Jam pelajaran Bahasa Indonesia telah tiba. Bu Retno, guru Bahasa Indonesia kelas 4A yang dikenal bersuara lembut namun tegas, mengajak seluruh murid ke perpustakaan. Hari itu mereka tidak akan belajar di kelas, melainkan mempersiapkan pementasan drama sebagai pengganti ujian akhir semester. Tema drama yang dipilih adalah Lutung Kasarung.
“Kita akan membagi peran nanti di perpustakaan, anak-anak,” ucap Bu Retno di depan kelas. “Kalian akan bermain peran dalam kisah klasik Sunda ini. Jadi, nilai Bahasa Indonesia kalian akan bergantung pada seberapa baik kalian berakting, menggunakan ekspresi, intonasi, dan tentu saja… penghayatan tokoh!”
Murid-murid tampak antusias. Beberapa dari mereka sudah membayangkan akan mendapat peran sebagai pangeran, putri, atau si Lutung Kasarung itu sendiri.
Saat tiba di perpustakaan, suasana sunyi menyambut mereka. Bau khas buku-buku lama--meski ada buku-buku baru--dan AC yang membuat mengigil, itu terasa menenangkan bagi sebagian, namun menakutkan bagi yang lain. Yang terakhir, diperuntukkan mereka yang tidak suka membaca sama sekali. Terutama membaca buku-buku tanpa gambar.
Pak Hieronimus tengah menyusun kembali buku-buku yang berserakan di meja pengunjung. Ia mengenakan kemeja biru langit. Wajahnya tampak lelah, tapi diusahakan terlihat energik.
Ketika melihat Bu Retno datang bersama 40 muridnya, Pak Hieronimus langsung menghampirinya. Ia menepuk ringan lengan sang guru.
“Bu Retno,” bisiknya pelan. “Ada yang aneh sama Roy, Bu.”
Bu Retno menoleh, tersenyum sopan. “Aneh bagaimana, Pak?”
Pak Hieronimus melirik ke arah Roy yang sedang mengambil buku cerita Lutung Kasarung dari rak.
“Tak biasanya dia ke perpustakaan,” gumam Pak Hieronimus. “Setahu saya, dia itu termasuk jenis murid yang lebih suka main di luar. Malas baca buku. Meskipun penampilannya agak culun.”
Bu Retno tertawa kecil. “Bukannya itu bagus, Pak? Berarti sudah ada kesadaran literasi dalam diri dia. Siapa tahu terinspirasi dari tokoh-tokoh anime Jepang kesukaannya.”
“Bukan hanya itu, Bu,” Pak Hieronimus makin menunduk dan berbicara pelan. “Dia mendadak dekat sekali dengan Lisa. Murid langganan lima besar itu, yang artis itu juga. Kalau mereka ngobrol, suka bisik-bisik. Kadang malah berisik. Padahal perpustakaan ini, harusnya tempat yang hening buat belajar. Belum lagi, kalau mereka ada di sini, hujan suka turun. Saya bukannya tidak percaya mistis, tapi--"
Bu Retno mengernyit. “--hujan?”
Pak Hieronimus mengangguk serius. “Pernah beberapa kali hujan deras. Dan, itu tidak jarang. Di saat itu, baik Roy dan Lisa suka ada di perpustakaan.”