More

Trippleju
Chapter #14

IPA IPS

Pagi itu beberapa siswa masih sibuk mengerubungi mading sekolah untuk melihat daftar nama yang ditempel oleh pihak kemahasiswaan. Setelah menikmati liburan semester genap selama kurang lebih dua minggu itu, seluruh siswa harus kembali pada aktifitas rutinnya sebagai pelajar. Terlebih ketika mereka harus menerima kenyataan bahwa waktu terus berjalan.

Pembagian kelas itu sebenarnya sudah tidak menjadi rahasia umum lagi bagi siswa yang akan menaiki kelas XI di sekolah tersebut. Setiap siswa akan diberikan formulir peminatan, tetapi keputusan akhir tetap di pihak sekolah dengan menyesuaikan nilai pembelajaran siswa pada semester-semester sebelumnya.

Siswa di tahun ajaran baru pun sudah mulai masuk secara normal setelah melewati masa pengenalan lingkungan sekolah yang penuh drama. Banyak karakter-karakter baru yang mengisi sekolah swasta tersebut. Bagi kelas XI, tentu saja mereka harus berhati-hati agar tidak salah dalam menentukan mana adik kelas atau kakak kelas.

“Sesuai sama pilihan kan lo pada?” tanya Dilla kemudian menyeruput kuah bakso yang asapnya telah ia tiup.

Zaara dan Cica mengangguk.

“Bagus!” komentar Dilla selayaknya orang tua memberi apresiasi pada kedua anak gadisnya.

Dilla mengambil bakso ukuran kecil terakhir yang tersisa di mangkuknya. Bakso yang masuk ke mulut Dilla ternyata mendarat lebih cepat ke kerongkongannya tanpa proses pengunyahan, sebab seseorang menggebrak meja kantin secara tiba-tiba yang membuat gadis itu tersedak. Dengan panik, Cica segera menyodorkan segelas air putih pada Dilla yang masih menepuk-nepuk dadanya.

“Sialan lo!” umpat Dilla pada Lidya yang hampir saja membuat ia kehilangan nafasnya karena sebuah bakso yang menyangkut di kerongkongannya.

Lidya hanya menunjukkan deretan giginya, kemudian beralih menarik kursi kantin dari meja lain. Ia duduk menghadap Zaara, Cica, dan Dilla seolah siap mengumumkan sesuatu yang sangat penting. Lidya berdeham sebentar.

“Gua masuk IPS!”

Lidya bertepuk tangan sendiri, sementara ketiga temannya hanya saling berpandangan heran. Padahal jelas-jelas sebelumnya Lidya memilih peminatan IPA di formulir yang diberikan oleh wali kelasnya. Cica menjadi saksi terkuat karena ia adalah teman sebangku Lidya. Lidya yang melihat ketiga sahabatnya yang kebingungan itu mencoba menjelaskan.

“IPA itu kemauan nyokap gua. Gua sih ogah ya harus berkutat dengan atom-atom, ngitung kecepatan mobil, apalagi ngapalin nama-nama latin!”

“Siap-siap aja lo ntar pulang sekolah,” ujar Dilla menakut-nakuti.

“Ngomel sehari paling,” balas Lidya kemudian tertawa seolah tanpa beban ataupun rasa bersalah. “Lo semua IPA, ya?”

Ketiganya mengangguk.

“Dia berdua sekelas,” tambah Dilla yang diangguki oleh Lidya.

“Gak heran sih gua.”

Zaara dan Cica hanya tertawa, kemudian kembali melanjutkan makan siangnya yang tak sengaja tertunda oleh cerita Lidya.

“Makan gak lo, Lid? Gue yang bayar,” tawar Zaara, sebab ia sudah berjanji akan mentraktir teman-temannya jika mereka berhasil masuk ke peminatan yang mereka inginkan.

“Gak usah.”

Zaara tidak memaksa, karena ia tahu jika Lidya sudah berkata tidak, maka jawabannya akan tetap sama seberapa pun ia berusaha. Gadis dengan rambut yang digerai sepunggung itu bergegas menuju meja kasir untuk membayar makanan yang sudah mengisi perut-perut keroncongannya.

Setelah menunjukkan bukti pembayaran non tunai di ponselnya pada petugas kasir, Zaara segera berbalik dan tanpa ia sadari seorang pria tengah berjalan dari arah yang berlawanan. Tabrakan tidak dapat dielakkan lagi, bahkan mangkuk berisi kuah bakso panas yang dibawa oleh lelaki itu pun tumpah mengenai lengan dan sebagian seragam yang dipakainya.

Suara dentingan mangkuk yang jatuh membentur lantai itu pun membuat seisi kantin menoleh ke arah sumber suara. Seketika kedua manusia itu pun menjadi pusat perhatian. Begitu pun ketiga temannya yang ikut terkejut, tetapi masih bergeming di tempatnya masing-masing.

S-sorry, Kak!” ujar Zaara panik sembari mengambil beberapa lembar tisu dari meja kantin dan mencoba mengelap objek yang tersiram kuah itu.

Lelaki itu menahan lengan Zaara dengan suara tertahan, “Biar gua aja.”

Sorry ya, Kak, gue gak sengaja,” ungkap Zaara kedua kalinya pada lelaki yang ia yakin adalah kakak kelasnya, sebab pin yang tersemat di rompi seragamnya berbeda dengan pin miliknya.

“Gak apa-apa.”

Lelaki itu tersenyum dan tidak menunjukkan kekesalan sekalipun terhadap Zaara. Hanya saja, Zaara dapat memastikan bahwa ia sedang menahan rasa sakit dan perih di lengannya yang memerah. Dilla, Lidya, dan Cica menghampiri keduanya yang masih menjadi pusat perhatian warga kantin.

“Kata gua mah mending lu berdua ke UKS, daripada jadi tontonan penghuni kantin,” peringat Lidya.

Secara bersamaan, Zaara dan lelaki tersebut mengedarkan pandangan ke sekelilingnya yang ternyata memang sedang menjadi pusat perhatian. Tanpa pikir panjang, Zaara segera mengajak lelaki tersebut ke UKS. Sementara Lidya, Cica, dan Dilla membantu petugas kantin membereskan pecahan mangkuk yang tersebar di lantai. Bagaimanapun, kejadian itu juga menjadi tanggung jawab mereka.

Di sudut kantin, sepasang mata tidak melepaskan pandangannya ke arah Zaara dan seorang lelaki yang bersamanya hingga keluar dari area tersebut. Pemandangan itu membuat perasaan Kenan menjadi sedikit aneh. Seolah ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, seperti rasa tak suka. Namun, Kenan bingung sendiri menentukan apa yang sebenarnya harus tidak ia sukai dari kejadian yang baru saja dilihatnya.

“Gerah banget ya, Ken?” sindir Yuno membuyarkan Kenan yang sedang bergelut dengan hati dan pikirannya sendiri. “Kata gua sih kalo lu beneran suka, buruan tembak sebelum keduluan.”

“Lu punya pistolnya, No? Gua pinjem dah, besok gua balikin,” sahutnya asal.

Yuno menghembuskan nafasnya kasar, berusaha menahan dirinya agar tidak mengumpati sahabatnya itu, yang selalu bercanda tidak pada waktunya.

***


Lelaki dengan kulit yang memerah itu segera membuka jam tangannya. Ia memposisikan lengan bagian kanannya di bawah air keran yang mengalir. Sementara Zaara segera membuka kotak P3K yang didapatnya dari sebuah lemari yang cukup besar dekat pembaringan pasien. Zaara terdiam sejenak saat dihadapkan dengan berbagai macam jenis obat yang sama sekali tak dipahaminya. Terlebih dalam keadaan panik seperti itu, otaknya tidak bisa diajak bekerja sama.

Lelaki yang telah menyelesaikan aktifitasnya itu dapat membaca kebingungan dalam raut wajah Zaara.

“Kasa sama Petroleum Jelly. Lo bisa pake itu.”

Zaara tidak bisa menahan rasa terkejut dan malunya saat pria itu mengarahkan. Tidak sampai di situ, Zaara tetap harus berpikir keras tentang apa yang harus ia lakukan dengan dua benda yang telah ia genggam. Lelaki itu kembali tersenyum. Lagi-lagi kebingungannya terdikte.

“Sini biar gua aja,” ujar lelaki itu lembut sembari meraih dua benda yang masih berada dalam genggaman Zaara.

Rasa malu bertubi-tubi menampar Zaara yang membuatnya benar-benar merasa tidak berguna dalam keadaan itu, yang ada hanyalah kecerobohan lagi dan lagi. Sekilas, Zaara dapat melihat bagaimana kulit lelaki itu memerah, mulai dari pergelangan tangannya hingga siku.

Lihat selengkapnya