Bagas berjalan ke arah Panti, melewati taman yang rumputnya sudah memanjang. Derit kayu terdengar ketika ia menaiki anak tangga yang berada di depan pintu. Rintik hujan tiba-tiba turun saat ia mencoba untuk membunyikan bel rumah. Namun entah karena apa, bel tersebut tidak berbunyi. Mungkin sudah rusak, pikirnya. Ia lalu mengetuk pintu rumah. Setelah tiga kali melakukannya, tidak kunjung ada yang membukakan pintunya. Bagas kemudian membalikkan badannya dan berlari ke arah mobilnya selagi hujan belum begitu deras. Ia berpikir mungkin mereka tidak lagi menerima tamu karena sekarang sudah larut malam, waktunya tidur bagi para manula. Sesampainya di dalam mobil, Bagas langsung menyalakan mesin mobilnya. Ketika ia sedang memasang sabuk pengaman, seorang wanita keluar dari panti jompo mengenakan jaket berwarna merah. Wanita tersebut melihat Bagas di dalam mobilnya lalu melambai kearahnya. Bagas pun kembali ke teras Panti.
"Mas tadi yang ketuk pintu, ya?" tanya wanita tersebut.
"Iya betul, barusan saya yang ketuk." Bagas menggosok-gosok rambutnya yang basah.
"M–mau saya ambilkan handuk?"
"Nggak usah, Mbak. Saya sebentar kok di sini. Perkenalkan, nama saya Bagas." Ia menjulurkan tangannya.
"Saya Fanti." Ia menjabat tangan Bagas. "Tujuan Mas Bagas ke sini apa kalau boleh tahu?"
"Saya kerabat dari Pak Yanuar, salah satu penghuni Tresna Mulya."
Fanti mengernyitkan dahinya. Ia heran sekaligus terkejut mendengar ucapan Bagas. "Pak Yanuar yang sedang dirawat di Rumah Sakit?!"
"Ya, betul …"
"M–maaf, setahu saya Pak Yan sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Kami keluarga satu-satunya yang ia miliki," kata Fanti.
Bagas terdiam sejenak setelah mendengarnya. "Mbak salah paham, saya bukan keluarganya. Beliau sudah saya anggap sebagai kerabat angkat. Saya sendiri baru mengenal Pak Yanuar selama beberapa minggu. Kebetulan, Ayah saya di rawat di satu ruangan yang sama dengan Pak Yanuar," papar Bagas.
Fanti baru mengerti apa yang terjadi. "Hmm begitu ya … lalu, apa yang bisa saya bantu?"
"Pak Yanuar meminta saya untuk mengambil suatu barang kepunyaannya."
"Kalau untuk itu Mas Bagas harus datang lagi ke sini besok pagi untuk ketemu dengan Bu Erna."
"Bu Erna?" tanya Bagas.
"Ya. Beliau orang yang bertanggung jawab di sini, dan yang paling dekat dengan Pak Yan. Kebetulan beliau sedang tidak ada di Panti."
Bagas menganggukkan kepalanya. "Baik kalau begitu, besok saya ke sini lagi." Bagas pamit setelah menyudahi percakapannya. Sebelum pulang, tidak lupa ia berterimakasih kepada Fanti.
Bagas lalu melanjutkan perjalanannya. Sesampainya di rumah, ia di sambut oleh Ovia, Istrinya. Saat sedang memarkirkan mobilnya, sang Istri terlihat sudah berdiri di depan pintu.
"Gimana, Sayang?" tanya Ovia khawatir.
Bagas mencium kening Istrinya. "Gimana apanya?" tanya Bagas.
"Ya kabar Ayah kamu," jawab Istrinya.
"Ya begitu. Kan kamu tahu sendiri."
Ovia hanya membalasnya dengan senyuman lebar. "Semangat terus ya, Suamiku."
Keduanya lalu masuk ke dalam rumah. Bagas berjalan menuju kamar mandi, sedangkan Ovia menyiapkan makan malam. Selepas itu mereka makan malam bersama.
"Aku penasaran banget deh sama Pak Yanuar ini. Coba aja Shafa ada yang jagain, pasti aku udah ke sana buat ketemu sama beliau." ujar Ovia.
"Kan aku udah pernah cerita, Sayang. Beliau itu orangnya …. Duh, gimana ya ... susah dijelasin lewat kata-kata," sahut Bagas yang sedang menikmati makan malamnya.
"Iya aku tau beliau orangnya itu seperti apa, maksud aku wajahnya, perawakannya," jelas Ovia.
"Hmm. Beliau itu posturnya tinggi. Makanya dia lebih suka kalau aku yang antar ke toilet. Karena kalau sama Suster atau pengasuhnya itu suka kuwalahan. Beliau itu nggak gendut dan nggak kurus, sedang. Orangnya juga tampan menurut aku, walaupun rambutnya sudah memutih semua. Yang paling aku perhatikan dari beliau itu, orangnya bijak dan pintar sekali, diajak ngobrol apa aja nyambung," papar Bagas.
"Tuh kan, aku makin penasaran." Ovia merengek. "Tapi aku nggak habis pikir, kenapa orang sebaik beliau bisa tinggal di Panti Jompo, ya? anak-anaknya kemana?"
"Aku nggak pernah menyinggung tentang alasan kenapa beliau tinggal di Panti. Aku selalu nunggu beliau buat cerita sendiri. Tapi aku pernah dengar dari omongan pengasuh beliau, katanya Pak Yanuar itu sudah tidak punya keluarga lagi. Satu-satunya yang mengurus beliau adalah Panti Jompo tersebut."
Mata Ovia mulai berkaca-kaca. Ia lalu tak kuasa menahan air matanya. Bagas mengambil tisu dan mengelap air mata Istrinya. Ovia kemudian memeluknya.
Sambil sesenggukan, Ovia berkata kepada Bagas. "Pasti ada sesuatu yang bisa kita lakukan untuknya! mungkin cari keluarganya, atau sekadar mengabulkan permintaan terakhirnya."
Bagas terdiam sejenak. "Pak Yanuar pernah cerita kalau dia sudah lama tidak merasa bahagia." Bagas melepaskan pelukannya. Ia mendekatkan wajahnya dan menatap mata Ovia. "Maka dari itu, aku berjanji akan memastikan beliau bahagia sebelum meninggalkan dunia ini." Ovia begitu lega setelah mendengar jawaban suaminya.
Setelah itu tidak banyak percakapan yang terjadi di antara mereka. Yang terdengar hanyalah suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Setelah selesai makan, Ovia mengambil piring kotor untuk dicuci. Saat hendak melakukannya, tiba-tiba saja suara tangisan bayi terdengar dari lantai atas.