Ketukan lembut di pintu kamar adalah alarm terampuh bagi laki-laki yang tubuhnya masih tetangkup berbalut selimut dengan logo Real Madrid kesayangannya. Pemuda itu mengucek matanya yang masih mengabur.
Seperti biasa, fokus pertamanya adalah jam dinding di atas pintu kamar, yang jarum jamnya menunjukkan pukul tiga pagi. Jika tidak segera menjawab, di pintu tidak hanya sebuah ketukan.
"Ken, bangun. Salat dulu!"
Perintah itu hanya dibalas dengan satu kata. 'Iya'. Hanya kata itu. Sebab sudah menjadi sebuah rutinitas. Bangun jam 3 pagi, salat malam yang dilanjutkan subuh, kemudian bersiap membuka bengkel bersama pamannya.
Pada kesempatan yang tidak ia ketahui akan didapatkannya kembali atau tidak, remaja laki-laki itu mengangkat kedua tangannya. Menguapkan doa agar Tuhan tidak selalu menghukumnya dengan rasa rindu yang tidak berkesudahan kepada sang Ibu. Pun rasa yang tidak pernah damai kepada sang Ayah.
"Hari ini kamu gak perlu bantu buka bengkel," ujar laki-laki setengah baya itu sembari melipat sajadahnya.
"Masih sempet, kok. Kan masuk jam 7."
"Kalau telat, nanti kamu ditandain sama senior sebagai siswa yang tidak disiplin," peringatnya.
"Senior emang nyari yang begitu, Pak. Kasian kalo gak nemu."
Laki-laki dengan sedikit uban di rambutnya itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Memang butuh sedikit tambahan tenaga untuk mendidik anak laki-laki zaman sekarang.
"Nanti naik angkot, 'kan?" Lelaki tua itu memastikan.
"Bawa si Eyang."
Seketika lelaki yang akrab disapa Pak Kun itu menghentikan aktivitasnya melipat sarung. Beralih menatap remaja laki-laki di sampingnya. Mendengar kata Eyang, iya sudah bisa membayangkan bagaimana remaja yang hendak memasuki dunia SMA itu harus bersusah payah menuntun Eyang di tengah jalan.
"Motor tua itu. Pakai saja motor paman yang satunya lagi."
"Bukan tua. Antik aja," bela remaja itu sedikit tidak santai.
'Eyang', vespa tua yang dibelinya saat SMP kelas 8 itu masih menjadi kesayangannya untuk menemani bepergian. Sebab untuk membelinya, ia harus giat membantu pamannya bekerja di bengkel dan menabung upahnya. Sementara Pak Kun, tidak bisa lagi berbuat apa-apa jika Kenan sudah menolak.
"Seragam sudah siap?"
Remaja itu hanya menunjuk celana abu panjang dan baju putih lengan pendek bertuliskan namanya di bagian kanan baju, yang tergantung dekat meja setrika. Kenan Pradinanta. Ya, begitu juga yang tercatat pada akta kelahirannya.
***
Deretan seragam putih abu berbaris memenuhi lapangan. Hening. Hanya suara seorang lelaki yang memakai jas almamater navy, sembari memegang pengeras suara sebagai satu-satunya sumber bunyi. Beberapa panitia dengan outfit sama, ikut berbaris renggang di belakangnya untuk mengawasi.
Panitia yang berbekal papan berjalan, sesekali tertunduk untuk mencatat nama siswa yang mengobrol, tertawa cekikikan, colek sana-sini, atau melapor sakit, terlepas itu benar atau hanya pura-pura.
"Yang baru datang langkahnya dipercepat! Langsung masuk barisan!"
Nada lantang itu membuat siapa pun tidak akan berani membantahnya. Begitu pun segerombolan siswa laki-laki yang hampir saja terlambat jika 10 detik berikutnya masih berada di luar gerbang sekolah.
"Kalau ada yang merasa sakit, bilang! Jangan nunggu pingsan! Ngerepotin!"
Suasana masih hening. Sampai akhirnya beberapa siswa izin memisahkan diri dari barisan. Merasa sakit, katanya.
"Sebentar lagi, pembukaan masa orientasi siswa akan segera dimulai. Seluruh peserta dimohon kondusif. Jika ad-"
Suara decit sepatu seorang siswa laki-laki membuat imbauan seketika berhenti. Semua mata hanya tertuju ke satu objek yang dengan berani berjalan dengan santai menuju barisan. Siapa lagi jika bukan Kenan. Padahal sejak awal, Pak Kun sudah mengingatkan agar tidak mengendarai vespa yang sudah setengah koma itu untuk menemaninya berangkat sekolah. Tapi begitulah Kenan dengan pilihannya. Ralat, dengan keras kepalanya.
"Yang telat, maju ke depan!"
Kenan tidak pura-pura tuli seperti yang biasa dilakukan bocah-bocah SMA pada umumnya jika melakukan kesalahan. Ia maju dengan berani menghadap senior.
"Minta maaf dan jelaskan kenapa kamu bisa terlambat!" titahnya sembari menyerahkan pengeras suara kepada Kenan.
Kenan berdeham, "Saya minta maaf karena terlambat ..." Kenan melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Tampak menghitung sesuatu.
"Satu menit dua puluh tujuh detik. Motor saya mogok karena hampir ngelindes ayam yang lagi kawin di tengah jalan. Gak tau itu maksudnya saya disuruh dokumentasiin dulu apa gimana," lanjutnya tanpa beban.
Seketika barisan siswa riuh dengan gelak tawa. Beberapa diantaranya meneriaki.
"Disuruh ikutan, njir!"
"Masuk server kita, brader!"
"Rekrut IPS!"
Lelaki dengan almamater itu tidak menunjukkan ekspresi apapun. Hanya memberitahu jika Kenan harus membantu petugas kebersihan membersihkan lapangan setelah acara berakhir sebagai hukuman.
Tentu bagi Kenan tidak masalah. Ia sudah terbiasa dengan pekerjaan seperti itu. Lain dengan gadis yang juga lebih terlambat darinya. Di seberang lapangan, ia terlihat menyeka keringat di pelipisnya berkali-kali. Sesekali ia duduk di pinggiran lapangan dan kembali memungut sampah-sampah plastik yang masih berserakan.