More

Trippleju
Chapter #7

Arsip Remuk

Kenan menyandarkan punggungnya pada kursi rotan panjang. Kursi yang biasa digunakan juga oleh para pelanggan bengkel pamannya itu, untuk berbincang sambil menunggu kendaraannya selesai diperbaiki. Mata Kenan terpejam. Namun aktivitas tangan kanannya yang ia kibas-kibaskan tidak berhenti. Sesekali ia memijat kecil bahunya yang juga terasa pegal.

"Ngape lu, Ken?" tanya Abeng yang sedang memeriksa busi salah satu motor pelanggannya.

"Pegel."

Laki-laki dengan nama asli Ahmad Benjamin itu tertawa. Mata Kenan yang sebelumnya terpejam, terbuka dengan tatapan heran.

"Nah, kan! Gua bilang juga ape! Gak usah lu gegayaan ngajak cewek maen!" ledek laki-laki itu masih dengan tawanya. "Mending di bengkel, sibuk berduit!"

Kenan balas tertawa, dengan tawa yang terdengar meremehkan, yang akhirnya dibalas dengan tatapan heran oleh laki-laki yang lebih akrab disapa Abeng itu. Kenan bangkit dari duduknya, berjalan melewati Abeng sembari menepuk pundaknya pelan.

"Gak usah gegayaan sibuk di bengkel, Bang. Emang gak punya gebetan aja kan lu buat diajak main?"

Balasan Kenan itu sukses membuat Abeng membulatkan matanya. Tidak salah, memang. Tapi terasa sangat menghantam. Sementara Kenan berlalu dari pandangannya, menuju musala di seberang jalan. 

"Ni belom aje gua ledakin ban depan mukanye, nih!" gerutu lelaki yang masih sibuk mengotak-atik motor di depannya itu.

Kenan memasuki sebuah ruangan yang didapatinya masih diterangi lampu 15 Watt. Ruangan berkeramik putih bersih yang dialasi hamparan kain cukup tebal berwarna hijau. Beberapa sajadah dan mukena tersusun rapi di atas rak mini di pojok ruangan. Sekitar dua meter di depannya, mata Kenan sudah bisa menangkap sesosok laki-laki berpeci tengah duduk bersila. Punggung itu sudah sangat familiar bagi Kenan. Pak Kun.

Orang tua itu memang tidak pernah tinggal sebentar jika memasuki mushola maupun masjid. Ia senang menghabiskan waktunya untuk bercerita kepada Tuhan. Tentang hari-harinya. Memang sudah seharusnya begitu. Begitulah Kenan yang juga mengikuti pamannya. Berusaha untuk tidak melupakan siapa yang meniupkan ruh pada tubuhnya itu. Pun memang benar, sebuah keteladanan itu perlu dicontohkan. Itulah yang dilakukan Pak Kun.

"Ken," panggil Pak Kun, sesaat setelah Kenan selesai dengan ritual berdoanya.

"Tadi Bapak kamu telepon," lanjut Pak Kun kemudian.

Kenan terdiam. Tidak sedikit pun ia berniat menggerakan bibirnya, apalagi menjawab. Posisi duduknya belum berubah. Tidak seperti Pak Kun yang sudah beralih mendekati keponakannya itu dan duduk di sampingnya.

"Dia-"

"Lain kali gak perlu diangkat, Pak," potongnya.

Pak Kun tidak meneruskan bicaranya. Keadaan musala menjadi tegang sebentar. Sibuk dengan perasaan masing-masing. Pak Kun tersenyum dan menepuk pundak Kenan beberapa kali, kemudian melenggang pergi.

Lihat selengkapnya