Dada Dimas berdebar kencang. Dia melongok-longok di terminal kedatangan Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Terminal 2D. Menurut papan informasi, pesawat KLM dari Amsterdam yang ditumpangi Sophia sudah mendarat. Tentu saja, butuh waktu untuk keluar, karena gadis itu masih harus lewat imigrasi dan menunggu koper.
Sophia sudah memberi tahu Dimas, bahwa dia akan segera terbang ke Indonesia karena akan ikut tim dari Universitas Gadjah Mada untuk melakukan penelitian candi-candi baru yang masih dalam proses pemugaran. Sejak saat itu, hati Dimas sudah senang bercampur degdegan. Beberapa bulan yang lalu mereka bertemu secara tidak sengaja di kampung halaman Sophia, kini mereka secara sengaja akan bertemu lagi di kampung halaman Dimas. Dimas tidak tahu harus berharap apa. Dia mengusap keringat di dahinya. Jakarta memang panas sekali hari itu dan bagi Dimas, rasanya lebih panas daripada biasanya. Padahal mungkin untuk orang lain sama saja.
Setiapada rombonganpenumpang yang keluar, para sopir taksi gelap langsung menawarkan jasa. Sementara itu, banyak pula sopir yang bersandar di pagar besi sembari memegang kertasbertulisannama-namatamuyangmerekajemput.Dimas tidak membawa apa-apa. Sebenarnya dia ingin membawa bunga, tapi pasti akan tampak aneh sekali di Cengkareng ini, beda kalau berada di Charles de Gaulle. Akhirnya, dia hanya membawa hati yang berharap serta segelitir kenangan dari waktu yang mereka habiskan bersama di Paris.
Setiap kali ada kerudung merah muda yang melambai, hati Dimas langsung berdesir. Oh, orang Indonesia, bukan Sophia. Lagi pula belum tentu Sophia memakai kerudung pink, bukan? Tapi, kerudung pink Sophia banyak, jadi kemungkinan besar tetap warna pink. Dimas berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran aneh yang merasuk ke kepalanya. “Mau pakai pink, biru, atau kuning, Sophia, pasti tetap cantik,” katanya pada dirinya sendiri, perlahan.
Tiba-tiba, ada sekelebat warna merah muda di antara pria-pria asing yang mengenakan setelan bisnis. Ternyata, Sophia memang mengenakan kerudung pink. Mungkin supaya Dimas lebih mudah mengenalinya. Dimas langsung melambai-lambaikan tangan seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat pesawat terbang.
“Sophia! Apa kabarmu? Bagaimana penerbanganmu? Apa kamu lapar?” Kegugupan Dimas membuatnya memberondong gadis itu itu sejuta pertanyaan. Dia langsung mengambil alih koper besar yang ditarik Sophia. Di punggung gadis itu terdapat sebuah ransel besar dan sebuah tas laptop diselempangkan di bahunya.
“Dimas, aku baik-baik saja. Di pesawat mereka memberiku makanan dengan porsi jumbo. Tidak, aku belum lapar!” Dia kemudian melepaskan sweter yang dipakainya.
“Negaraku panas sekali, bukan? Apa kamu akan betah lima bulan di sini?”
“Kamu bercanda, ya? Kami orang Eropa sangat mencintai matahari. Kami senang sekali dengan udara tropis seperti ini, apa lagi musim dingin kali ini sangat buruk. Hujan salju tebal setiap hari. Bahkan, pada musim semi pun salju masih sering turun. Ini seperti surga bagi kami!”
“Hahaha, baiklah. Kamu bisa berkata demikian sekarang. Semoga sebulan lagi kamu akan mengatakan yang sama,” Dimas menggiring Sophia ke antrean taksi. Dia tadi berangkat dari kantor menggunakan bus Damri karena tidak mungkin menjemput Sophia dengan motornya.
Mereka memasuki salah satu taksi kosong. Dimas menjelaskan pada Sophia, bahwa dia telah memesankan kamar di sebuah guest-house di Jalan Jaksa, kawasan backpacker di Jakarta. Tempatnya bagus, salah satu yang paling bagus di kawasan itu. Harganya pun murah meriah. Tapi, tentu saja fasilitasnya juga terbatas.
“No, no, tidak masalah. Aku tidak butuh yang berlebihan, selama aku bisa tidur dan punya akses internet untuk berhubungan dengan dosen-dosen dan Ibuku.”
Mereka menyusuri jalan tol dalam kota Jakarta yang macet. Dimas menjelaskan pada Sophia, bahwa dibanding beberapa negara tetangga di kawasan Asia Tenggara ini, akses transportasi di Jakarta bisa dibilang salah satu yang terburuk. Kereta bandara baru direncanakan, entah kapan dieksekusi, dan dapat digunakan masyarakat.
Mata Sophia tak henti-hentinya melihat kiri dan kanan. Dia takjub melihat gedung-gedung pencakar langit yang melebihi kota Paris. “Aku tidak menyangka Jakarta sebegini majunya. Aku lihat banyak mobil-mobil mewah. Di Paris tidak seperti itu.”
Mungkin gadis itu belum pernah melihat mobil parkir di jalanan sebanyak ini, pikir Dimas.
“Kesenjangan antara yang kaya dan miskin di Indonesia sangat tinggi. Kamu lihat apartemen mewah itu, di belakangnya banyak rumah-rumah kumuh. Di sini juga banyak orang memiliki mobil hanya demi mengejar status sosial, bukan karena mereka benar-benar butuh atau mampu. Akibatnya, kamu bisa lihat sendiri macet di mana-mana,” Dimas menjelaskan panjang lebar. “Kamu tidak perlu khawatir, di Jogja tidak akan semacet ini. Ada beberapa titik macet, tapi tidak di semua jalan seperti di Jakarta.”
“Aku bingung, ketika mencari informasi tentang Yogyakarta di internet, aku menemukan kata Yogya, Jogja, mana yang benar?”
Dimas kemudian menjelaskan nama resminya Yogyakarta dan disingkat menjadi Yogya. Namun, belakangan ini trennya justru kembali seperti ejaan lama, yaitu Jogja. “Semuanya sama saja,” kata Dimas. “Kamu senang dengan budaya, pasti kamu juga akan senang tinggal di Jogja.”
Mereka tiba di Jalan Jaksa, Kebun Sirih, satu setengah jam kemudian. Di perjalanan sangat banyak yang mereka perbincangkan. Sophia yang masih terkagum-kagum dengan pesatnya kemajuan Asia dan Dimas yang sibuk menjelaskan ini-itu. Kadang dengan bangga, kadang juga malu karena memang ada fakta-fakta memalukan tentang negerinya. Dimas tak mau seperti orang-orang yang hanya menceritakan hal-hal baik kepada orang asing, misalnya cantiknya pantai-pantai di Indonesia, orangnya yang ramah tamah, budayanya yang beragam, maupun kulinernya yang menerbitkan air liur. Bagi Dimas, Sophia bukan orang asing kebanyakan. Dia adalah seorang kawan dan lebih dari itu, dia juga seorang peneliti. Datang ke Indonesia bukan hanya untuk bersenang-senang. Sophia layak mendapatkan informasi yang akurat dan objektif, bukan hanya kalimatkalimat seperti dalam brosur wisata.
Jalan Jaksa terkenal sebagai pusat wisatawan murah di Jakarta. Jalan yang membelah antara Kebun Sirih dan Wahid Hasyim ini memiliki berbagai hostel dan losmen murah yang disewakan. Perkembangan pariwisata membuat kawasan backpacker ini meluas ke gang-gang kecil di sekelilingnya.
Alasan Dimas memilih penginapan di sini bagi Sophia sederhana saja. Pertama, murah. Kedua, Sophia bisa sangat dekat dengan kehidupan msyarakat Indonesia yang sebenarnya. Ketiga, kawasan tersebut juga tidak terlalu jauh dari kos-kosan Dimas di Setiabudi dan kantornya di jalan Thamrin.
Guest-house Bougenville dipilih oleh Dimas atas rekomendasi dari beberapa kawannya yang pernah menginap di sini. Sebagai seorang penulis perjalanan, dia memiliki jaringan kuat antarpara pejalan atau traveler. Sesuai namanya, penginapan ini mempunyai teras berkanopi pohon bougenville. Warnanya merah muda, seperti kerudung yang dipakai Sophia saat ini.
Penginapan tersebut bersih dan tarifnya terjangkau, sedikit lebih mahal daripada penginapan-penginapan di sekitarnya, namun kondisi kamar dan fasilitasnya pun lebih baik. Sebenarnya Dimas tidak terlalu pusing untuk memilih penginapan, tapi, ini untuk Sophia yang baru pertama kali ke Asia. Walau hanya untuk dua malam, Dimas ingin kesan pertama gadis itu di negerinya tidak buruk.
Setelah check-in, Dimas mengantar Sophia ke kamar yang ternyata menghadap ke sebuah kebun kecil di belakang. Perabotannya sederhana, minimalis, dan cukup baru. Sangat bersih dan tidak berbau apek, sesuai dengan ekspektasinya.
Dimas menunjukkan pada Sophia sebuah tanda di langit-langit, “Itu tanda arah kiblat.”
Gadis itu melongo, lalu wajahnya berseri-seri, “Ini baru pertama kalinya aku menginap di kamar yang ada arah kiblatnya. Aku akan memotret dan menunjukkannya pada Ibuku.” Sophia mengambil kamera saku dari ransel dan benar-benar mengambil gambar stiker berbentuk panah di langit-langit.
“Di Indonesia dan banyak negara yang mayoritas muslim, hampir selalu ada tanda arah kiblat di langit-langit atau di laci. Seperti di barat, banyak hotel yang menyediakan Alkitab di kamar,” Dimas menjelaskan.
“Ya, ya, kamu benar.” Sebelum ke Indonesia Sophia memang hanya pernah berkunjung ke beberapa negara di Eropa. Dia tahu yang dikatakan Dimas tentang Alkitab dalam kamar itu benar adanya. Namun, dia tidak menyangka bahwa akan ada penanda kiblat. Gadis itu sudah terbiasa membawa sebuah Quran kecil dengan kompas kiblat di depannya. Selain itu, di telepon pintarnya ada aplikasi kiblat dan waktu azan. “Aku langsung jatuh cinta dengan Indonesia!”
“Hanya dengan negaranya? Mungkin sebentar lagi kamu akan jatuh cinta dengan orang Indonesia juga,” Dimas menggoda.
“Ah, kamu bisa saja,” pipi Sophia merona merah.
Sore sudah berganti malam. Dimas tahu Sophia sudah sangat lelah setelah menempuh perjalanan lebih dari 15 jam. Dia berangkat menggunakan kereta api dari Paris ke Bandara Schiphol di Amsterdam, sebelum berangkat menggunakan pesawat maskapai negari tulip itu. Dimas pun pamit dan berjanji besok akan menjemput Sophia untuk mengantarkannya berkeliling Jakarta. Jumat besok memang satusatunya kesempatan bagi Dimas untuk memperkenalkan ibu kota tanah airnya sebelum Sophia berangkat ke Jogja untuk memulai penelitian. Dimas khusus mengajukan cuti untuk esok hari.
******
Motor matik Dimas berderum halus menyusuri jalanan Menteng yang rimbun, salah satu dari sedikit tempat di Jakarta yang masih rindang. Tempat-tempat seperti ini hanya dapat dihuni oleh orang-orang yang sangat kaya. Dia lalu memasuki Jalan Jaksa. Ternyata Sophia sudah berada di depan penginapan, mengobrol dengan seorang turis bule menggunakan Bahasa Prancis.
Ketika melihat Dimas, Sophia langsung mengucapkan selamat tinggal pada teman barunya itu. Kali ini, Sophia menggunakan celana jeans, kemeja khaki pemberian Yvette, dan sandal bertali. Kerudungnya berwarna cokelat bergaris, seperti model pashmina Pakistan. Ransel kecil tergantung di punggungnya.
Dimas menyiapkan helm pinjaman dari Dika, teman satu kosnya. Maklum, selama ini dia jomblo, jadi tidak pernah kepikiran untuk membeli helm satu lagi. Kalau pulang kantor ada teman yang mau nebeng, ya terpaksa harus sembunyi-sembunyi cari jalan tikus yang aman dari cegatan oleh polisi.
“Kamu pernah naik motor?” tanya Dimas.
“Belum, kalau naik sepeda sering,” Sophia tertawa riang. “Jangan khawatir aku tahu, kok, caranya.”
Dimas menunjukkan sandaran kaki untuk Sophia, lalu gadis itu naik di belakangnya. Helm menyembunyikan sebagian besar kerudung cokelatnya. Sophia lalu memegang erat-erat pinggiran kursi motor.
Dimas berbalik, wajahnya serius, “Tidak seperti itu caranya. Kamu jangan berpegangan di situ. Berbahaya.”
“Lalu di mana?” Sophia bingung dan bertanya serius.
“Cara di Indonesia kamu harus berpegangan erat-erat di pinggangku,” Dimas terkekeh.
Sophia merengut dan memukul punggung Dimas. Tidak urung dia kemudian berpegangan pada pinggang kawan di depannya tersebut. Sebenarnya cara itu memang sesuai dengan tata cara keselamatan karena penumpang dapat menyesuaikan posisi tubuhnya dengan pengendara saat mengerem atau membelok.
Dimas membawa Sophia membelah kemacetan ibu kota ke Monas. Katanya, belum ke Jakarta kalau belum sampai di Monas. “Tentu tidak seromantis Menara Eiffel, tapi ini adalah lambang kota Jakarta yang harus dikunjungi walau cuma sekali. Puncak Monas itu emas murni, lho,” kata Dimas menunjuk ke atas.
“Wah, kaya sekali negaramu. Apa tidak pernah ada yang berusaha mencurinya?”
“Hahaha, pencuri di sini tidak sanggup kalau harus sewa helikopter,” kata Dimas terkekeh.
Teriknya matahari membuat mereka harus melipir ke pinggiran lapangan. Di sana terdapat beberapa gerobak penjual makanan. Tanpa konsultasi dulu, Dimas langsung memesan dua mangkok es dawet ayu, cocok untuk udara siang itu.
“Enak,” kata Sophia setelah beberapa suapan. Kuah dawet yang berupa santan dan gula merah dengan potongan kecil nangka memang harum dan legit manisnya. Gadis itu pun menuntaskan es dawetnya dalam beberapa menit saja. Dimas saja belum selesai makannya.
“Aku boleh minta lagi?”
Ya ampun, pikir Dimas, ini cewek pasti tidak mau mengaku kalau kepanasan. Dawet semangkuk langsung tandas sekejap.
Bapak penjual dawet mengulurkan mangkuk baru kepada Sophia. Si Bapak menatap lekat-lekat wajah gadis itu. Mungkin sedang bertanya-tanya dalam hati sebenarnya perempuan ini orang mana, bule kok, pakai kerudung. Dia menatap ke arah Dimas, seolah-olah hendak bertanya, tetapi mampu menahan mulutnya dan mengurungkan niat.
Sophia menyuapkan dawet sesendok demi sesendok ke mulutnya. Matanya menerawang jauh.
“Kamu rindu dengan ibumu atau pacarmu di Paris?”