Jam pertama hari itu adalah Matematika. Langit di luar mendung tipis. Hujan semalam masih menyisakan aroma tanah basah di taman sekolah. Di kelas 4A, Pak Mikhael berdiri di depan papan tulis, menggambar prisma dan limas dengan spidol biru. Suaranya penuh semangat, meskipun beberapa murid sudah mulai melirik jam dinding, berharap pelajaran segera selesai.
“Anak-anak, kalau kalian ingat, bangun ruang itu ada sisi, rusuk, dan titik sudut. Prisma segitiga misalnya, punya berapa sisi?” tanya Pak Mikhael.
“Lima!” teriak Daniel dari bangku ketiga.
“Bukan! Enam!” sahut Kathrina dari sebelahnya.
Pak Mikhael tersenyum lebar, “Hampir! Coba kita hitung bersama ya…”
Lisa duduk di bangkunya, menatap kosong ke arah papan. Tangannya memutar-mutar pensil, tapi pikirannya entah di mana. Sejak kejadian di mata pelajaran IPAS-nya Pak Hadi, dunianya terasa tak nyata. Malam itu, ia bahkan tak bisa tidur, membayangkan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Sementara Sania memperhatikan Lisa dari depannya Lisa. Sania cekikikan dan berdesis, "Dibawa santai saja, Lisa. Biasanya makin kamu pikirkan, makin kamu tidak nyaman menjalani hidup kamu."
Lisa menggerutu.
Tiba-tiba pintu kelas diketuk.
Pak Mikhael menghentikan penjelasannya. Semua mata mengarah ke pintu. Seorang perempuan bertubuh kecil, berkacamata, dan berwibawa masuk, disusul oleh seorang anak laki-laki berbaju seragam lengkap, tapi ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Roy berdiri. Lisa pun sama. Juga, Sania.
“Selamat pagi, anak-anak,” sapa Bu Nunik, kepala sekolah.
“Pagi, Bu!” sahut serempak murid-murid.
“Kita kedatangan murid baru. Namanya Lionel Ivan. Dia akan bergabung di kelas ini mulai hari ini.”
Anak laki-laki itu melangkah maju. Ia punya mata lebar, rambut belah tengah, dan senyum tipis. Namun Lisa langsung merasa aneh. Ada sesuatu dari caranya berdiri. Itu seperti terlalu tegak. Yang seperti terlalu simetris. Seperti boneka yang sedang hidup. Lisa mendadak film horor dari Amerika Serikat tersebut.