Di ujung pandangannya, binar dari mata itu terselip indah antara bunga-bunga putih yang cantik tertiup angin. Lengkung sabit di bawah hidungnya itu masih sama, bahkan terlihat lebih manis dari biasanya.
Hari itu, dan pemandangan yang terekam pelupuk matanya, terasa nyata yang begitu mimpi. Ya, sebab ini memang nyata dan terjadi. Bukan lagi mimpi atas doa-doa yang selalu ia panjatkan di atas sajadah tepat pukul dua malam. Bidadari itu, sudah siap menujunya.
Begitu pun dari ujung pandang manik mata seorang gadis —yang sebentar lagi tidak menjadi gadis—, telah duduk ia yang selama ini dicarinya. Ternyata, ia tidak pergi ke mana-mana. Ia menunggu untuk menyejajarkan langkah. Sama seperti janjinya yang kini berbalas.
Kedua tatap itu beradu, membuat sirna ketakutan dan kegelisahan yang selama bertahun-tahun terasa menyakitkan. Duduk berdampingan kini menjadi obat dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang benang takdir. Yang sakral.