Zaara menyusuri setiap inci lantai yang mengkilap, kemungkinan baru saja dibersihkan. Gadis itu sudah tidak ragu lagi melangkahkan kakinya, sebab ia sudah resmi menjadi salah satu siswa SMA Lentera Bangsa setelah menyelesaikan masa orientasinya seminggu yang lalu.
Salah satu sekolah bergengsi yang hanya diisi oleh siswa-siswa pilihan dengan bakat dan prestasi yang tidak main-main. Jika diketahui ada oknum siswa yang lolos ke sekolah tersebut melalui jalur 'uang', maka siswa tersebut dengan tegas akan dikeluarkan. Begitu pun aturan yang berlaku bagi para guru dan pihak-pihak lain yang terkait.
Kabar baiknya, Zaara lolos melalui jalur prestasi. Tidak sedikit pun terbesit dalam pikirannya untuk bermain licik, meskipun ia berasal dari keluarga berada. Tentu tidak instan untuk menjadi siswa yang berprestasi. Kegemaran Zaara terhadap membaca, telah membawanya sampai ke titik tersebut.
Buktinya, saat ini mata Zaara tengah liar mencari ruang perpustakaan yang tak kunjung ia temukan. Sudah setengah jam. Padahal, tugasnya sudah menanti untuk dikerjakan.
"Cari apa?"
Sebuah suara tiba-tiba sejajar dengan telinga kanan Zaara. Mau tidak mau, matanya mengarah ke sumber suara tersebut. Laki-laki dengan seragam yang sama dengannya itu melempar senyuman. Kenan.
Sebetulnya Zaara masih merasa kesal saat bertemu manusia itu atas kejadian di kantin beberapa tempo lalu. Hanya saja, ia tidak ingin berlarut dalam kekesalan yang tentu saja tidak memberikan manfaat apapun bagi dirinya. Kenan berdeham pada gadis yang tak kunjung menjawab itu. Memastikan bahwa Zaara mendengar apa yang ia tanyakan.
"Perpus," singkat Zaara.
"Mau gua anter?" tawarnya berbaik hati.
Zaara menghentikan langkahnya. "Gue bakal lebih percaya, kalo yang nganterin gue itu petugas kebersihan sekolah."
Kenan yang langkah kakinya ikut terhenti pun tertegun sejenak. Hingga akhirnya Kenan mengangguk-angguk paham.
"Oh, oke."
Tanpa menawarkan lebih lanjut, laki-laki berpostur tinggi itu memundurkan badannya selangkah, kemudian berbalik arah dan meninggalkan Zaara. Gadis itu melongo. Bisa-bisanya laki-laki itu tidak mengerti kode dari seorang perempuan seperti dirinya.
Tidak ingin ambil pusing, Zaara kembali melanjutkan langkahnya. Tersisa 30 menit lagi menuju jam pelajaran setelah istirahat. Sementara ia harus menemukan buku kumpulan puisi untuk tugas bahasanya. Lorong-lorong kelas sangat sepi, sebab semua siswa sedang merayakan makan siang di kantin pada jam istirahat.
"Cari apa, Neng?"
Seorang pria menyapa Zaara yang tampak kebingungan. Zaara sudah dapat menebak bahwa pria itu adalah salah satu petugas keamanan sekolah karena seragam yang dipakainya.
"Saya lupa ruang perpustakaan di mana, Pak."
"Ah, siswa kelas 1, ya? Bukan ke sini atuh, Neng. Ke sana harusnya," ujarnya sambil menunjuk ke arah yang berlawanan dengan ramah. "Mau saya antar?"
Seperti sebuah kebetulan, tentu Zaara mengangguk tanpa pikir panjang. Waktunya terlalu singkat untuk berkata 'tidak'. Ia harus sudah mendapatkan buku itu sebelum jam istirahat berakhir. Langkah kaki Zaara tampak sulit mengimbangi langkah petugas keamanan tersebut. Sesekali ia harus berlari kecil untuk menyusul ketertinggalannya. Nafasnya terengah saat langkah petugas itu berhenti tepat di depan sebuah pintu kaca bening yang besar.
"Ini ya, Neng. Nanti balik ke kelasnya bisa sendiri, kan? Atau perlu bapak tunggu di sini?"
"Gak usah, Pak," tolak Zaara segera. "Gak apa-apa. Nanti saya sendiri," lanjutnya sesopan mungkin.
Zaara tertawa kecil mendengar tawaran petugas yang terlalu baik itu. Tanpa berlama-lama di depan pintu, ia memasuki ruangan tersebut setelah mengucapkan terima kasih kepada petugas kemanan yang kini juga melenggang pergi. Gadis itu bergegas menghampiri rak-rak buku yang berjajar rapi. Ia menajamkan pandangannya agar segera menemukan buku yang ia cari.
Keadaan perpustakaan tidak begitu ramai. Sejak teknologi menguasai, buku-buku cetak mulai ditinggalkan. Lebih praktis dengan hadirnya smartphone dan kolom pencarian warna-warni. Tapi tidak dengan Zaara. Menurutnya, membaca buku versi cetak lebih memberikan rasa nyaman dibanding versi elektronik. Lebih otentik.
Rak demi rak buku Zaara susuri satu persatu. Sampai 15 menit berlalu, akhirnya ia menemukan apa yang ia cari. Sebuah buku antologi puisi Sapardi yang didapatkannya dari sudut rak. Ia beralih melihat benda yang melingkar di pergelangan tangannya. 10 menit lagi menuju bel masuk. Artinya, ia harus segera keluar dari ruangan tersebut.
Namun, langkah Zaara urung saat mata coklatnya menangkap sesosok manusia di ujung ruangan. Laki-laki. Ia sangat mengenalinya. Tanpa sadar, kakinya melangkah mendekati manusia yang tampak tengah fokus membaca itu.
"Kok lo gak bilang mau ke sini juga? Aturan tadi bareng aja kalo gitu!" gerutu Zaara tiba-tiba tanpa merasa berdosa.
Laki-laki itu menoleh, mengalihkan fokusnya dan menatap Zaara sekilas.
"Gua tadi nawarin, 'kan?"
"Ya tapi tadi lo gak bilang mau ke sini."
"Ya lu kan lebih percaya petugas sekolah."
Zaara ingin menyangkal, tetapi tidak bisa. Memang seperti itu yang ia katakan. Laki-laki itu kembali fokus pada bukunya. Buku sejarah. Buku yang bagi sebagian siswa adalah buku paling membosankan. Apalagi ketika mendengarkan sang guru menerangkan sejarah kerajaan yang nama-nama tokohnya sulit untuk diingat, sudah seperti sebuah dongeng pengantar tidur di kelas.
"Lo suka sejarah?" tanya Zaara sekedar basa-basi agar percakapan tidak terhenti begitu saja.
"Kelihatannya?"
"Nggak."
"Oke."
Zaara melongo. Tidak ada pembelaan apapun dari Kenan.
"Shit! Maksud gue, sejarah kan ngebosenin," komentar gadis itu asal.
"Gua juga berpikir kalo puisi itu ngebosenin," balas Kenan tanpa melihat sedikit pun ke arah Zaara.
Zaara melirik buku yang digenggamnya.
"Kata siapa?! Jangan asal judge kalo gak paham isinya," ujar Zaara terdengar ketus.
"Gua rasa, tadi juga lo ngelakuin itu."
Lagi-lagi skakmat. Zaara tidak bisa menjawab. Ia hanya memutarkan bola matanya malas. Bersikap seolah tetap santai walau sebenarnya dalam hati merasa malu sendiri.
"Pusing gue ngobrol sama lo!"
Zaara bangkit dari kursi yang semula didudukinya. Menjawab pernyataan dari laki-laki itu akan membuatnya terlihat semakin bodoh.