"Hatsyi!"
Roy bersin beberapa kali. Ia kaget karena situasinya mendadak berubah menjadi kamarnya lagi. Bulu-bulu di tubuhnya sirna lagi. Ia kembali menjadi bocah SD yang tanpa bulu-bulu layaknya manusia kera.
Kini Roy sedang berada di dalam kamar. Di atas tempat tidur dengan berselimutkan bed cover bergambar makhluk spons kuning dari bawah laut. Ia bahkan sudah mengenakan piyama bergambar tak jauh berbeda dari bed cover.
Terdengar suara pintu sedang dibuka. Mamanya datang membawa baskom berisi air es, yang lengkap dengan beberapa buah es batu serta kain kecil untuk mengompres. Pelan-pelan mamanya berjalan ke arah Roy.
"Roy, Roy. Masih saja kamu suka hujan-hujanan. Akhirnya begini, kan. Menggigil dan dan akhirnya malah demam."
Roy tak menjawab. Ia malah bersin beberapa kali.
Mamanya lalu makin membasahi kain kecil tersebut. Selanjutnya, kain itu diperas. Barulah, kain kecil itu diletakkan di atas dahi Roy.
"Coba Mama lihat berapa suhunya,"
Mamanya langsung meminta Roy untuk mengeluarkan termometer yang ditaruh di apitan salah satu ketiak Roy. Roy agak canggung. Jujur saja ia malah tidak tahu ada termometer yang diapit di ketiak. Termometer itu diambil dan diserahkan Roy ke mamanya lagi. Ternyata suhunya adalah 41 derajat celcius.
"Sebentar, Mama ambil obat demam dulu. Kamu tetap istirahat saja dulu. Kayaknya juga, yang Mama lihat, besok kamu absen lagi ke sekolah. Dan, andai besok kamu nggak kunjung sembuh, mau tak mau kamu ke Dokter Trisno lagi."
Dokter Trisno adalah dokter anak langganan keluarganya Roy. Setiap Roy sakit, pasti akan dirujuk ke sana. Lokasi praktiknya tak jauh dari rumah Roy. Terletak berdekatan dengan gapura perumahan. Dokter Trisno pun baik sekali. Apalagi, di ruang tunggu klinik Dokter Trisno, tersedia buku-buku bacaan yang menarik. Terkadang Dokter Trisno memberikan Roy atau anak-anak yang lainnya hadiah, entah itu berupa mainan atau buku bacaan.