More

Trippleju
Chapter #8

Ramalan

Zaara merapikan kamarnya sesegera mungkin. Mengingat kira-kira 15 menit mendatang sahabat-sahabatnya akan tiba di rumahnya. Siapa lagi jika bukan Cica, Dilla, dan Lidya. Untuk kunjungan pertama mereka, Zaara tidak ingin tampak sebagai seorang pemalas yang tidak pandai merapikan tempat tidurnya sendiri.

Ia pun harus bergegas mandi dengan kecepatan melebihi jarak tempuh cahaya. Sebab, setelah ia menghabiskan waktunya di rel kereta bersama Kenan dan pulang dengan Eyang yang tersendat-sendat di jalan, menyebabkan perkiraan Zaara untuk datang ke rumah tepat waktu, seketika berantakan.

Untung saja, Zaara mengiyakan untuk segera pulang saat Kenan berencana untuk mengajaknya ke tempat lain. Jika tidak, sahabat-sahabatnya sudah pasti akan meracau tidak karuan. Kemungkinan lebih parahnya adalah mereka tidak akan bersedia lagi berkunjung ke rumahnya.

Bel rumah berbunyi tepat saat Zaara keluar dari kamar mandi. Dengan masih memakai handuk, buru-buru ia menuruni anak tangga menuju pintu utama. Bel rumah terus berbunyi, seolah-olah manusia-manusia di balik pintu itu tidak sabar untuk masuk ke dalam hunian.

"Iye Dilla, bentar!" teriak Zaara yang masih jauh dari gagang pintu.

Zaara yakin seribu persen, itu kelakuan Dilla. Ia sudah biasa dan hafal dengan bunyi bel tanpa jeda seperti itu. Gadis itu membuka kunci dengan 'grasak-grusuk', sampai akhirnya manusia di balik pintu itu tampak batang hidungnya.

"ASTAGFIRULLAH!"

Melihat dan mendengar itu, sontak Zaara juga ikut berteriak dan membanting daun pintu bersamaan dengan berbalik badannya seseorang yang tengah berdiri di ambang pintu. Itu bukan Dilla. Dan hanya dalam sekejap mata, Zaara langsung bisa mengenali siapa manusia di balik pintu itu, sebab orang tersebut masih mengenakan pakaian yang sama seperti saat ia pergi dengannya.

"LO NGAPAIN BALIK LAGI?!"

Zaara berteriak kesal bercampur malu. Detak jantungnya masih kencang memompa dan terasa hampir copot saat itu juga. Wajahnya terasa memanas. Menyesali kecerobohannya.

"DOMPET LO MASIH DI SAKU JAKET GUA. GUA MAU BALIKIN!" balas suara itu setengah berteriak dari luar.

Zaara terdiam sebentar untuk berpikir. Benar. Ia baru ingat kalau di perjalanan pulang tadi, saat si Eyang berhenti berkali-kali, dengan kesal Zaara meminta Kenan untuk membelikannya satu cup coklat panas memakai uangnya guna mengisi energi. Energinya menipis, dipakai untuk berjalan, mendorong, dan sedikit menggerutu.

"KAN BESOK DI SEKOLAH JUGA BISA!"

"BESOK TANGGAL MERAH, KAMBING!"

Zaara berpikir lagi kedua kalinya, mengingat tanggal. Kemudian ia menepuk jidatnya. Benar juga. Besok adalah hari Waisak bagi yang merayakan.

"Y-YA ... YA UDAH SIH, TARO AJA DI DEPAN PINTU. NANTI GUE AMBIL!"

Tidak ada jawaban. Hanya suara deru knalpot tua yang terdengar menjauh. Zaara membuka pintunya pelan-pelan, berniat untuk mengintip keadaan. Ternyata memang sudah tidak ada siapapun. Hanya dompet berwarna pink muda yang tergeletak di lantai. Dengan sigap, Zaara mengambilnya segera. Takut jika manusia paling random itu tiba-tiba muncul kembali di hadapannya.

Selembar uang lima puluh ribuan di dalamnya tampak sedikit keluar dari celah dompet. Zaara berniat membetulkannya, hanya saja tulisan di salah satu sisi uang tersebut, membuat Zaara mengurungkan niatnya.

Lain kali kalo mau nerima tamu, yang sopan!

Baca Zaara dalam hati. Seketika pipi Zaara memerah. Ia sangat malu. Banyak sekali hal konyol yang dilakukannya seharian itu. Terutama saat bersama Kenan. Ia yakin, setelah ini Kenan akan lebih gencar menjaili juga meledeknya. Zaara masih memandangi tulisan itu. Ia tidak habis pikir dengan apa yang baru saja terjadi.

"Ya Allah gue mau pindah sekolah aja," ujarnya terdengar lemah dengan tatapan mata nanar, memandang lurus ke depan. Membayangkan bagaimana nasib sosialnya setelah ini.

"INNALILLAHI ANAK ORANG!" seru Dilla dari kejauhan sembari berlari menuju Zaara yang masih mematung di ambang pintu.

Lidya dan Cica ikut berlari mengekori Dilla.

"Istighfar lo keluar cuma handukan doang!" seru Lidya yang sama terkejut.

"Nah, coba kasih paham, Lid!"

Lidya mulai mengeluarkan sabdanya, "Kata Pak Ustadz, demi kesejahteraan ghadul bashar para lelaki penghuni komplek di sini, mohon adik-adik yang masih suci, auroranya jangan ditebar gratisan!"

Lihat selengkapnya