Keesokan harinya, satu persatu karyawan dipanggil ke dalam ruangan Pak Sugeng. Ivan adalah nama yang pertama kali dipanggil. Setelah sekitar 8 menit ia berada di dalam, Ivan keluar dengan wajah sumringah. Ivan yang sedang berbahagia menghampiri temannya satu persatu. Nuwar adalah yang pertama kali ia datangi.
"Selamat, Van" ucap Nuwar sambil menjabat tangan Ivan.
"Makasih bro. Lo juga semangat, ya".
Hal yang pertama terbesit di kepala Nuwar adalah parfum. Aroma parfum tersebut berasal dari pakaian yang Ivan kenakan. Nuwar ingin bertanya, namun Ivan sudah berjalan menghampiri meja rekannya yang lain. Biarlah, pikirnya. Waktunya juga kurang tepat. Beberapa saat kemudian, nama Rena dipanggil. Ia bergegas masuk ke ruangan Pak Sugeng. Sekitar 5 menit kemudian, ia keluar ruangan dengan wajah yang sedih. Ia berjalan keluar ruangan dengan kepala yang tertunduk. Joko berdiri lalu berjalan menghampirinya.
"Ren, gimana?" Joko bertanya. Rena masih menundukkan kepalanya dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.
"Ren, yang sabar ya, aku yakin kok, kalo–"
"Gue aman Joko!" Rena memotong perkataan Joko lalu tertawa karena bahagia. Kemudian, dari dalam ruangan Pak Sugeng terdengar suara seseorang memanggil nama Nuwar. Nuwar memasuki ruangan tersebut. Beberapa saat kemudian, Nuwar keluar dari ruangan. Ia disambut rasa penasaran rekan-rekannya.
"Gimana Nuwar? aman?" tanya Rena.
Tom hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum lalu berjalan menuju mejanya.
"War, ini bercanda apa beneran nih? tanya Ivan.
"Nggak, Van, beneran ini."
"Ah, masa sih?" Ivan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Nuwar. "Ini sih bercanda guys, jangan dipercaya. Coba kita liatin aja mukanya, bentar lagi pasti senyum," lanjut Ivan.
"Van, kamu kalo mau bohong belajar sama Rena dulu deh," ujar Joko. Percakapan tentang ketidakpercayaan rekan-rekannya terus berlangsung. Nuwar tidak banyak bicara, ia hanya membereskan barang-barangnya. Barangkali ia muak dengan kepalsuan rekan-rekannya. Dibalik pertanyaan-pertanyaan mereka, Nuwar percaya bahwa mereka sebenarnya tidak peduli dengan dirinya. Mereka justru senang karena bukan mereka yang diberhentikan. Kepura-puraan yang biasa dilakukan untuk menjaga citra masing-masing. Ia merapikan barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam boks kardus. Ia lalu berjalan keluar. Rekan-rekannya yang melihat hal tersebut hanya terdiam seribu bahasa.
"Eh Nuwar, beneran toh?" Joko bertanya kepada Nuwar.
"Iya Joko … beneran."
"Terus lo mau pergi gitu aja?" Nuwar sepertinya menyadari bahwa Joko merupakan satu-satunya rekan yang benar-benar sedih akan kepergiannya.
"Besok gue ke sini lagi kok, masih ada hal yang harus diurus."
Nuwar keluar memegang boks ditangannya. Ia berjalan meninggalkan rekan-rekannya. Tidak terlihat raut sedih di wajahnya, namun ia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Ia kemudian berhenti lalu membalikkan badannya. "Van, lo pake parfum apa deh?" Tanya Nuwar kepada Ivan. Ivan kebingungan dengan pertanyaan tersebut, ia menoleh ke arah rekan-rekannya.
"Duh, ini tuh hadiah dari istri gue, War. Gue lupa mereknya. Nanti deh kapan-kapan gue kasih tau, ya." Mendengar jawaban itu Nuwar hanya tersenyum. Ia lalu pergi. Joko yang berada di samping Ivan mendekatkan wajahnya ke badan Ivan untuk mencium aroma parfumnya.
Hari demi hari silih berganti, tak terasa sudah dua minggu Nuwar menganggur. Ia belum juga mendapatkan pekerjaan baru. Suatu hari, Nuwar sedang duduk di depan komputernya. Dengan kaos oblong dan celana pendek, ia duduk manis di depan layar. Selama menganggur, ia memang sering menghabiskan waktunya seharian untuk mencari lowongan pekerjaan di internet. Ia jarang keluar dari apartemennya, hanya sesekali untuk belanja kebutuhannya sehari-hari. Saat sedang sibuk dengan berselancar di internet, tiba-tiba telepon genggamnya berdering. "Ya, halo?" Kata Nuwar setelah mengangkat teleponnya. Lalu terdengar suara seseorang berbicara dibalik telepon. "Oh, oke. Eh, gue nitip makanan ya." Nuwar lalu menutup teleponnya. Tak berselang lama, pintu apartemennya diketuk. Nuwar berjalan ke arah pintu dan membukanya. Dua orang temannya telah berada di depan pintu. Salah satunya datang dengan bingkisan di tangannya berada di depannya. Mereka adalah Rendy dan Arman, teman kuliah Nuwar yang masih akrab sampai sekarang.
"Hei!" Rendy menyapa dan mengangkat bingkisan ditangannya untuk dilihat oleh Nuwar. "Gue bawain Chinese food, dan … BIR!" ujar Rendy. Keduanya lalu dipersilakan masuk. Arman lalu melihat komputer Nuwar yang masih menyala.
"Gimana, War?" tanya Arman.
"Belum dapet yang cocok. Kemarin nemu yang cocok sama gajinya, tapi jauh banget."
"Semoga cepet dapet, War, biar lo mau nongkrong lagi sama kita," gurau Arman.
"Sebenernya kalo Nuwar mau nurunin gengsinya sedikit aja pasti kita sering nongkrong, Man," sahut Rendy. Ia lalu membuka rice boxnya. Aromanya menyebar, membuat ketiganya tidak sabar ingin melahapnya. Ketiganya yang masih mengibrol lalu memakan rice boxnya selagi masih panas. Ditemani bir dingin, mereka menghabiskan makanannya dengan lahap. Setelah selesai makan, Rendy menyalakan rokoknya. Asapnya yang mengepul membuat Nuwar batuk.
"Ren, jendelanya buka dong, asapnya ngebul banget," pinta Nuwar.
"Oh iya maaf, War. Lupa gue hehe."
Sementara itu, Arman sedang sibuk dengan ponselnya. Nuwar membereskan sisa makanan mereka bertiga. Ia lalu menuju dapur untuk mencuci tangannya. "Eh, Jessica ulang tahun?" tanya Arman.
"Mana gue tau," kata Rendy, "emang lo tau dari mana?"
"Ini temen-temen bilang ke gue, katanya malam ini mau ngadain pesta kecil-kecilan di rumah Jessica."
"Jessica bukannya masih di Melbourne?" Nuwar bertanya.
"Dia lagi liburan di sini, udah lumayan lama." jawab Arman.
"Oh … baru tau gue."
"Makanya, jangan terlalu menutup diri, nggak bagus."