Detik jam terus berlalu. Putarannya yang lambat membuat suasana di dalam gudang itu menjadi kalut. Kedua orang yang masih terikat di sana tak mengucapkan sepatah kata. Hanya suara jarum jam yang terdengar.
Bryan terus menggerutu dalam hati. Dia tak bisa berpikir. Rencana yang dia buat akan terendus oleh kepala sekolah. Keringatnya mengucur deras. Tak henti-hentinya dia menelan ludah demi menenangkan diri.
Sudah menjadi faktor penting baginya semenjak memasuki kelas 8. Bryan paham eksistensi kelas tersebut diperuntukkan bagi mereka yang memiliki bakat paling tinggi di antara semua murid. Bryan yang awalnya termasuk dalam anggota kelas 1-1, harus berjuang lebih keras dari murid yang lain.
Tiga bulan setelah pengumuman. Usaha keras Bryan tak mengkhianati dirinya. Bryan mendapat kunci emas untuk memasuki kelas 1-8. Dia sempat menertawakan temannya yang tidak lolos.
Begitu Bryan membuka pintu. Bryan terkejut dengan aura kompetisi yang begitu kuat terpancar dari kelima murid pertama. Tatapan mereka layaknya pedang tajam yang menyayat kulit semangat tiap penghuni baru kelas 1-8. Terutama Bryan yang mendapat tekanan paling besar.
Empat dari lima orang itu memancarkan aura intimidasi paling kuat. Tiap kegiatan belajar dimulai. Atmosfer kelas itu benar-benar menyesakkan dada. Siapa yang lemah, dia yang akan tersingkir. Namun anehnya hanya ada satu murid yang duduk tenang. Dia bahkan tak memerhatikan pelajaran yang diberikan. Kerjaannya hanya tidur, menguap, sesekali mendapat gebukan buku dari gadis berkacamata tebal. Dan yang paling aneh adalah anak itu selalu mendapat nilai tinggi tiap ujian berakhir.
Bryan memegangi kepalanya, pusing. Saat wali kelas mereka, Bu Rinjani membentuk struktur kelas. Si anak aneh itu menunjuk Bryan menjadi ketua kelas. Tiap pasang mata segera menatap Bryan. Tatapan itu berupa menertawakan, ancaman, bahkan aura membunuh di dalamnya. Sejak saat itu Bryan terpaksa menjadi ketua kelas 8. Sejak itu pula Bryan mulai membenci kelasnya sendiri.
Lamunannya terbuyarkan kala Lana berdiri di hadapannya. Tangannya menepuk kepala Bryan ringan. Terukir senyuman yang membuat Bryan teringat hari-hari pertamanya di kelas 8.
"Kau tau? Aku sudah tahu orang di balik kejadian ini."
Lana melangkah menaiki kursi dan menuju ke atas meja. Lana berdiri seraya berkacak pinggang. Dia berjongkok menghadap Bryan.
"Orang itu adalah kau, kan?"
"Apa maksudmu? Aku gak ngerti," elak Bryan.
Lana kembali tersenyum. Telunjuknya ia taruh di dahi. Dengan sedikit tekanan, dia mencoba memikirkan sesuatu.
"Tidak banyak yang tahu bahwa Icus memiliki alergi. Kami berlima yang memang penghuni awal kelas 8 telah sepakat untuk mengatakan kelemahan masing-masing. Semua demi sportifitas, jadi kami tidak akan menyerang titik lemah seseorang."
Lana berhenti bicara. Dia memperbaiki posisi jongkoknya yang terlihat melelahkan.
"Terus, kenapa ada orang di luar kelas 8 yang tahu alerginya Icus? Karena di kelas kita ada yang berkhianat," tukas Lana.
"Dan kau menuduhku, Lan?" tanya Bryan tidak terima.