Suasana kantin saat itu sangat ramai. Lana membawa nampan berisi makanan menuju bangku dengan cakupan pandangan yang lebar, tepat di pojok kantin. Bukan berarti ia tak punya teman, hanya saja ia tidak begitu suka kebisingan. Menurut Lana, bangku pojok sudah cukup demi menuntaskan pekerjaannya.
Selagi tangannya mengaduk soto ayam dengan kecap asin. Lana memperhatikan tiap murid yang berlalu lalang. Telinganya dibuka lebar-lebar. Teknik menguping elit tanpa mereka semua sadari. Rahasia-rahasia kecil sampai berita tak penting masuk ke pendengarannya. Dimulai dari obrolan kecil mereka tentang sebuah baso aci, hingga rahasia besar menyontek untuk ujian berikutnya.
Sesendok demi sesendok soto masuk ke dalam sistem pencernaannya. Tanpa terasa mangkuk soto yang tadinya penuh, kini kosong melompong. Lana tetap asik duduk di sana dengan senyum-senyum aneh. Pantas saja bangku di sekitar Lana sepi. Atau mungkin, mereka takut tertular oleh virus tak teridentifikasi milik Lana.
Di saat Lana masih asik mengenang perempuan di halte kemarin. Sebuah tepukan pelan pada bahu kiri membuat dirinya terjengkang hampir jatuh dari kursi. Orang yang menepuk bahunya mencoba menahan tawa. Setelah beberapa saat proses menyadarkan diri. Lana kembali ke posisi semula.
"Sendiri?"
Gadis itu duduk di depan Lana. Rambut panjangnya yang terurai beterbangan dibawa belaian sang angin.
"Sama kamu." Lana membalasnya cuek.
"Gue peringatin satu hal ya. Hati-hati, kemarin itu hanya permulaan."
Kalimat serius gadis itu segera masuk ke dalam benak Lana. Kaget tentu saja ekspresi Lana saat mendengarkan dengan baik. Pasalnya dia tidak menceritakan hal apapun mengenai insiden Icus selain kepada Pak Brata.
"Maksudmu?"
"Ada yang gak suka sama kelas lo. Dan mereka mencoba buat bikin kelas lo mundur dari festival olahraga."
Padat, singkat, jelas. Gadis itu pun pergi membiarkan Lana berangan-angan di bangku pojok kantin.
Lana kembali mengingat. Hal apa yang membuat kelasnya sampai tidak disukai oleh kelas lain. Namun tak ada kejelekan yang terlintas. Hanya ada satu, jika benar seperti yang ia duga. Kenyataan bahwa kelas 2-8 memenangkan festival olahraga tahun lalu. Tapi baginya, itu hanya penghargaan sepele. Apa bisa dijadikan motif balas dendam?
Kemenangan kelas 2-8 pada festival olahraga tahun lalu, hanyalah segelintir penghargaan yang dia anggap bonus semata. Saat itu setiap babak pertandingan didominasi oleh pasangan Hendra-Bryan-Suci. Mereka bertiga mampu menyingkirkan lawan-lawannya dengan mudah. Memang talenta paling jelas dan besar menurut Lana di kelasnya adalah milik mereka bertiga. Sebagai seorang scout, tentu saja penilaian Lana tak akan salah.
Dari pertandingan lari estafet tiga kaki, scavenger hunt, knight and horse, kegigihan kelas 2-8 berada dalam puncak tertinggi. Selain mereka bertiga, masih ada Ovin--sang kuda hitam. Kemampuan atletiknya tak bisa dianggap remeh. Sampai sekarang, Lana belum bisa mendekati pencapaian Ovin.
Bel tanda kelas siang berdentang lima kali. Lana bergegas merapikan meja dan membawa nampan kotornya ke tempat yang telah disediakan.
Langkahnya sedikit cepat menuju ruang ganti di gedung B. Tanpa membuang waktu, setelah mencapai loker. Segera ia tanggalkan seragam formalnya dengan baju olahraga. Ruangan itu sepi, tidak seperti biasanya. Hanya ada Lana di sana. Tanpa pikir panjang, Lana segera berlari menuju lapangan basket.
Begitu sampai di koridor selatan lapangan yang cukup sepi. Ketika Lana hendak berbelok memasuki gym. Pukulan dari bat baseball tepat mengarah ke kepalanya. Lana yang terkejut tak sempat menghindar dan harus menerima pukulan itu dengan nikmat. Lana jatuh terjengkal ke belakang. Pikirannya melayang jauh, matanya mengabur. Dan sebuah pukulan keras kembali menghempas kepalanya hingga Lana tak sadarkan diri.
Pemuda itu segera mengikat tangan dan kaki Lana. Rupanya dia sudah menunggu saat-saat tersebut. Setelah mendapatkan info rute yang selalu dilewati Lana dan tentu saja bebas dari kamera pengawas. Dengan senyuman lebar dan sedikit waspada. Dia memanggil temannya yang berkacamata untuk ikut menyekap Lana di gudang tak terpakai, tempat kelompok mereka mengadakan rapat.
Dengan langkah yang berhati-hati. Mereka sampai pada ruangan gelap tersebut. Menurunkan Lana dan memposisikannya duduk terikat pada sebuah kursi. Tak hanya Lana, di ruangan itu juga ada Bryan yang terus meronta kasar. Namun sayang, mulutnya yang tersumpal kain tak akan bisa menyampaikan teriakannya.
Melihat teman satu kelasnya terkapar. Jelas Bryan semakin meronta dengan keras. Mata tajamnya melotot, dan hanya dibalas suara tertawa dari dua orang tadi. Tanpa welas asih, mereka berdua menutup pintu gudang rapat-rapat. Meninggalkan Bryan dan Lana terjebak dalam ruangan senyap tersebut.