More

Trippleju
Chapter #10

Bertemu Bunda

Kenan menyisir rambutnya rapi dan membenarkan kerah bajunya yang agak menyamping. Ia berdiri di depan cermin yang menampilkan sesosok manusia yang tidak tampak seperti dirinya. Celana hitam dengan batik lengan panjang kini sudah membalut tubuh Kenan. Keponakan Pak Kun itu geli sendiri saat melihat penampilannya yang tampak formal dan tidak seperti biasanya, yang apabila hendak keluar untuk bermain, ia akan mengenakan kaos atau hoodie saja.

“Pokoknya, Ken, Bunda itu orangnya rapi banget. Jadi, Bunda juga seneng kalo yang bertamu ke rumah itu orangnya rapi. Kayak misalnya lo pake batik, celana panjang, rambut kelimis, wangi, pokoknya semacam gitu lah!”

Kenan kembali mengingat pesan Zaara beberapa waktu lalu saat ia memberitahu hendak berkunjung ke rumahnya. Ya, Kenan sudah mendapat izin dan waktu luang untuk bertemu ibu Zaara. Bukan untuk sekedar bertemu, tetapi hendak membicarakan sesuatu yang mungkin hanya akan dimengerti oleh naluri seorang ibu.

Pun bukan tanpa alasan mengapa akhirnya Kenan memilih ibu Zaara, sebab dari sekian banyak teman dekatnya yang masih memiliki ibu, hanya beliau yang memiliki waktu luang untuk Kenan temui. Ditambah lagi dengan Zaara yang mengaku bahwa ibunya adalah seorang Psikolog, membuat Kenan semakin yakin bahwa ia akan menjumpai orang yang tepat.

“Mau kondangan, Ken?” tanya Pak Kun saat melihat pintu kamar Kenan yang terbuka dan remaja itu masih berdiri di depan cermin.

“Mau main, Pak.”

Jawaban itu membuat Pak Kun mengernyitkan dahi.

“Biasanya juga pakai kaos.”

“Formal dikit gak ngaruh, hehe.”

Kenan menampilkan deretan giginya. Walaupun sebenarnya ia setuju dengan komentar Pak Kun, jika outfit yang dikenakannya malam itu lebih mirip untuk pergi kondangan dibandingkan pergi bermain. Tapi apa boleh buat, Kenan tidak ingin dianggap kurang sopan jika ia berkunjung menggunakan style yang biasa Kenan kenakan.

Keadaan bengkel malam itu tidak begitu ramai, sehingga Kenan dengan mudah mendapat izin dari Pak Kun. Pemuda itu lantas pamit setelah menyalami Pak Kun. Ia mengeluarkan vespa kesayangannya untuk menemani perjalanan menuju rumah Zaara. Sejenak, Kenan panaskan mesin si ‘Eyang’. Berbarengan dengan itu, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk dari Yuno.

“Ya, No?”

“Free gak lu? Ngumpul sini di rumah Roy, kita bakaran.”

“Kalo bakar rumahnya gua siap.”

“Paten kali mulut kau, Bang!” sahut suara lain di seberang telepon Yuno yang membuat Kenan tertawa.

Sorry, sorry. Tapi, gua gak bisa. Mau pergi.”

Alah, alesan! VC! VC! Gua gak percaya!” ujar Yuno yang memang terdengar tidak begitu memercayai Kenan.

Kenan menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir. Ia menjauhkan ponsel yang semula menempel di telinganya itu untuk mengubah fitur panggilan menjadi video call. Perlahan, layar pipih di hadapan Kenan menampilkan wajah Yuno yang tampak sedang bersandar di sebuah sofa, serta sosok Roy dan Ryan sebagai latar belakang yang tengah sibuk mengurus potongan sosis dan daging untuk dibakar. Sementara Kenan membenarkan posisi kameranya agar orang-orang di seberang ponselnya itu percaya terhadapnya.

Weh, beneran mau pergi lo? Rapi bener,” puji Yuno dengan nada setengah meledek.

Kondangan kau, Bang?” sambung Roy yang ikut mendekat ke arah ponsel Yuno.

“Main.”

Alamak, kau main ke siapa rapi begini, Bang?” kepo Roy.

Ryan yang semula acuh tak acuh, akhirnya ikut mendekat ke arah ponsel Yuno karena penasaran.

“Ke rumah Zaara,” jujur Kenan tanpa basa-basi.

Manusia-manusia di seberang telepon itu terkejut. Tampak dari raut wajah ketiganya yang menatap satu sama lain, kemudian disambung dengan gelak tawa bersama-sama.

Kocak kali kau, Bang!

Lu mau maen apa lamaran, njir?!” ledek Ryan yang masih diimbangi gelak tawa Yuno dan Roy.

“Mau kawin!” jawab Kenan sekenanya.

Anjayyyy!!!” sorak ketiganya dari seberang telepon.

“Ya udah, sob, lancar ye lu!” sambung Yuno.

“Aamiin.”

Yuno memutus sambungan telepon. Sementara Kenan bergegas memakai helm dan bersiap mengendarai vespa-nya. Perlahan, roda mulai berputar. Mengantarkan Kenan dalam perjalanan menemui satu per satu jawaban. Kenan berharap agar malam itu ia benar-benar bisa mengurai ketidakdamaian yang semakin kusut bersama masa lalunya.

Perjalanan malam itu terasa singkat. Padahal, niat Kenan ingin berlama-lama di perjalanan agar ia lebih siap menemui ibunda Zaara. Bukannya takut, hanya saja pesan dari gadis itu membuat Kenan berasumsi bahwa orang yang Zaara sebut sebagai ‘Bunda’ adalah sosok yang serius dan tidak banyak bercanda.

Kenan menghentikan motornya tepat di depan gerbang rumah Zaara dan mendapati seorang Satpam yang sedang berjaga di posnya.

“Assalamualaikum, Bang Jo!” sapa Kenan terdengar akrab.

Salah satu keahlian Kenan adalah mudah mengakrabi siapa saja, seperti hal-nya pada Satpam di rumah Zaara yang bernama lengkap Prasdojo Wiyatno itu. Bukan tanpa sebab, Kenan akrab dengan petugas keamanan itu karena sudah beberapa kali bertemu saat mengantarkan Zaara. Terakhir adalah ketika Zaara tidak dijemput sehabis pulang ekskul.

“Wa alaikumsalam!” sahut pria yang masih duduk di dalam pos itu. “Widih! Rapi bener!”

Kenan hanya menanggapi dengan menunjukkan deretan giginya yang sudah digosok bersih. “Pemilik rumah ada?”

“Lengkap!” laki-laki berseragam putih navy itu mengacungkan jempolnya, kemudian membukakan gerbang rumah untuk memberikan jalan masuk.

“Ngapel, nih?”

“Kayaknya sih, Bang!”

Prasdojo mengangguk-angguk, lantas mempersilakannya masuk. Kenan menganggukkan kepala tanda permisi. Ia memarkirkan kendaraannya di samping rumah, di sebuah halaman yang memang dikhususkan untuk parkir.

Kenan beralih mendekat ke arah pintu utama, lantas menekan bel beberapa kali. Ia mengeluarkan ponselnya dan memberitahu Zaara bahwa ia sudah menunggu di depan pintu. Tak lama pintu terbuka bersamaan dengan munculnya seorang perempuan memakai apron merah jambu dari balik daun pintu. Segera Kenan menganggukan kepala dengan sopan dan memberi salam.

“Permisi. Zaara-nya ada, Bi?”


 ***

Lihat selengkapnya