“And I’m gon’ always be the best thing you never had. I bet it sucks to be you right now”
—Beyonce, Best Thing I Never Had
“Sa ... m ... ma ... r, samar?” Entah sudah berapa lama aku duduk di lantai, mencoba mengeja dua kata yang Ibu tuliskan di buku tulis bersampul kuning ini.
“Guang An, Sayang, bacanya sawah ..., s-a-w-a-h,” kata Ibu sambil menunjuk tiap huruf yang dia tuliskan.
“Hmmh.” Aku tak sanggup berbuat bahkan berkata apa-apa, kecuali tersenyum kepada Ibu.
Aku sempat melirik ke luar jendela kamarku. Ah, langit sore ini sangat cerah. Pasti anak-anak seusiaku asyik berjalan-jalan dengan teman atau pacarnya. Dari sekian banyak cewek remaja di sekitar Yogyakarta, jangan-jangan hanya aku yang masih sibuk belajar membaca? Entahlah. Terkadang aku capek, setiap hari harus belajar membaca kata-kata yang mungkin terlalu mudah bagi banyak orang, tetapi bagiku sulit banget.
“An, kamu capek ya, tiap hari belajar membaca kayak gini?” Tiba-tiba Ibu berkata begitu sambil menatapku dengan serius. Wajahnya terlihat sayu. Dan, wajah itulah yang sering membuatku enggak ingin mengeluh di depannya.
“Enggak capek, dong. Kan, ditemenin Ibu.” Aku segera memeluknya dengan erat, berharap wajahnya yang sayu berganti dengan keceriaan.
“Jangan capek untuk belajar, ya. Nyatanya kamu selalu mendapat nilai sepuluh teratas kan setiap pembagian rapor? Berarti kamu bisa lebih dari itu kalau terus belajar membaca.” Ibu tak henti mengusap rambutku.
“Bu,” panggilku, lirih.
Ibu hanya tersenyum tanpa mengucap apa pun. “Aku pengin terapi lagi deh kayak waktu SD dulu,” lanjutku. Kemudian, kuembuskan napas panjang.
“Kamu bosen belajar sama ibu?” tanya Ibu sambil mengangkat bahu kirinya.
“Enggak gitu ....” Kulepaskan tubuhku dari dekapan Ibu. “Ibu pasti capek ngajarin aku setiap hari. Jadi, mendingan aku terapi lagi. Biar enggak ngerepotin Ibu.” Aku menunduk dan berbicara sangat pelan.
“Ibu seneng, kok.” Wanita di hadapanku itu menggenggam kedua tanganku dan matanya tak lepas dari pandanganku. “Mungkin ibu enggak sepintar terapis. Tapi, mereka enggak punya cinta sebesar cinta ibu ke kamu, Sayang.” Ibu tersenyum dan memegang kedua pipiku.
“Ibu, makasih udah menghibur aku. Tapi, aku enggak akan bisa lupa kalau keberhasilanku berkat Ibu. Coba kalau Ibu enggak mau membacakan materi pelajaranku saat belajar dan mengerjakan tugas, mungkin aku enggak bisa kayak gitu.” Aku sangat suka menatap wanita cantik yang duduk di sebelahku ini.
“Sudah menjadi kewajiban ibu membantu kamu, Sayang. Bagaimanapun caranya, yang penting kamu bisa paham materi pelajarannya.” Suara lembut Ibu terdengar jelas di telingaku.
Disleksia. Tidak ada seorang pun yang ingin mengalami hal tersebut. Jangan pernah tanyakan bagaimana rasanya mengalami kesulitan membaca padahal sudah berusia hampir lima belas tahun. Tak peduli seterang apa pun sinar matahari, rasanya hidupku tetap gelap. Aku tidak dapat menikmati hal yang kata orang-orang merupakan candu. Membaca.
Ibu percaya bahwa aku tak akan begitu saja menjadi orang yang tertinggal dari anak-anak lain seusiaku. Saat teman-temanku sibuk membaca materi pelajaran ketika hendak mengerjakan tugas, aku harus mendengarkan Ibu membacakan materi pelajaran terlebih dulu agar aku paham dan dapat mengerjakan tugas.
Metode pembelajaran yang dipakai Ibu terbukti membantuku memahami pelajaran. Ibu pernah bilang, sulit membaca bukan berarti tak dapat belajar. Ada banyak cara agar aku dapat belajar dengan baik, salah satunya mendengarkan Ibu membacakan materi pelajaran, dan mencoba memahaminya. Hasilnya, aku di terima di salah satu SMA negeri favorit di Jogja. Sekali lagi, ini berkat Ibu.
Namun, tetap saja aku juga pengin merasakan asyiknya membaca sendiri.
“Kriiing …, kriiing …,” telepon rumah berdering.
Dering telepon tersebut mengagetkan aku dan ibu. Otomatis, aku berhenti belajar karena Ibu segera berdiri dan mengangkat telepon.
“Halo,” kata itu yang terucap pertama saat Ibu mengangkat telepon.
“Tressa?” Ibu melirikku. Ah, telepon untukku. Aku segera menghampiri Ibu.
“Dari Gita,” lanjutnya sambil memberikan gagang telepon kepadaku.
“Yes. Tressa Setyawan di sini.” Kusebutkan nama lengkapku.
Ya, aku memang memiliki dua nama. Guang An adalah nama keluarga, sedangkan nama yang tertera di akta kelahiranku adalah Tressa Setyawan. Ini karena anjuran zaman Orde Baru untuk mengambil sebuah nama Indonesia secara resmi.
“Tress, besok bawain kuasmu yang warnanya cream itu, dong. Yang medium. Mau pinjem.” Suaranya terdengar begitu jelas dari telepon.
“Kok, tumben? Stok kuasnya abis, Jeng?” ledekku.
“Ih, kuas aku yang medium dipatahin adek. Bete, deh,” jawab Gita dengan ketus.
“Ha, sabar ... iya, besok aku bawain,” kataku sambil iseng memelintir kabel telepon.
“Thanks. Kamu baik, deh. Bye, Tress.” Klik. Gita menutup teleponnya.
“Kenapa si Gita?” tanya Ibu saat aku menghampirinya yang asyik duduk di sofa.
“Minjem kuas. Kuasnya patah,” jawabku.
“Oalah ..., eh, An, temenin ibu masak yuk, bikin macaroni schotel,” kata Ibu, mencoba membuatku kembali ceria.
“Tapi, Bu, aku pengin belajar bikin kue bulan, deh. Selama ini kan kita cuma makan. Aku lahir di bulan perayaan festival kue bulan, tapi aku enggak bisa bikin kue bulan. Sedih amat,” kataku memelas.
“Kapan-kapan ya, Sayang. Itu bikinnya enggak sebentar. Ibu juga enggak punya bahan-bahannya. Sekarang kita bikin macaroni dulu aja, ya ....” Ibu merayuku.
“Kita bikin kue bulan waktu aku ulang tahun aja, Bu. Mau enggak?” Aku tetap ngotot.
“Iya ....” Ibu mengusap kepalaku.
***
“Ah, iya lupa. Tolong ambilin keju cheddar di kulkas, An. Ibu mau numis bawang sama daging dulu,” ujar Ibu, mengagetkanku dari keasyikan melihat Ibu mengolah macaroni tersebut.
Aku paling senang menemani Ibu memasak. Segera saja aku berlalu menuju kulkas. Kulkas di dapur sudah seperti lemari yang berisi harta karun. Mulai dari bahan makanan hingga makanan ringan ada di dalamnya. Aku langsung membuka kulkas dan berharap menemukan sebongkah keju cheddar yang akan membuat macaroni schotel lebih istimewa. Namun, kenyataannya aku semakin kesal. Siaaal! Kenapa ada tiga kotak keju dan warna bungkusnya biru semua? Gimana caranya aku bisa tahu mana yang keju cheddar coba?
“Bu, ini keju cheddar-nya yang mana? Warna bungkusnya biru semua, dan semuanya udah dibuka.” Suaraku kedengaran memelas.
Ibu langsung mematikan kompor dan menghampiriku.
“Kamu bingung, ya? Biar ibu aja yang nyiapin keju dan masak ya, Sayang. Kamu nonton TV aja, gih. Daripada nanti kamu pusing.” Ibu terlihat agak panik dan mencium keningku.
“Bu, bisa enggak sih disleksia disembuhin?” Aku memandangi Ibu.
“Kok, kamu nanya gitu?” Ibu langsung memelukku, erat.
“An capek, Bu.” Suaraku mulai berat. “An pengin bantuin Ibu masak, tapi malah ngerepotin Ibu gara-gara An susah membaca.” Pipiku terasa hangat. Air mata ini sudah terlalu sulit kutahan.
“Sayang ....” Pelukan itu makin erat kurasakan. Bahkan belaian lembut juga kurasakan di rambut keritingku.
“Ayah enggak sayang sama An juga karena disleksia. Jadi, An mesti sembuh dulu biar Ayah sayang sama An.” Aku makin terisak. Perasaan ini tidak dapat kutahan lagi. Aku muak dengan disleksia. Hal itu hanya membuatku kesusahan melakukan apa pun.
“Ayah sayang kok sama An ....” Ibu melepaskan pelukannya, lalu menyingkap rambutku ke belakang. “Udah, jangan nangis. Kita lanjutin masak, yuk.”
Meskipun masih sedih, tetapi aku enggak bisa menolak ajakan Ibu. Akhirnya aku membantu Ibu melanjutkan masak. Aku menuangkan macaroni yang sudah direbus ke campuran telur, susu, bawang bombay, dan daging cincang—sesuai arahan Ibu.
“Tuang ke sini, Sayang. Terus dikasih parutan keju di atasnya, ya.” Ibu menyerahkan loyang yang lumayan besar.
Aroma macaroni menggelitik perutku. Wangi bawang bombay dan dagingnya begitu kuat. Pasti rasanya enak banget.
“Bu, dulu waktu hamil aku, Ibu ngidam apa?” tanyaku memecah kesunyian di antara aroma adonan macaroni schotel.
“Ngidam apa, ya? Hmm ....” Ibu menanggapi sambil menuangkan adonan ke loyang.
“Ih, masa Ibu lupa? Teganya.” Aku mulai cemberut, sambil memarut keju di atas adonan yang telah Ibu tuangkan ke loyang.
“Dulu, mendiang kakekmu sudah memperkirakan kalau kamu akan lahir dekat-dekat perayaan festival kue bulan. Waktu hamil muda, ibu cuma ngidam mangga muda. Sama seperti ibu-ibu hamil kebanyakan,” kata Ibu sambil melepaskan sarung tangan yang digunakannya untuk memasukkan loyang ke pemanggang. “Tapi, waktu hamil tua, ibu udah rewel aja minta dibeliin kue bulan sama Ayah. Sehari bisa makan satu kue bulan yang besar. Yang biasa dipotong jadi delapan itu.” Wajah wanita cantik yang telah melahirkanku ini terlihat begitu bahagia saat bercerita.
“Waktu kamu lahir, kakekmu yakin banget kalau cucunya akan jadi pemersatu keluarga, akan membuat keluarga kita jadi makin harmonis, dan akan bawa berkah untuk keluarga karena lahir waktu perayaan festival kue bulan. Ayah juga bahagia sekali,” katanya sambil mengusap pipiku.
“Tapi, nyatanya ...?” Aku mulai cemberut.
“Nyatanya memang kamu membuat kami bahagia, Sayang.” Belum selesai aku berbicara, Ibu mengecup keningku.
Aku tersenyum miris. Bagaimana bisa aku membuat keluarga ini bahagia sementara Ayah malah membenciku karena disleksia?
Ternyata harapan Kakek tidak terwujud. Dan, hal itu membuatku sedih.
Beruntung macaroni segera matang. Jadi, aku bisa kembali ceria. Setidaknya, berusaha untuk ceria.
Kreek ....
Terdengar suara pintu terbuka saat aku dan Ibu sedang membersihkan peralatan masak. Pasti Ayah sudah pulang. Benar saja. Enggak lama kemudian, sosok tersebut muncul di dapur.