Samar-samar cahaya, masuk ke dalam gelap retina seorang lelaki yang terbaring di atas kasur. Pupilnya yang mencari-cari terang, disuguhkan lampu ruangan yang bukan kamarnya. Ditambah dengan semerbak aroma bahan-bahan kimia yang menyengat hidung, serta bunyi mesin pendeteksi detak jantung yang nyaring di pendengarannya.
Bola mata yang baru mendapat haknya kembali untuk melihat itu, hanya mampu digulirkan ke kanan dan ke kiri. Kepala lelaki yang terbaring itu terasa kaku hanya untuk sekadar menoleh. Tidak hanya kepala, tetapi sekujur tubuhnya.
Penglihatannya menangkap sesosok pria lain yang tengah terduduk sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Mata pria itu terpejam, seperti seorang yang kelelahan. Pak Kun, rasanya sudah lama ia tak melihat pria itu.
Pintu ruangan berderit, membuat bola mata Kenan beralih mengikuti arah sumber suara. Terekam jelas dalam pandangannya seorang perempuan memakai hoodie, lengkap dengan kupluk yang membungkus sebagian kepalanya. Salah satu tangannya membawa kantong transparan yang berisi sterefoam makanan.
Perempuan itu mengerjapkan matanya beberapa kali setelah tatapan keduanya beradu, hingga ia harus menghentikan langkahnya sebentar di ambang pintu. Lalu, ia menghampirinya dengan terburu-buru.
“Ken?” panggilnya dengan ragu sambil mengusap-usap penglihatannya sendiri.
Kenan dapat menangkap dengan jelas bagaimana raut wajah gadis di hadapannya itu menunjukkan rasa khawatir sekaligus senang yang bercampur satu. Matanya yang semula berkaca-kaca, akhirnya pecah juga. Ia memeluk Kenan.
“Gua kira lo …” ujarnya yang tertahan. “… gak bakal balik lagi.”
Dapat Kenan tebak bahwa gadis yang memeluknya itu sedang menangis deras, sebab bahunya terasa hangat dan basah oleh air mata. Kenan berusaha untuk merespons, tetapi ia tidak mampu mengeluarkan suara apapun. Hanya matanya yang mampu ia kedipkan beberapa kali.
Mendengar aktivitas di dalam ruangan, Pak Kun pun ikut terbangun dari tidurnya. Dapat ia lihat Zaara sudah sesenggukan sembari memeluk Kenan. Dengan segera, Pak Kun menghampiri tempat Kenan berbaring, berharap tidak terjadi sesuatu yang selama ini menghinggapi pikirannya.
“Alhamdulillah.”
Pak Kun mengusap dadanya lega, setelah ia tahu bahwa mata Kenan terbuka. Zaara mengakhiri pelukannya, sembari mengalihkan pandangannya ke arah Pak Kun dengan mata dan hidung yang memerah.
“Kenan siuman, Pak.”
Pak Kun mengangguk, “Doa kita tidak akan ada yang sia-sia.”
Pak Kun bergegas keluar ruangan untuk memanggil petugas medis guna memeriksa keadaan Kenan. Selang lima menit, seorang dokter dan perawat memasuki ruangan dan mulai mengecek kondisi Kenan.
“Kondisi pasien sudah mulai stabil, tetapi memang belum bisa diajak untuk berkomunikasi. Jadi, biarkan pasien untuk beristirahat terlebih dahulu,” pesan lelaki stengah baya yang berkalung stetoskop itu.
“Baik, Dok. Terima kasih.”
Dokter dan seorang perawat yang sudah selesai mengganti cairan infus itu pun bergegas keluar ruangan, menyisakan Pak Kun dan Zaara yang saling berpandangan sambil tersenyum lega. Pak Kun mengusap-usap kepala Kenan dengan lembut dan penuh kasih sayang, layaknya seorang ayah kepada anaknya.
“Zaara malam ini boleh nginep ya, Pak?” pintanya.
“Tapi …”
“Udah izin kok ke Bunda.”
Upaya Zaara meyakinkan Pak Kun itu pun akhirnya membuahkan hasil. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang ia hanya dapat memastikan keadaan Kenan melalui foto-foto yang dikirimkan Pak Kun atau Bang Abeng.