Selamat siang para penumpang sekalian, kita akan melakukan penerbangan menuju Kuala Lumpur. Mohon pasang sabuk pengaman Anda. Bagi penumpang yang membawa telepon genggam, mohon segera matikan demi kenyamanan penerbangan.” Suara arahan mulai terdengar, dan para pramugari mulai memosisikan diri di antara para penumpang pesawat.
Sebentar lagi pesawat akan lepas landas. Selama 2 jam nanti, aku dapat melihat betapa indahnya malam yang berdampingan dengan seluruh cahaya yang ada. Aku melirik jam berwarna kuning yang melingkar di tanganku. Baru pukul 08.00 malam. Masih terlalu cepat untuk tidur. Akhirnya, aku memutuskan untuk melirik ke luar jendela.
“Bu, kalau kita pulangnya dipercepat, gimana?” Tiba-tiba terdengar suara Ayah.
Aku menajamkan pendengaran mendengar ucapan Ayah. Kenapa Ayah pengin cepat-cepat pulang, ya? Padahal kami cuma berencana tiga hari saja di Malaysia. Menurutku itu tidak terlalu lama.
“Kenapa emangnya, Yah?” tanya Ibu, terdengar agak kaget.
“Takut merepotkan Chen Han kalau kita kelamaan.” Ayah menjawab dengan santai.
“Duh, Ayah. Justru dia sendiri kok yang meminta biar kita agak lama di Malaysia. Biar sekalian merayakan ulang tahun Guang An.” Suara Ibu terdengar samar karena dipelankan.
Yess! Berarti aku akan merayakan ulang tahunku yang ke lima belas bersama Ayah, Ibu, dan Kak Han. Merayakan ulang tahun bersama keluarga lengkap di negeri orang. Dan, pas festival kue bulan. Pasti akan sangat menyenangkan.
Aku penasaran dengan tanggapan ayah. Namun, belum sempat beliau bicara, pengumuman terdengar di dalam badan pesawat.
“Para penumpang yang kami hormati, harap bersiap karena kita akan segera mendarat.” Suara lembut perempuan yang terdengar dari pengeras suara menanda-kan aku sudah berada di Malaysia. Yeai, ini pertama kalinya aku ke luar negeri!
Tak lama kemudian, para penumpang mulai berdiri dan keluar dari pesawat. Ibu langsung sibuk menghidupkan telepon genggamnya agar dapat berkomunikasi dengan Kak Han begitu kami sampai di ruang tunggu bandara.
Kulihat jam tanganku. Sudah pukul 12.00 malam waktu Malaysia. Namun, bandara masih saja ramai.
Kriiing … kriiing ….
Benar saja. Begitu dihidupkan, telepon genggam Ibu langsung berdering.
“Halo,” jawab Ibu dengan antusias, “di mana?” lanjutnya, setelah terdiam beberapa saat. “Oh iya, di penjemputan internasional, ya? Iya, kami ke sana.” Kemudian, Ibu menutup telepon.
“Di mana dia?” tanya Ayah yang sejak tadi memegangi koper kami.