Moon On The Water

rayba lonehuman
Chapter #5

Question.

Lana dengan gencar memacu pedal menyusuri kota yang bising sore itu. Dia sengaja mengambil jalan memutar untuk memuaskan hasratnya akan sepeda. Entah apa yang membuatnya memilih rute ini. Namun satu hal yang pasti, dia selalu penasaran dengan perempuan di halte kota lama.

Hampir sebulan lamanya. Saat dia mencoba rute baru untuk pulang. Selama satu bulan penuh juga, dia selalu melihat seorang perempuan seumurannya di halte kota lama. Perempuan itu duduk termenung penuh kegelisahan. Jaket kedodoran miliknya selalu menutupi bagian atas sang perempuan. Ekspresi yang sama seperti saat Lana kehilangan sosok ayahnya.

Manakala matanya menangkap siluet dari seseorang duduk sendiri di bangku halte. Secepat itu pula tangannya menekan rem dan sepeda berhenti 15 meter dari halte. Rasa penasarannya telah mencapai batas tertinggi.

Dia masih di sana, di tempat yang sama.

Lana mengangkat sepedanya, berjalan di atas trotoar menuju halte. Sepeda telah terparkir. Kini dia duduk di sebelah perempuan itu. Dengan jarak sejauh dua meter, Lana tak bisa menghilangkan rasa gugupnya.

Pertarungan batin tak bisa dihindari. Gejolak ingin menyapa hampir terkalahkan oleh rasa takut.

"Hei." Lana memberanikan diri menyapa.

Perempuan itu masih terdiam. Malahan dia lebih merapatkan jaket yang menyelimutinya. Dia bergeser sedikit menjauh dari Lana.

"Aku sering melihatmu di sini. Di jam yang sama, setiap hari. Apa kau menunggu seseorang?"

Lana terus berbicara sendiri meski tak ditanggapi. Bahkan dia juga mencoba memberi salah satu snack penambah energi miliknya.

"Makanlah."

Lana menaruh snack itu di sebelah kiri tangan si perempuan yang sedang bertumpu.

"Ah, maaf aku bukan penguntit atau apa kok. Hehe, aku cuma kebetulan lewat sini sebelum pulang."

Tanpa kata, tangan kiri si perempuan meraih snack yang pemuda itu berikan. Dia merobek bungkusnya dengan gigi, lalu memakan isinya. Namun tingkat kewaspadaan si perempuan tak berkurang sedikit pun.

Angin berhembus pelan menerpa polusi kota. Rambut panjang milik perempuan itu menari-nari ringan. Poni yang menutup matanya juga ikut beterbangan, menunjukkan tiap detail raut muka sang perempuan.

Jantung Lana berdegup kencang. Sudah lama dia tak merasakan hal ini. Terakhir kali ketika dia masih kecil dan melihat atlet renang bersama ayahnya.

Lima bus telah terlewatkan. Namun gadis itu tak menunjukkan hawa untuk menaiki bus tersebut untuk pulang. Lana tetap setia duduk di sampingnya, meski tak ada kata terucap.

Matahari telah lelah. Berangsur-angsur dia menenggelamkan diri di ufuk barat terjauh. Rembulan menampakkan diri, menunggu di atas cakrawala untuk menyejukkan malam.

Perempuan itu tertawa tanpa sebab. Aneh, hanya itu yang terbesit di kepala Lana.

Perempuan itu lantas pergi meninggalkan Lana dengan sejuta pertanyaan. Lana masih terdiam menatap langit malam yang tanpa ada sang bintang. Penerangan jalan, cahaya kendaraan, serta lampu deretan pertokoan seakan membias. Menutup sebuah kemungkinan untuk sang bintang bertengger penuh kesombongan.

Lana memeriksa teleponnya yang sejak tadi berdering dari dalam tas. Matanya membelalak tatkala nama Hendra muncul di notifikasi. Tak hanya satu, namun puluhan. Lana mengangkat dering selanjutnya.

"Ada apa?" tanya Lana malas. Lain halnya dengan Hendra yang terburu-buru.

"Di mana lo?"

Lihat selengkapnya