Bagas meninggalkan rumah sakit tepat pukul delapan kurang tiga puluh menit. Saat sedang berada di dalam mobilnya di parkiran Rumah Sakit, ia mengambil secarik foto dari dompetnya. Ia lalu memandangi foto tersebut. Sebuah kenangan bersama sang Ayah ketika ia masih kanak-kanak. Dengan mata yang masih berkaca-kaca, ia mengendarai sedannya meninggalkan Rumah Sakit. Sekitar setengah jam kemudian, ia berhenti di sebuah rumah besar dengan pohon besar di sampingnya. Bagas yang masih berada di dalam mobilnya melihat ke arah plang besar di depan rumah tersebut yang bertuliskan 'Panti Jompo Tresna Mulya'. Perlu diakui, walaupun memiliki gaya bangunan tua khas bekas peninggalan Belanda, Panti tersebut terlihat sangat bersih dan terawat. Saat sedang melihat plang itu, ia teringat dengan peristiwa yang membawanya ke Panti Jompo tersebut. Hari itu, Bagas baru saja sampai di Rumah Sakit untuk menjenguk Ayahnya. Ketika ia ingin masuk ke dalam lift, ia bertemu seorang wanita berusia kira-kira empat puluh tahun sedang menggunakan lift tersebut.
"Lantai berapa, Mbak?" tanya Bagas yang berada di dekat tombol lift.
"Lantai lima ya, Mas," jawab wanita tersebut.
Bagas memencet tombol lantai 5. Kebetulan, ruangan Ayah Bagas berada di lantai yang sama. Lift tersebut pun mulai bergerak naik.
"Siapa yang sakit, Mas?" tanya wanita memecah keheningan.
"Ayah saya, Mbak."
"Oh, sudah lama dirawat di sini?"
"Lumayan …" jawab Bagas singkat.
"Kalau ruangan 504 di mana ya?" tanya wanita tersebut.
"Itu ruangan ayah saya, Mbak" sahut Bagas.
"Oh … bareng ya kalau begitu."
Pintu lift pun terbuka. Mereka telah sampai di lantai 5.
"Ayo mbak, ikuti saya," ajak Bagas.
Bagas berjalan menuju ruangan nomor 504. Wanita tersebut mengikutinya dari belakang. Saat wanita tersebut hendak berterimakasih kepada Bagas, sambil tersengut-sengut Ibu Bagas menghampiri anaknya dan memeluknya. Bagas yang terkejut melihat Ibunya menangis bertanya-tanya tentang apa yang terjadi. Melihat itu, wanita tadi lanjut berjalan menuju ranjang Yanuar yang berada di dekat jendela.
Malam hari pun tiba. Wanita yang mengantarkan Yanuar sudah pulang. Bagas malam ini menemani Ayahnya menggantikan Ibunya. Sedangkan Yanuar duduk di ranjangnya sambil menonton televisi yang berada di dekat jendela. Yanuar masih terjaga. Walaupun sedang dirawat, ia masih saja memiliki kesulitan untuk tidur. 30 menit telah berlalu, jarum jam menunjukkan tepat pukul sembilan malam. Saat sedang fokus menonton saluran berita, perhatian Yanuar teralihkan oleh derit besi ranjang yang berada di sampingnya. Ranjang kosong tersebut terdengar seperti ada seorang telah menaikinya. Ia tidak bisa melihat sesuatu di baliknya karena gorden yang menutupinya. Ia menghiraukan suara tersebut dan kembali menatap layar televisi. Tak lama kemudian, perhatian Yanuar kembali teralihkan. Kali ini suara orang menangis yang samar-samar terdengar dari balik gorden benar-benar membuatnya penasaran. Ia lalu mengambil remote TV yang kebetulan diletakkan di dekatnya. Ia menggonta-ganti saluran televisi secara terus menerus tanpa henti. Setelah beberapa saat melakukannya, suara ranjang disebelahnya kembali terdengar. Suara langkah kaki yang berjalan perlahan terdengar dari balik gorden. Orang tersebut pun mematikan televisi, yang ternyata adalah Bagas.
"Hey … " sapa Yanuar.
"EH! maaf, Pak. Saya nggak tahu kalau masih ada yang nonton," terang Bagas.
Yanuar tersenyum. "Saya sengaja gonta-ganti salurannya supaya tahu siapa yang duduk di ranjang sebelah saya," papar Yanuar.
"Oh … barusan saya yang duduk di situ, Pak."
"Berarti kamu juga yang menangis?"
Bagas tertunduk malu. "Bapak dengar juga?" tanyanya.
"Apa gerangan yang membuat pria muda seperti kamu menangis?"
Bagas terdiam.
"Boleh saya minta tolong?" pinta Yanuar.
"Boleh, Pak. Apa yang bisa saya bantu?" tanya Bagas.
"Boleh antar saya ke kamar mandi? sebagai gantinya saya akan dengarkan masalah kamu."
"Dengan senang hati. Tapi kursi rodanya di mana ya, Pak?
"Kalau cuma ke kamar mandi saya bisa jalan, kok."
Bagas langsung bergegas membantu Yanuar untuk berjalan ke kamar mandi. Dengan sangat hati-hati ia menuntun pria tua tersebut berjalan untuk buang air kecil. Setelah selesai, Bagas yang menunggu di luar kamar mandi kembali membantunya untuk kembali ke ranjangnya.
"Huh, akhirnya," ujar Yanuar lega. "Terimakasih."
"Sama-sama, Pak–" Bagas melihat nama pasien yang berada di ujung ranjang Yanuar. "–Steve."
Yanuar mengernyitkan dahinya. "Steve? nama saya bukan Steve," terangnya.
"T–tapi, di sini …"
Yanuar tersenyum lebar. "Mungkin mereka belum mengganti nama pasien yang sebelumnya." Ia menjulurkan tangannya. "Nama saya Yanuar."
"Saya Bagas, Pak," balasnya sambil menjabat tangan Yanuar.
"Silakan duduk." Yanuar menunjuk ke arah bangku di samping ranjangnya.
"Pak Yanuar nggak perlu dengerin cerita saya kok, saya tadi ikhlas membantu," kata Bagas, "Bapak kan butuh istirahat."
"Sudah dua hari ini saya nggak bisa tidur," ujar Yanuar, "mungkin karena saya nggak betah di Rumah Sakit. Kamu cerita saja, anggap saja saya sedang kamu Nina Bobokan."
"B–baik, Pak." Bagas duduk di samping Yanuar.
Dengan bibir yang bergetar, ia mulai menceritakan semua masalahnya.
"Jadi sebelum Pak Yanuar dirawat di sini, Ayah saya sudah terbaring lemah selama kurang lebih dua bulan. Setahun yang lalu, setelah pulang olahraga, tiba-tiba Ayah saya pingsan karena kesulitan bernafas. Lalu setelah kami bawa ke Rumah Sakit, Dokter saat itu bilang Ayah saya terkena Efisema, bagian dari chronic obstructive pulmonary disease, atau–"
"Penyakit paru obstruktif kronik," potong Yanuar.
Bagas terkejut mendengarnya.
Yanuar tersenyum samar. "Saya bukan Dokter, tapi saya mengerti Bahasa Inggris," sambung Yanuar. "Ternyata berat ya masalahmu, tadi saya kira cuma masalah percintaan anak muda." Yanuar pun mulai serius mendengarkan cerita Bagas.
"Tadi sore Ibu saya menangis. Katanya setelah menjalani tes Spirometri, Ayah saya divonis telah sampai di stage tiga, stage terakhir sebelum end-stage."
"Kami sudah melakukan segala cara untuk mencegah penyakitnya menjadi lebih parah, namun semuanya terasa sia-sia. Kondisi Ayah saya makin memburuk. Kerusakan paru-paru Ayah saya sudah begitu parah. Dokter bilang, cepat atau lambat, mau atau tidak mau, harus untuk dilakukan transplantasi."
"Lalu?" tanya Yanuar.