkan dalam hidupnya.

“Maafkan, saya, Profesor. Saya memutuskan untuk melakukan penelitian lain.”

Raut muka Profesor Bernarde tampak terkejut, tetapi reaksinya hanya menaikkan kacamata dengan ujung jarinya.

Justru Antoine Lacrois yang biasanya tenang berseru terperanjat, “Bukankah kamu berniat melakukan penelitian tentang struktur megalitik berupa punden berundak? Mesir adalah tempat yang tepat untuk minatmu itu!”

“Antoine ... Antoine ... biarkan Sophia menjelaskan. Dia pasti punya alasan yang bagus,” Mathieu Bernarde berkata sambil tersenyum.

Sophia mengangkat wajah. Perkataan Profesor Bernarde membangun kepercayaan dirinya.

“Profesor Lacrois, saya tetap ingin melakukan penelitian tentang punden berundak, tetapi bukan di Mesir. Saya ingin melakukannya di Indonesia,” kata Sophia tenang. Dia lalu menatap Prof. Bernarde, “Dulu, Anda pernah berkata bahwa banyak arkeolog Eropa yang berbondongbondong meneliti situs-situs di Mesir. Kini, saya ingin melakukannya di tempat lain. Asia juga memiliki banyak situs punden berundak. Indonesia punya banyak candi besar dan kecil untuk diteliti. Bahkan hingga kini, mereka terus menemukan candi baru yang masih belum pernah dieksplorasi sebelumnya.”

Profesor Bernarde mengangguk-angguk. Dia ingat pernah mengatakan, bahwa Mesir merupakan pusat arkelogi di dunia. Memang sebagai salah satu peradaban tertua di dunia, hal tersebut wajar adanya. Daya tarik Mesir terlalu kuat untuk ditolak oleh arkeolog. Dia tahu perkataan Sophia ada benarnya.

Lihat selengkapnya