Moon Cake

Noura Publishing
Chapter #3

Semangkuk Hokkien Mee Tanpa Cinta

“Bangun, Sayang ….” 

Rasanya seperti ada yang mengguncang badanku. “Hmm,” jawabku sambil mencoba membuka mata. Kebahagiaan yang paling tak bisa kupungkiri adalah keberadaan Ibu di sampingku setiap aku bangun tidur. Ibu yang senantiasa membangunkanku, dan menjadi orang pertama yang kulihat saat aku bangun dari tidur.

“Bangun, udah pukul 09.00.” Ibu beranjak dari tempat tidurku dan mulai membuka gorden kamar yang masih tertutup.

18 September 2013.

Sinar matahari langsung tampak dan menusuk mata, membuatku sejenak memejamkan mata kembali.

“Duh, udah siang banget ya, Bu. Kirain masih pukul 07.00.” Aku berusaha mati-matian untuk duduk sambil terus mengucek mata.

“Di Malaysia, pukul 09.00 pagi biasanya orang-orang baru berangkat ke kantor. Emang waktu produktivitasnya beda sama di Indonesia.” Tiba-tiba Kak Han masuk ke kamar dan menghampiriku.

“Terus hari ini kita mau jalan-jalan ke mana, Kak?” Aku tersenyum nakal kepada Kak Han.

“Ih, yang diinget jalan-jalannya. Enggak nanyain kabar kakak dulu atau gimana, gitu?” Kak Han mengacak-acak rambutku sambil memamerkan ekspresi gemasnya

“Iya, deh. Eng … Kak Han apa kabar? Sehat? Duh, makin ganteng aja kalau nyaris botak begini.” Aku mengusap kepala Kak Han.

“Basi bangeeet asliii!” Dia menyingkirkan tanganku dari kepalanya.

“Lho? Enggak ditanyain ngambek, giliran ditanyain malah dibilang basi. Suka susah, deh.” Kupalingkan mukaku dari hadapan Kak Han.

“Masih pagi udah pada berisik aja ….” Ibu yang sejak tadi hanya diam memperhatikan kami akhirnya berkomentar.

“Kalau kami saling diam, nanti Ibu malah khawatir. Hayooo?” kataku riang.

“Eh, nanti sore ada pembukaan festival kue bulan di Petaling Street, Bu. Kayaknya seru kalau nanti kita ke sana, lalu makan malam di sana, deh,” kata Kak Han yang masih duduk di sebelahku.

“Ah, akhirnya mulai membahas jalan-jalan,” kataku sambil memamerkan ekspresi lega.

“Boleh, tuh.” Ibu menanggapi sambil tersenyum. “Kak, Petaling Street apaan, sih?” Ya, aku betul-betul tidak tahu. Yang aku tahu tentang Malaysia hanya menara Petronas alias Twin Tower. Mengenaskan.

“Ya ampun, kakak curiga kamu cuma tahu Twin Tower, deh?” ejek Kak Han.

Sial. Mentang-mentang sudah lama tinggal di Malaysia aja nih, Kak Han.

“Petaling Street itu semacam pusat oleh-oleh murah. Tapi, orang-orang juga sering menyebutnya China Town. Soalnya pas zaman colonial British banyak orang Tionghoa yang tinggal di sana.” Kak Han menjelaskan.

“Ceritanya jangan lama-lama. Nanti kesiangan ….” Ibu memilih untuk keluar dari kamar, meninggalkan aku dan Kak Han.

“Jadi, di sana isinya orang Tionghoa semua, Kak?” tanyaku antusias.

“Dulunya, sih. Soalnya emang pusat perniagaan orang Tionghoa. Tapi sekarang, banyak orang asing yang bukan keturuan Tionghoa juga tinggal di sana,” jawab Kak Han sambil tersenyum. Bibir tipis merah merona yang berpadu dengan kulit putihnya membuat dia tampak menawan. Ah, Kakakku memang tampan. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang, ya? Hehehe.

“Heh, mandi sana! Bau banget, sumpah,” ujar Kak Han tiba-tiba sambil menutup hidungnya, lalu meninggalkan kamar.

Sesaat aku mencium aroma badanku sendiri. Ini memang bau. Bau pendingin ruangan lebih tepatnya. Aku pun segera menuju kamar mandi biar bisa segera pergi jalan-jalan.

Tepat pukul 12.00 siang waktu Malaysia, aku dan keluargaku tengah menikmati jalanan di sekitar Dataran Merdeka. Kak Han bilang, kawasan ini penuh nilai sejarah. Ya, sejauh ini aku memang melihat banyak bangunan bersuasana klasik di sini.

Hal yang membuatku takjub saat menginjakkan kaki di Dataran Merdeka adalah banyaknya gedung yang meski usianya sudah tua, tetapi masih terlihat sangat bersih. Beberapa gedung didominasi warna putih, krem, dan cokelat. Ada pula yang atapnya memiliki kubah kecil hingga besar, menyerupai masjid.

“Kak, Dataran Merdeka artinya apaan?” tanyaku sambil menoleh ke kanan dan kiri, melihat pemandangan sekitar.

“Dataran itu maksudnya lapangan,” jawab Kak Han sambil masih menyetir mobil. “Tanggal 31 Agustus 1957, di lapangan ini, bendera Federasi Malaysia dikibarkan untuk pertama kalinya.”

Aku mengikuti telunjuk Kak Han yang menunjuk ke arah lapangan luas yang kami lewati.

Akhirnya, mobil yang dikendarai Kak Han berhenti di depan pagar yang di dalamnya terdapat bangunan didominasi warna putih, memiliki kubah dan beberapa menara. Di halaman bangunan itu aku melihat banyak perempuan mengenakan jilbab. Aku mulai menebak, bangunan ini pasti masjid.

Kami keluar dari mobil dan mulai berkeliling di sekitar bangunan tersebut. Aku jalan bareng Kak Han, sedangkan Ayah berjalan berdampingan dengan Ibu di belakang kami.

“Ini namanya Masjid Jamek. Katanya sih dibangun tahun 1909. Dulu, yang membangun masjid ini para pedagang Islam yang berasal dari India. Katanya sih dulu sering ada transaksi perdagangan di persimpangan Sungai Klang dan Gombak,” kata Kak Han sambil meraba tiap sisi pagar Masjid Jamek yang kami lewati.

“Han, kita boleh masuk ke dalam enggak?” Akhirnya aku mendengar suara Ayah yang sejak tadi hanya diam. “Kalau kita bisa, Yah. Tapi, kalau Ibu sama An enggak bisa,” jawab Kak Han sambil menatapku.

“Lho, kenapa? Curang.” Seketika aku protes.

“Iya, kalau masuk ke Masjid Jamek, harus berpakaian sopan dan menutup aurat.” Kak Han menjelaskan sambil memamerkan senyum manisnya.

Lihat selengkapnya