“Kau yakin dengan tempat ini?” Anastasia ragu untuk melangkah. Kakinya tertahan di ambang pintu besi penuh dengan ukiran timbul, sedikit berkarat di sisi bawah dan pinggirin dekat engsel.
“Kurasa gaunmu cocok untuk berdansa sebentar di sini.” Alexandre maju selangkah, mengulur tangan di depan Anastasia. “Come in, ini tempat yang sangat aman. Tidak akan ada paparazi atau mata-mata bangsawan yang akan melaporkanmu.”
Masih ragu, namun tangan Anastasia memilih untuk membalas uluran tangan Alexandre. “Kau bisa menjamin tempat ini tidak akan runtuh?”
Bukan tanpa alasan Anastasia menanyakan hal itu. Tempat yang baru saja ia masuki berada di lantai bawah tanah sebuah gedung tua toko barang antik. Cat mengelupas, karat di tiap besi, dan beberapa lumut di dinding bata lapuk meruntuhkan ekspektasi.
“Aku pengawalmu, mana mungkin membawamu ke tempat yang berbahaya,” ujar Alexandre, tetap menatap lurus ke depan.
Langkah mereka semakin mendekati pintu kedua berwarna putih bersih, sangat kontras dengan pintu berkarat yang baru saja mereka lalui. Anastasi menyipitkan matanya, berdebar hanya karena penasaran dengan apa yang ada di balik pintu itu.
“Ready?” Mata biru itu kembali menatap Anastasia.
Anggukan pelan menjawab pertanyaan itu. Meski ragu tetap membayang di kedua manik amber milik Anastasia. “Ready or not, aku mengikuti langkahmu.”
Alexandre tersenyum, lalu membuka pintu putih itu perlahan. Waltz No. 2 mengalun, menyita perhatian Anastasia, menenggelamkan keraguannya.
“Kenapa ada tempat seperti ini di sini?” Anastasia merasa bersalah karena mengawali langkahnya di tempat ini dengan pesimis.
“Rakyat biasa juga membutuhkan ballroom untuk berdansa. Saat kalian berdansa di château, kami melakukannya di sini, menikmati malam dengan apresiasi pada seni dan minuman. Sebagai bocoran, champagne di sini memiliki kualitas premium.”
Anastasia melangkah lebih dalam, terus mengikuti Alexandre yang telah melepaskan genggaman tangannya semenjak mengenalkan tempa ini padanya. Pria itu membawanya ke tengah-tengah aula—tak lebih besar dari aula milih keluarga Moreau.
Alunan Waltz no. 2 masih berulang, seperti loop tanpa akhir. Cahaya lampu kristal memantul hangat, menciptakan pelangi sama pada dinding suram. Nuansa ini, seakan membawa Anastasia pada dunia lain yang selama tak pernah ia bayangkan.
Kesederhanaan bersanding dengan keeleganan yang menciptakan kemewahan tersendiri.
Anastasia telah berdiri di tengah lantai dansa, terlihat anggun dan mencuri perhatian. Di hadapannya, Alexandre telah berdiri menatapnya, menelusuri ekspresi wanita itu, sebelum akhirnya semakin mendekat, menawarkan tangannya tanpa tergesa.
“May I?” ucapnya, sambil menatap teduh pada mata amber milik Anastasia.