"Ya udah, gue duluan ya, Za!"
Zaara hanya mengangguk sembari tersenyum seramah mungkin pada Rani, teman satu ekskulnya di Penulisan Kreatif. Ya, ekskul tersebut sudah berjalan tiga minggu dan gadis itu merasa nyaman berada di dalamnya. Selain mendapatkan banyak ilmu kepenulisan dari para mentornya, ia juga dipertemukan dengan teman-teman dari kelas lain yang memiliki hobi yang sama dengannya.
Rani yang sudah lengkap dengan jas hujan yang melekat di tubuhnya, melambaikan tangan ke arah Zaara dari atas jok motor ojek online yang ditumpanginya. Zaara membalas lambaian tangan tersebut dari balik pandangannya yang samar-samar sebab terhalang rintik hujan.
Ya, entah kenapa cuaca di beberapa pekan terakhir itu sangat sulit ditebak. Zaara juga mengira sore itu tidak akan turun hujan, sebab sebelumnya matahari seolah enggan bertemu dengan kelabu langitnya. Gadis itu memilih duduk di kursi-kursi koridor yang terlanjur sepi, sebab Rani adalah orang terakhir yang bersamanya saat itu.
Bukan tidak ada tumpangan untuk pulang sebenarnya, sebab sebelumnya juga sudah banyak yang menawarinya untuk pulang bersama. Hanya saya, Zaara sangat menghindari untuk melakukan segala hal yang menurutnya akan merepotkan orang lain, termasuk mengantarnya pulang.
Zaara beralih mengeluarkan ponselnya. Ia harus segera mengabari sang sopir untuk segera menjemputnya. Satu notifikasi muncul sebagai peringatan untuk segera mengisi daya baterainya yang tersisa satu persen. Secepat mungkin Zaara mencari kontak sang sopir dan menekan ikon call sebelum akhirnya ponsel itu benar-benar mati total.
Dari seberang telepon hanya terdengar nada sambung yang tak kunjung berubah menjadi suara sang sopir. Hingga akhirnya, ponsel itu benar-benar mati kehabisan daya saat Zaara mencoba mengulang panggilan untuk ketiga kalinya. Gadis itu menggigiti kuku jari tangannya sembari berpikir tentang apa yang harus ia lakukan.
Zaara merutuki dirinya sendiri sebab tidak terpikir olehnya untuk membawa charger atau minimalnya powerbank. Gadis itu duduk tidak tenang saat ia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangannya sudah menunjukkan pukul 17.15 WIB. Terlebih ketika dari ujung penglihatannya, petugas keamanan sekolah sudah mulai memastikan tidak ada siswa yang masih berada di dalam kelas dan menutup pintu-pintu yang masih terbuka.
Zaara juga yakin bahwa petugas keamanan itu sudah melihat keberadaannya dari kejauhan. Ia juga sudah yakin, bahwa setelah ini ia akan mendapat teguran sekaligus surat peringatan karena tidak pulang tepat waktu. Sekolahnya memang menerapkan peraturan seperti itu. Telapak tangan Zaara sudah basah oleh keringat, dan dalam keadaan seperti itu matanya mulai mengabur akibat genangan air di kelopak matanya.
Petugas keamanan itu semakin mendekat ke arah Zaara, sedangkan Zaara hanya diam dan menunduk. Ia sudah pasrah. Ia siap menerima teguran dari petugas tersebut.
"Kok belum pulang, dik?"
Suara itu terdengar ramah dan lembut. Tidak seperti yang dikatakan oleh teman-temannya yang menceritakan bahwa petugas keamanan di sekolah itu sangat tegas dan tidak segan-segan melaporkan pada pihak sekolah untuk akhirnya diberikan surat peringatan. Zaara yang semula menunduk, akhirnya mendongak secara perlahan. Matanya tampak berkaca-kaca sehingga ia tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang berada di hadapannya.
Pria berseragam di depannya tentu terkejut dengan keadaan Zaara yang tampak menangis ketakutan. Lantas, pria itu duduk di sampingnya untuk mencoba menenangkannya. Sementara Zaara baru bisa mengatur rasa takutnya saat petugas keamanan itu bergegas mengambilkan air minum dan memberikannya pada Zaara.
Gadis itu baru bisa melihat jelas dengan siapa ia berbicara saat air matanya mereda. Ternyata itu Pak Sowan. Petugas keamanan sekolah yang dulu sempat mengantarkannya ke ruang perpustakaan.
"Kok belum pulang?" ulang Pak Sowan kedua kalinya.
Zaara menceritakan apa yang membuatnya masih setia duduk di ruang koridor kelas. Sementara Pak Sowan hanya mengangguk-angguk mendengarkan. Tidak ada raut kemarahan atau sejenisnya pada wajah pria itu yang membuat Zaara takut. Bahkan, Pak Sowan menawarkan pada Zaara agar menunggu di rumahnya saja supaya lebih aman. Tentu Zaara mengangguk tanpa pikir panjang. Ia tidak mungkin menolak karena hari juga sudah hampir gelap.
"Tapi motornya masih otw dibawa ke sini, abis diservis dulu," ujar Pak Sowan sambil memapah Zaara menuju pos keamanan sekolah di bawah satu payung yang sama.
Zaara hanya mengangguk. Ia tidak keberatan jika harus menunggu terlebih dahulu untuk beberapa menit. Tidak lama setelah Pak Sowan berbicara seperti itu, suara deru motor mendekat ke arah pos tempat mereka berteduh dan berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Pak Sowan bergegas untuk membukakan gerbang. Dari tempat Zaara duduk, ia dapat melihat interaksi Pak Sowan dengan seseorang berjas hujan di atas motor yang terlihat sangat akrab.
Tidak lama, motor tersebut bergerak masuk mendekati pos keamanan. Zaara memicingkan matanya saat kendaraan dan pengendaranya semakin mendekat dan memarkirkan kendaraannya di dekat pos. Sementara Pak Sowan masih menutup gerbang, pengendara itu memasuki pos dan meletakkan bingkisan hitam di atas meja. Pandangan keduanya beradu. Ekspresi Zaara tidak bisa berbohong jika saat itu memang ia sedang terkejut.
Keadaan membeku sebentar dan pecah saat Kenan tertawa renyah. Ia baru menyadari bahwa yang diceritakan oleh Pak Sowan tentang gadis yang menangis karena tidak ada yang menjemputnya pulang adalah teman sekelasnya sendiri. Sementara Zaara masih mematung di tempat. Ia tidak habis pikir, mengapa di setiap momen apesnya Kenan selalu hadir.
"Makanya, punya temen tuh yang banyak biar ada yang bawa pulang," ledek Kenan.
"Oh, kenal?" sahut Pak Sowan yang tiba-tiba ikut masuk ke dalam pos.
"Ini sih temen sekelas saya, Pak."
Pak Sowan tertawa dan geleng-geleng kepala. Sepertinya Kenan kenal dengan semua orang di sekolah ini. Seminggu yang lalu, Kenan juga mengenali beberapa orang yang juga berteduh di warung seberang jalan yang ternyata adalah teman satu komunitas vespa-nya dulu.
"Biar saya aja yang angkut deh, Pak. Bapak ngopi dulu aja tuh sama kacang rebus dari Pak Kun."
"Oh, gitu?"
Kenan mengangguk. "Saya udah tau rumahnya."
Pak Sowan tentu saja mempersilakan. Siapa juga yang akan menolak segelas kopi panas dan sewadah kacang rebus hangat di tengah hujan seperti itu. Kenan mengisyaratkan agar gadis yang sedari tadi masih bungkam itu segera mengikutinya. Zaara menuruti dan pamit kepada Pak Sowan yang sudah bersiap menyeruput kopi hitamnya.
Kenan kembali merapikan jas hujan yang dipakainya dan memberikan sebuah jas hujan yang lain pada Zaara yang didapatinya dari bagasi motor Pak Sowan. Zaara tidak segera mengenakannya setelah ia melebarkan jas hujan tersebut. Ukurannya terlalu besar dan Zaara kebingungan sendiri cara memakainya. Melihat hal itu, Kenan menggaruk dagunya yang tak gatal. Memang harus banyak bersabar berteman dengan orang kaya, pikirnya.