Dompayuba, kota yang terletak di pinggir pantai Semaya di Pulau Esta, dalam bahasa penduduk asli memunyai arti "tanah air, " dari kata "dompa" berarti "tanah" (dalam bentuk feminin) dan kata "yuba" berarti "air." Namun orang-orang di kota itu kini lebih sering mengartikan nama kota mereka sebagai "Ibu yang menangis." Hal ini karena kehidupan di kota Dompayuba luar biasa sulit. Dulu, penduduk kota itu kebanyakan adalah nelayan, sebagian lain adalah peladang. Keterbatasan sumberdaya lahan membuat para pemuda yang ingin mendapatkan uang lebih banyak beralih dari nelayan atau peladang menjadi buruh migran di luar pulau bahkan luar negeri. Yang perempuan pun tak mau lagi hidup hanya sebagai penunggu rumah menanti dijemput sebagai istri, menikah lalu menjalani hidup sebagai ibu rumah tangga atau penenun kain tradisional dan memasak, banyak yang lantas mengikuti langkah para pemudanya, menjadi pekerja baik domestik atau di pabrik di pulau lain atau di negara lain. Sisanya, hanya orang-orang tua dan anak-anak. Lalu lintas orang yang demikian leluasa, memasukkan pula orang-orang dari pulau dan negara lain ke Dompayuba. Demikian pula dengan kejahatan dan kemalasan yang mengikutinya. Obat-obatan terlarang dan minuman keras menjadi sumber masalah selain perdagangan manusia secara sembunyi-sembunyi. Para pemuda dan pemudi yang ingin hidup enak bergelimang harta, sering mati sia-sia di jalanan Dompayuba. Itulah sebabnya Dompayuba disebut sebagai kota ibu yang menangis.
Di kota inilah seorang pria bernama Modra Mudrikun bermukim dan memulai bisnisnya sebagai importir sepeda dan onderdilnya. Kios sepeda dan onderdilnya yang dinamainya "Maju Mapan" sangat terkenal seantero Dompayuba. Semua pemilik hotel dan resort di Pulau Esta membeli sepeda dan memperbaikinya ketika rusak di kios Maju Mapan, karena barang dan pelayanan purna jualnya yang begitu baik. Sebetulnya, jika hanya berjualan sepeda dan onderdilnya, Modra Mudrikun tidak bisa menjadi orang kaya yang begitu berkuasa di Dompayuba. Para pelaku usaha pariwisata di Pulau Esta juga kerap membeli obat-obatan terlarang darinya, untuk mereka jual kembali pada para tamu dan turis yang datang ke sana.
Usaha Modra Mudrikun sebenarnya bukan tanpa perlawanan dan saingan. Aik Abiza, seorang tetua adat setempat, adalah pihak yang begitu mencurigai jika Modra Mudrikun adalah orang di balik kekacauan yang terjadi di Dompayuba, namun ia belum bisa mendapatkan bukti bahwa selain berdagang sepeda dan onderdilnya Modra juga memperdagangkan obat-obatan terlarang. Modra Mudrikun begitu rapi menjalankan operasinya, semua barang haram yang dibelinya dari pulau lain dimasukkan ke dalam batang rangka sepeda atau di dalam kotak-kotak onderdilnya. Selain Aik Abiza, ada juga Dam Muhiri, pemilik jasa pembuatan dokumen perjalanan bagi para buruh migran, yang mempunyai usaha sampingan seperti Modra Mudrikun, tidak suka dengan kesuksesan Modra. Terlebih ia sering disatroni oleh para petugas walikota Ras Tusikin yang menjadi kawan akrab Modra Mudrikun.
Mudah bagi Modra Mudrikun bersahabat dengan Ras Tusikin, Sang Walikota. Uang adalah sarana yang menyenangkan untuk sebuah persahabatan palsu. Bagi Modra, berbagi sedikit agar usahanya lancar dan tidak diganggu itu sudah kewajiban. Sedangkan bagi Ras Tusikin, selain untuk kemakmuran diri dan keluarga, uang dari Modra juga menjadi sumber perolehan suara untuk bertarung dan memenangkan dalam setiap pemilihan walikota. Ras Tusikin sudah menjabat walikota lebih dari tiga periode. Warga kota selain uang yang didapat setiap sehari sebelum pemungutan suara, juga beroleh manfaat dari kepemimpinan Ras Tusikin, yaitu fasilitas umum yang semakin baik. Jalanan, taman, toilet umum, gedung pemerintahan, rumah sakit, sekolah semua baik kondisinya.
Sama ketika Aik Abiza menemui Modra untuk melarang berdagang obat-obatan terlarang, Dam Muhiri ketika bertemu dan meminta pembagian wilayah berdagang obat-obatan terlarang, juga mendapatkan jawaban dari Modra bahwa ia tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya. Namun jika Aik ditekan agar tidak mencampuri urusan di luar soal adat dan seni tradisi oleh Ras Tusikin, Dam Muhiri dipersulit usahanya mendapatkan tanda tangan dokumen-dokumen perjalanan dari pemerintahan, bahkan beberapa kali terjadi penggerebekan di kantornya untuk menemukan obat-obatan terlarang oleh petugas. Menyadari bahwa mereka tidak bisa melawan Modra karena di belakangnya ada Ras Tusikin, keduanya pun menyerah.
Modra baru mendapatkan lawan yang sebenarnya, setelah pemerintah pusat menugaskan Yomi Pantera sebagai komandan militer di Dompayuba menggantikan Son Daicus yang pensiun.