"Bye, Za! Besok jangan telat lagi lo!" pesan Dilla dari dalam mobil.
Benar. Pada akhirnya, Zaara ikut pulang di mobil ayah Dilla. Sopir kepercayaan ayah Zaara mengabari bahwa mobilnya masih diperbaiki di bengkel. Zaara melambaikan tangannya kepada Dilla yang menjauh ditelan jarak, begitu pun Dilla membalasnya. Gadis itu ingin segera merebahkan diri di atas kasur. Hari pertama masa orientasi terasa sangat melelahkan. Sekaligus memalukan.
Tentu saja memalukan. Gadis yang semenjak SMP selalu mendapat juara kelas dan terkenal disiplin itu bisa terlambat di hari pertama masa orientasinya. Meskipun bukan kelalaian dirinya sendiri, tapi tetap saja hal itu akan membuat dirinya mendapat citra buruk dari siswa baru lainnya maupun para kakak kelas dan guru.
Bukan hanya terlambat, tapi bisa dikatakan sangat terlambat. Ia terlambat lebih dari 30 menit. Lebih terlambat dari laki-laki pertama yang dikenalnya, yang hanya lewat satu setengah menit saja.
"Ternyata cewek juga bisa telat."
Zaara mengulang-ulang sindiran dari Kenan. Salah satu first impression yang buruk. Bagaimana jika siswa lain juga berpikir demikian? Bagaimana dengan kakak kelas? Bagaimana dengan para guru?
"Zaara pulang!" Nada Zaara terdengar tidak bersemangat.
Seorang wanita dengan apron yang membalut tubuhnya tampak sibuk menyiapkan dan menata hidangan di meja makan. Tidak menyadari anak gadisnya sudah datang.
"Bunda," panggil Zaara.
Kirana tampak terkejut. Ibu dari gadis yang tampak lelah itu menghentikan aktivitasnya. Mendekati dan menyambut putrinya dengan senyuman hangat.
"Kusut banget anak Bunda," komentarnya saat melihat Zaara terduduk lemah di kursi.
"Masa tadi Za telat, Bun," adu Zaara.
"Loh, kok bisa?"
Zaara menceritakan kejadian sial yang menimpanya hari itu. Mulai dari mesin mobil yang tiba-tiba mati. Menunggu taksi yang tidak kunjung datang. Pesan ojek online yang driver-nya malah salah bawa penumpang, yang pada akhirnya, secara perdana selama hidupnya, Zaara naik bajaj yang ternyata memiliki tarif lebih tinggi dari ojek online. Ditambah lagi tidak bisa dibayar menggunakan uang elektronik. Untungnya, ia menyiapkan uang cash beberapa lembar di resleting rahasia pada ransel kecil yang memeluk punggungnya.
Gadis itu juga menceritakan bahwa ia dimarahi oleh panitia senior di depan semua siswa baru yang memenuhi lapangan. Tidak lupa juga cerita tentang bagaimana ia mendapat hukuman dan bertemu dengan Kenan yang ternyata satu kelas dengannya.
"Dia telat karena?"
"Gak tau. Aneh banget dia orangnya, Bun," nilai Zaara tentang Kenan.
Kirana menautkan alisnya.
"Aneh?"
"Iya. Masa iya dia tiba-tiba pinjem HP cuma numpang nyetel alarm, tanpa tujuan, terus dia bilang cuma gabut. Kan kesel ya, Bun? Gak jelas banget!" cerocosnya di hadapan sang ibu.
"Gak boleh gitu. Biasanya yang kayak gitu tuh nanti jadi akrab, terus deket, terus suka, terus-"
"Pengalaman ya, Bun?" potong Zaara.
Kirana hanya tertawa. Ia tahu nada bicara anaknya saat sedang kesal atau pun malas membahas sesuatu. Tidak ingin membuat mood anak satu-satunya itu bertambah buruk, Kirana segera mengajak Zaara untuk makan bersama.
"Jangan lupa cerita juga ke Ayah," saran Kirana.
"Sure."
***
Zaara mengacak rambutnya frustasi. Sudah hampir 3 jam Zaara masih berhadapan dengan lembaran putih polos di layar monitor laptopnya.
"Masa gue dihukum lagi sih besok cuma gara-gara essai gue gak jadi!" gerutunya. "Dilla juga kebiasaan. Kalo ngingetin suka telat!"