Hari pertama memang dihabiskan untuk beristirahat total. Berbeda dengan hari kedua yang diisi dengan berbagai macam outbond yang membuat hari itu penuh dengan kerjasama, kekompakan, dan kebersamaan. Tidak hanya peserta, seluruh panitia pun ikut turun meramaikan.
Outbond berakhir menjelang waktu Dzuhur. Seluruh siswa beranjak membersihkan diri setelah pakaian olahraga mereka kotor dengan tepung dan basah dengan air. Bahkan, peserta laki-laki harus siap merendam bajunya berhari-hari untuk menghilangkan noda lumpur yang mengering. Mereka yang memiliki kulit wajah sensitif juga harus bersiap dengan jerawat jika tidak segera membersihkan diri.
“Kek babi lah kau!” ledek Roy sembari tertawa pada Ryan yang wajah dan pakainnya ditutupi lapisan yang mengering berwarna cokelat.
“Monyet, lu!” balas Ryan tak terima, kemudian melayangkan jitakan pada kepala Kenan.
“Kok jadi ke gua, njir!”
“Kalo gua jitak Roy, gua gak bakal bisa main game lagi di rumahnya,” jelas Ryan yang membuat Roy menaik turunkan alisnya pada Kenan.
“Royan ke mana lah, Bang?” tanya Roy saat menyadari bahwa manusia yang memiliki nama sebelas dua belas dengan namanya itu tidak nampak batang hidungnya.
“Di tenda.”
Kenan menjelaskan bahwa Royan hanya memberikan alasan sakit pada panitia hanya agar ia tidak ikut outbond. Royan mengaku jika kulitnya akan timbul bercak-bercak merah saat berinteraksi dengan lumpur.
“Alah! Manja kali dia!” komentar Roy.
Ketiga lelaki itu terus mengobrol, hingga berakhir saat memasuki masing-masing kamar mandi yang kosong untuk membersihkan sisa-sisa keringatnya. Sementara di belahan lain, Zaara dan Cica yang sudah membersihkan diri kembali memasuki tenda. Didapatinya dua teman satu kelompoknya itu sudah Zaara dan Cica untuk makan siang bersama.
“Yura ke mana, Nad?” tanya Zaara saat ia hanya mendapati Nadya dan Mita yang duduk bersila menghadap makanan.
“Dia belum selesai bersih-bersih deh kayaknya.”
“Ya udah. Tunggu Yura dulu, ya!” saran Zaara yang diangguki ketiga kepala yang berteduh di dalam tenda itu.
Cica mengeluarkan ponselnya untuk sekadar mengecek pesan masuk. Nadya dan Mita pun demikian. Sementara Zaara beberapa kali mengecek jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya sebab Yura tak kunjung datang setelah hampir dua puluh menit. Dalam kondisi seperti itu, seseorang memasuki tenda dengan tergesa, bahkan ponsel di tangan Cica hampir terjun menuju menu makan siang mereka karena lengannya yang tersenggol.
“Eh, kenapa lo, Ra?” tanya Cica heran.
Yura tidak segera menjawab. Ia segera memasukkan bungkusan pakaian kotornya ke dalam ranselnya. Yura juga memalingkan wajahnya, tetapi Zaara bisa melihat gerak-gerik gadis itu tengah mengusap bagian bawah matanya.
“Lo kenapa, Yur?” Zaara mengulang pertanyaan Cica yang belum terjawab.
Yura kembali membalikkan wajahnya, menghadap semua mata yang ada di tenda. Ia tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya untuk memberitahukan bahwa ia baik-baik saja. Hanya saja Zaara bisa menerka bahwa temannya dari kelas X-D itu sedang tidak demikian.
‘Mata lo-“
“Gue gak apa-apa,” potong Yura sembari kembali mengucek-ngucek matanya. “Kelilipan doang. Don’t worry!”
Zaara bisa melihat bahwa temannya itu sedang berbohong. Terlihat dari gerak-geriknya yang gelisah dan tidak memandang lawan bicaranya saat berbicara. Namun, Zaara tidak memperpanjangnya. Ia yakin, semakin ia bertanya, semakin Yura akan tertekan atas kebohongan yang dilakukannya.
Akhirnya, Zaara mengalihkan topik untuk segera menyantap makanan yang tersaji di hadapannya sebelum malam inti dilaksanakan. Ya, saat langit menggelincirkan matahari sorenya menuju malam, maka saat itulah acara inti Night Intimate dilaksanakan. Cica sudah mendapat bocoran dari Dilla bahwa akan ada sesi perkenalan dan sharing antara kakak kelas dengan adik kelas. Kemudian diisi juga dengan agenda BBQ-an serta mini games.
Begitulah langit menggelincirkan matahari sore yang mengundang serangga malam untuk segera berserenada. Semua peserta diimbau untuk segera berkumpul di titik utama, yang mana sudah berkumpul juga seluruh panitia di sana. Seluruh area titik utama dihiasi lampu bernada warm yang membuat malam itu memang terasa intim dan hangat.
Redi mengarahkan seluruh peserta untuk duduk berdekatan membentuk lingkaran. Bukan berkemah namanya jika tidak ada api unggun, maka beberapa panitia pun diarahkan untuk segera membakar kayu-kayu kering yang telah dikumpulkan dan menyulutnya dengan api. Api unggun membumbung tinggi menerangi langit malam yang tampak terang dihiasi bintang.
“Yura gak ke sini?” tanya Zaara saat Nadya dan Mita lagi-lagi hanya berdua.
“Tadi sih dia izin mau ke toilet dulu,” sahut Mita yang diangguki Zaara dan Cica yang sudah duduk melingkar mengikuti arahan panitia.
“Oke, teman-teman sekalian mohon perhatiannya.” Redi kembali memimpin ketertiban seluruh peserta malam itu. “Malam ini kita akan ada beberapa agenda yang akan dipaparkan langsung oleh ketua OSIS kita.”
Redi mempersilakan Fathur untuk mengambil alih saat seluruh peserta dirasa sudah tertib. Fathur berdiri di tengah lingkaran dekat api unggun dan memaparkan apa yang selanjutnya akan dilaksanakan. Agenda yang dijelaskan oleh Fathur persis seperti yang dibocorkan oleh Dilla kepada Cica.
“Jadi, gua harap agenda kita malam ini bisa menjadikan satu sama lain memiliki rasa kekeluargaan dan solidaritas yang tinggi,” pungkas Fathur menyelesaikan sambutannya, kali itu dengan gaya bicara yang non-formal.
Agenda pertama dibuka dengan mini games untuk perkenalan dan menyebutkan fakta unik dalam diri setiap peserta. Setiap peserta pun disediakan segelas minuman soda di hadapannya dan panitia akan mulai memutarkan setangkai bunga. Pada siapapun bunga itu berada saat musik berhenti, ia harus maju ke tengah lingkaran dan memperkenalkan diri serta fakta-fakta unik dari dirinya.
Petikan gitar mulai dimainkan untuk mengiringi estafet bunga. Bunga berpindah cepat dari genggaman ke genggaman, seolah menggambarkan rasa enggan untuk maju ke tengah lingkaran. Namun ada juga sebagian peserta yang sengaja melambatkan gerakannya, mengatur strategi agar tidak mendapat giliran. Musik mendadak berhenti.
“Sialan!”
Bunga berhenti di tangan Ryan.
Seluruh peserta bersorak. Royan dan Roy yang mengapit Ryan itu memaksanya untuk segera berdiri dan mendorongnya maju ke tengah lingkaran. Suasana semakin ramai saat Ryan meminta untuk memperkenalkan diri sambil unjuk kebolehannya dalam bermain gitar dan bernyanyi. Sebagian peserta bertepuk tangan, sebagian lagi menganggap hal tersebut sesuatu yang norak dan berlebihan.
“Gua Ryan, siswa tertampan, gaya menawan, lagi nyari pasangan yang gak gengsi makan di pinggir jalan. Asik!” Ryan menyanyikan perkenalannya sendiri. “Gua Ryan, nggak baperan, tahan sogokan, tapi kalo yang nyogoknya cewek geulis pisan? Ya mana tahan! Anjay!”
Ryan memetik senar terakhir. Tepuk tangan, sorakan, dan teriakan dari para gadis, baik dari seangakatan ataupun kakak kelasnya, seakan mengobar semangat Ryan dan seluruh peserta pada malam itu. Termasuk Zaara dan Cica yang memang duduk bersebelahan. Sementara Lidya masih menganggap kegiatan seperti itu hanyalah membuang-buang waktunya.
“Oke, Ryan. Gokil! Dibuka dengan perkenalan yang sangat luar biasa,” puji salah satu panitia yang memandu mini games tersebut. “Nah, sekarang ambil soda lo, dan lo bisa bersulang ke gelas siapapun. Yang nanti diajak bersulang sama Ryan, dia yang selanjutnya maju.”
Tentu saja ini kesempatan emas bagi Ryan. Ia akan memilih seseorang yang menurutnya tidak terlalu mencolok di barisan lingkaran. Ryan mengedarkan pandangannya dan berjalan menuju arah Zaara dan Cica sembari menggenggam segelas kecil sodanya.
“Pasti lo, Ca,” tebak Zaara berbisik.
“Hah?! Jangan dong, gue gak mau!” ujar Cica panik sendiri di tempatnya duduk.
Ryan semakin mendekat dan menyodorkan gelas sodanya untuk bersulang.
“Cheers, Lidya!” teriak Ryan pada perempuan yang sedang melamun itu hingga terkejut.
Zaara dan Cica pun sama terkejutnya. Lidya memang duduk di dekat keduanya, hanya terhalang satu orang saja.
“Maju lo!” titah Ryan setelah menyulang minuman sodanya.
“Anying lo!”