Beberapa panitia keamanan menyebar di area titik kumpul keberangkatan menuju lokasi perkemahan Night Intimate. Ya, seperti yang disampaikan Fathur, bahwa agenda tersebut akan mengusung tema yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Jika tahun lalu Night Intimate masih digelar di area sekolah, maka tahun itu ia mengusulkan untuk berbaur dengan alam. Itulah salah satu alasan mengapaa agenda tersebut dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut.
Redi, ketua divisi penertiban dan pengamanan pada kegiatan itu pun masih sibuk bolak-balik mengecek para staff-nya yang ia tempatkan di beberapa titik kedatangan peserta. Mountable-nya pun tidak pernah diam, selalu ada suara konfirmasi yang masuk dari para staff-nya. Beberapa panitia lain pun ikut membantu para peserta yang sudah datang untuk membuat barisan.
Di sisi lain, Cica mengeluhkan pundaknya yang terasa sakit akibat beban ransel yang terlalu berat. Padahal Cica sudah berulang kali membenarkan posisi ransel yang tertangkup di punggungnya. Ia juga beberapa kali mengambil posisi rukuk untuk meredakan rasa nyeri pada kedua bahunya.
“Ya Allah, ngaret banget sih orang Indonesia!” gerutu Cica yang setiap dua menit sekali memeriksa benda yang melingkar pada pergelangan tangannya. “Ini pundak gue kayaknya bentar lagi retak!”
“Lagian lo bawa apa sih, Ca?!” tanya Zaara setengah kesal saat melihat Cica yang tidak bisa tinggal diam.
“Zaara, tiga hari dua malem itu lama. Jelas gue bawa segala macam perabotan kamar gue, lah!”
“Ya udah kalo gitu jangan banyak ngeluh! Kan lo sendiri yang mau.”
Cica hanya memajukan bibirnya. Ia tetap melakukan hal yang sama. Rukuk, berdiri, memeriksa jam, menggerutu, dan mengulanginya. Zaara yang risih melihat Cica, lebih memilih untuk membuang wajahnya ke arah lain. Meskipun ia juga merasakan hal yang sama di pundaknya.
“Hai, ladies!”
Ryan menyapa dengan gaya khas-nya yang santai dan sok asik. Tidak sendiri, ia bersama Roy dan Royan yang tampak hanya membawa backpack di punggungnya. Berbeda dengan Zaara dan Cica yang masing-masingnya membawa satu ransel ukuran besar. Sapaan Ryan itu hanya ditanggapi senyuman yang tampak tak ikhlas oleh Zaara dan Cica.
“Mau gue bantu bawain gak?” tanya Ryan kemudian sembari menaik turunkan alisnya beberapa kali pada Cica, ketika ia melihat gadis itu berulang kali membenarkan posisi ransel yang memeluk punggungnya.
“Gak usah. Makasih,” tolak Cica saat melihat tingkah Ryan yang membuatnya mual.
Ryan hanya mengangguk-angguk kecewa saat mendapat penolakan. Sementara Roy dan Royan yang menyaksikan hal itu hanya saling menahan tawanya agar tidak mendapat jitakan dari Ryan. Pada suasana itu, Lidya dan Kenan datang bersamaan. Keduanya juga sama-sama hanya membawa backpack di punggungnya.
“Bareng pula kau sama dia, Bang?” tanya Roy sembari memicingkan matanya.
Kenan sudah tahu arah Roy ke mana. Lelaki berdarah Batak itu pasti sedang menduga-duga.
“Gua ketemu di depan. Gak usah lu ngada-ngada!”
“Lidya! Kok lo bisa sih sesimpel itu?!” protes Cica tak terima saat retina matanya menangkap backpack mini yang melekat pada tulang punggungnya.
“Bukan Lidya yang simpel, lu aja yang ribet!” sahut Kenan tanpa diminta.
“Heh! Diem lo, sapi! Nyambung aja, heran deh gue.”
“Yeu, toa!”
Royan memijit pelipisnya. Begitu pun dengan yang lainnya yang sudah mengetahui kelakuan Kenan dan Cica di kelas yang memicu perdebatan. Kedua manusia itu selalu berbeda pendapat dan beradu argumen. Itulah mengapa Kenan dan Cica tidak pernah berada dalam satu kelompok belajar yang sama, sebab pekerjaan kelompok tidak akan pernah selesai.
“Oke. Perhatian semuanya!”
Suara yang berasal dari pengeras suara yang dibawa oleh Redi sebagai ketua divisi pengamanan dan penertiban itu, membuat seluruh siswa terkomando. Suara yang semula riuh perlahan hening. Lantas, Redi mengarahkan seluruh peserta untuk berbaris sesuai kelasnya masing-masing.
“Oke, semuanya sudah datang dan artinya sebentar lagi kita akan berangkat menuju lokasi perkemahan Night Intimate. Maka dari itu, silakan segera menuju bus yang sudah ditandai sesuai dengan nama kelas kalian. Saya juga imbau untuk semuanya saling bantu satu sama lain, terutama untuk memasukkan barang bawaan ke dalam bus. Oke? Go! Go! Go!”
Redi menepukkan tangannya berkali-kali untuk memberikan semangat pada seluruh peserta. Begitu pun dengan seluruh peserta yang segera melaksanakan arahan Redi dengan antusias. Para siswa menuju bus masing-masing dan bahu membahu menata barang bawaan di bagasi bus.
Satu per satu peserta memasuki bus setelah barang-barang di bagasi tertata aman dan rapi. Setiap siswa duduk berdasarkan nomor absen. Tidak ada bus khusus panitia, sehingga Yuno bergabung bersama teman-teman sekelasnya dan duduk dengan Zaara karena nomor absen yang berdekatan.
“No, kalo udah sampe, tolong bangunin gue, ya?” pinta Zaara pada Yuno.
“Santai.”
Zaara mengangguk pelan. Ia memasang earphone di telinganya dan mulai memejamkan mata. Ia mulai merasakan kantuk pada matanya sebab membereskan barang bawaannya dari jam empat pagi. Malam harinya sengaja Zaara pakai untuk menyelesaikan pekerjaan rumahnya yang akan dikumpulkan pada hari Senin. Gadis itu hanya ingin beristirahat total setelah pulang dari agenda Night Intimate.
Roda bus mulai berputar. Perjalanan menuju lokasi akan memakan waktu sekitar empat sampai lima jam perjalanan. Seluruh peserta menikmati perjalanannya dengan bernyanyi bersama di dalam bus. Tidak seperti Lidya yang duduk bersama Kenan. Ia sama seperti Zaara yang memilih untuk menyimpan energinya dengan tidur. Sementara Cica dan Dilla ikut bernyanyi bersama dengan para siswa yang lain untuk mengusir rasa suntuk.
Setelah ikut bernyanyi dan bermain gitar untuk beberapa lagu, Kenan juga mulai merasakan energinya terkuras. Kelopak matanya pun mulai terasa berat. Kenan menyerahkan gitar yang semula ia mainkan kepada temannya yang lain, sebab ia rasa perlu tidur sebentar.
Kenan menoleh ke arah Lidya sekilas. Lelaki itu tidak habis pikir karena Lidya terlihat sangat pulas di tengah ramainya siswa lain yang sedang bernyanyi. Sementara Kenan jelas tidak akan bisa tidur di kondisi sebising itu. Kenan memutar lehernya, menoleh ke barisan kursi belakang. Tampak Yuno yang ikut bernyanyi dari tempatnya duduk.
“No!” panggil Kenan setengah berteriak.
Tangan Kenan mengisyaratkan untuk bertukar posisi duduk pada Yuno. Yuno ikut menggerakkan tangannya mengisyaratkan pertanyaan ‘kenapa?’, sedangkan Kenan hanya mengerjap-ngerjapkan matanya yang mulai tidak bisa ia kondisikan melawan kantuk.
Yuno yang paham akan hal itu pun mengangguk. Ia berjalan ke arah kursi Kenan, begitu pun Kenan yang berjalan ke arah kursi Yuno. Mereka bertukar posisi. Yuno melanjutkan aktivitasnya bernyanyi, sedangkan Kenan mendapati Zaara yang juga tampak tertidur pulas di kursinya.
Tanpa pikir panjang, Kenan pun duduk di kursi yang semula Yuno tempati. Benar dugaannya, di barisan belakang, suara siswa lain tidak begitu menghantam telinganya. Remaja itu pun akhirnya memasang headset tanpa kabel miliknya, kemudian menutup wajahnya menggunakan penutup kepala hoodie yang ia kenakan.
Perjalanan selama empat hingga lima jam itu terasa sangat panjang akibat jalur menuju lokasi perkemahan diserbu ribuan pengendara lainnya yang membludak. Siswa yang semula bernyanyi pun akhirnya mulai kehabisan energi dan satu per satu ikut beristirahat. Namun, beberapa di antaranya lebih memilih untuk bermain ponsel.
Posisi tidur Zaara pun sudah beberapa kali berubah. Terakhir, kepalanya jatuh bersandar di bahu sebelah kiri Kenan. Berbeda dengan Kenan yang masih duduk dengan posisi yang sama, menyilangkan tangannya di depan dada. Setengah perjalanan pada hari itu diisi oleh keheningan, hingga akhirnya roda bus berhenti di lokasi tujuan.