Lima lembar brosur dan formulir pendaftaran sudah berada dalam genggaman Zaara. Artinya, sudah lima stand ekskul Zaara kunjungi untuk menerima sosialisasi dan penjelasan lain yang membuat telinganya pengang. Kabar dari Lidya tentang adanya demo ekskul ternyata benar.
Zaara memang tertarik dengan adanya kegiatan demo ekskul yang digelar di lapangan utama itu, tetapi tidak seantusias Dilla dan Cica yang mengajaknya ke sana ke mari mengunjungi hampir setiap stand ekskul. Berbeda dengan Lidya yang sudah memantapkan pilihannya, yaitu ekskul Pecinta Alam. Jadi, Lidya tidak tertarik untuk mengikuti kemana Cica dan Dilla pergi. Mungkin, ia sudah bersantai di kelas atau jajan di kantin.
"Dill, lo mau ke stand Teater, gak? Lo kan jago bermuka dua!" ajak Cica yang kemudian tertawa.
"Sialan lo!" Dilla balas menepuk pundak Cica cukup keras.
"Gue ke kelas duluan deh, ya. Capek gue," izin Zaara yang dibalas anggukan kecewa oleh Cica dan Dilla.
"Eh Za, sama mintol bilangin Lidya, kalo dia ada di kelas dan niat ngantin, gue nitip coklat 3 batang," pesan Cica.
Permintaan itu dibalas tatapan tanya oleh Zaara dan Dilla.
"Coklat buat gue, ya Allah. Soalnya abis ini gue pasti stress nentuin mau masuk ekskul apa."
Zaara dan Dilla sontak menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir. Sementara Cica hanya menunjukkan deretan giginya, nyengir. Gadis itu menarik lengan Dilla untuk segera mendekati stand teater, sedangkan Zaara berjalan dengan arah yang berlawanan dari kedua sahabatnya. Menuju kelas.
Zaara memang belum bisa menghafal seluruh jalan menuju ruangan-ruangan di sekolah tersebut, tetapi setidaknya ia sudah mampu menghafal jalan menuju kelasnya sendiri, toilet, kantin, lapangan, aula utama, dan perpustakaan. Memang salah satu kelemahannya yang paling lemah adalah perihal menghafal jalan dan menggunakan maps.
Keadaan kelas tampak sepi saat Zaara melihat dari luar jendela sambil berjalan menuju arah pintu kelas. Artinya, Lidya pasti sudah pergi ke kantin terlebih dahulu. Baginya, kondisi sepi seperti itu bagus untuk mengistirahatkan kaki Zaara yang pegal karena terus berjalan sedari pagi. Lapangan utama memang tampak seperti pusat perbelanjaan sejak demo ekskul resmi dibuka.
Sembari memijat-mijat kecil kakinya, Zaara memandangi satu per satu brosur yang berisi informasi lengkap tentang ekskul masing-masing. Brosur ekskul Pecinta Alam ia dapatkan karena mengantar Lidya. Ekskul K-Pop Dance dan organisasi OSIS karena mengikuti langkah Dilla. Dua terakhir, ekskul Seni Vokal karena Cica sangat antusias, serta ekskul Penulisan Kreatif yang menarik perhatian Zaara.
Zaara tampak berpikir. Sesekali ia meneguk air dari botol minum yang dibawanya dari rumah. Ia pun sama seperti Cica, sukar menentukan pilihan. Sementara formulir harus sudah diisi dan dikumpulkan pada keesokan harinya. Zaara mengacak rambutnya frustrasi. Ia kesulitan menentukan.
"Lo cocok di sini."
Zaara terlonjak kaget hingga lututnya membentur meja. Suara itu terdengar sangat tiba-tiba di telinga kiri Zaara, dengan telunjuk yang menyentuh salah satu brosur. Seingatnya, tidak ada siapa pun di kelas. Tapi suara itu, sudah sangat familiar bagi gadis itu. Zaara menghembuskan nafas penuh kesabaran. Marah hanya akan membuat energinya semakin terkuras habis.
"Lo ada masalah apa sih sama gue, Ken? Ya Allah," keluh Zaara lemah sembari mengusap-usap lututnya yang memerah.
Seperti biasa, Kenan duduk di bangku Dilla tanpa meminta izin. Kaleng minuman yang digenggamnya, kini berpindah menyentuh lutut Zaara yang memerah. Terasa dingin. Sedingin keadaan yang membekukan Zaara seketika. Ia bingung harus bersikap bagaimana.
"Mendingan?"
Zaara hanya mengangguk. Mencoba untuk kembali tak mengindahkan laki-laki di sampingnya. Sementara itu, Kenan berhenti melakukan aktivitasnya dan meneguk minuman yang tinggal setengah itu sampai habis.
"Sorry," sambung Kenan. "Tapi lo emang cocok di sini."
Kenan kembali menunjuk brosur yang sama. Penulisan Kreatif.
"Kenapa?"
"Lo jago bikin puisi dan gua yakin gak cuma puisi," puji Kenan.
"Kenapa gue harus ikutan ekskul kalo udah jago?"
"Anjir, nyesel gua bilang gitu."
Tanggapan Kenan dengan nada malas bercampur sesal itu terdengar lucu di pendengaran Zaara. Ia tidak pernah mendengar bentuk sesal dari seorang Kenan sebatas ia mengenalnya. Gadis itu tidak bisa lagi menahan tawa yang sedari tadi terbungkam di balik sikap tak acuhnya.
"Bikin kesel orang itu ternyata enak juga, ya?" sindir Zaara yang masih dibarengi tawa.
"Dan bikin orang yang kesel sama gua itu akhirnya ketawa, buat gua jadi lebih lega."
Mendengar itu, Zaara menghentikan tawanya. Benar juga. Seketika ia kehilangan perannya.
"Tapi gua serius nyaranin ini," sambung Kenan kembali pada brosur yang sama.